"Santri harus tirakat. Tirakatnya tidak harus yang aneh-aneh, belajar saja sudah cukup. Itu saja sudah berat."

Sebagai seorang santri. Belajar seharusnya sudah jadi kebutuhan dasar. Moto besar yang seharusnya ditempelkan di jidat, di lemari-lemari dan diingat-ingat adalah "tiada hari tanpa belajar". Ya, belajar seharusnya menjadi topik yang paling sering diperbincangkan. Bukan mbak-mbak santriwati yang kebetulan ditemui di jalan. Atau jodoh yang sepertinya hanya ada di angan-angan.

Namun, sebagaimana permainan online yang sering kita mainkan, rank belajar antar santri juga tentunya berbeda-beda. Ada yang membuka majlis belajar satu atau dua jam kemudian berlanjut ghibah sampai terpejam. Ada yang belajar untuk hal-hal keduniawian belaka, seperti ingin dipanggil ke depan ketika imtihan, atau berharap dilirik pak kyai agar dijadikan menantu kesayangan . Halah. Ngayal.

Tentang belajar, seharusnya kita dapat meneladani dua guru kita, kiai Maimun Zubair dan kiai Nashir Fattah. Suatu ketika, salah satu abdi ndalem kiai Nashir di tengah larut malam melewati kamar beliau. Terdengar dari dalam kamar, suara kertas dibolak-balik dan suara batuk-batuk beliau. Kejadian itu bukan hanya sekali dua kali. Berkali-kali abdi ndalem itu melewati kamar beliau dan berkali-kali pula dia mendengar suara tersebut.

Di suatu majlis tongkrongan, salah satu putra beliau menuturkan, bahwa pernah suatu tengah malam, ketika di rumah, dia akan ke dapur atau ke kamar mandi (saya agak lupa), tiba-tiba dia bertemu dengan abahnya yang keluar dari kamar untuk mengambil air minum. Ternyata beliau kehausan dan ingin minum setelah berjam-jam mengurai barisan huruf tanpa harakat. "Yang begitu itu jadi pelecut bagi saya, agar bisa belajar lebih giat." Tutur putranya kemudian pada kami.

Kiai Maimun ketika sebelum tidur malam berpesan kepada abdi ndalem, "Nak, nanti bangunkan aku jam 2, ya!" Namunsering kali ketika abdi ndalem tersebut hendak melaksanakan amanat tersebut, ternyata di situ kiai Maimun sudah asyik-masyuk dengan kitab beliau. Hal ini mengindikasikan setidaknya bahwa beliau sudah bangun terlebih dahulu atau bahkan  belum tidur sama sekali.

Pernah juga, suatu ketika beliau seusai shalat subuh berjamaah dengan santri-santri, beliau berkata pada muazin--yang mana di setiap sholat jamaah selalu berada di samping kanan mbah yai--, "Aku semalam tidak bisa tidur; Aku membaca kitab-kitab, tidak terasa waktu subuh datang. Seandainya kamu tidak mengumandangkan azan, pasti aku tidak menyadari kalau ini sudah waktunya subuh."

Begitulah level belajar guru-guru kita. Tidak mengenal waktu dan usia. Siang-malam tidak disia-siakan untuk hal-hal yang un-faedah. Beliau-beliau mengajarkan pada kita tentang kesederhanaan, tentang keistiqamahan, dan tentang perjuangan.

Beliau berdua juga sangat bersemangat dalam mengajar dan menemani santri-santri. Jarang sekali ada kata "Libur" kecuali memang sangat mendesak dan darurat. pernah suatu ketika, ketika penulis masih nyantri di Tambakberas. Kiai Nashir, yang dalam keadaan sakit, masih bersemangat mengajar di Madrasah Mu'allimin Muallimat meskipun harus dengan dituntun di atas kursi roda. Dalam kondisi yang belum sepenuhnya sehat pula, kiai Nashir tetap membuka pengajian kitab Ramadhan untuk santri-santri.

Kiai Maimun, hampir bisa dikatakan tidak pernah melewatkan sholat berjamaah lima waktu dengan para santri. Ketika beliau hendak berpergian, beliau akan memerintahkan para pengurus untuk menyelenggarakan jamaah lebih awal dari biasanya, sehingga beliau tetap bisa berjamaah bersama santri.

Ramadhan tahun kemarin, beliau kuat mengaji kitab Risalah Qusyairiyyah dua waktu. Yang pertama yakni setelah sholat tarawih sampai sekitar pukul 00.00 WIB. Yang kedua setelah wiridan jamaah subuh sampai sekitar pukul 11.00 WIB. Jujur kami yg mengaji ke beliau malah yg merasa tidak kuat. Dan sambat.

Meskipun di usia yang sudah cukup uzur, semangat beliau berdua tetap membara, cinta terhadap ilmu telah mendarah daging dalam tubuhnya. Seharusnya kita yang masih muda, yang masih bertenaga bisa seperti beliau-beliau.  

Sebagai penutup, beliau berdua pernah berpesan kepada kami yang intinya, "Santri harus tirakat. Tirakatnya tidak harus yang aneh-aneh, belajar saja sudah cukup. Itu saja sudah berat."

#keabsahan cerita bisa dipertanggungjawabkan, karena kami mendapat langsung dengan cara berdialog pada sumber yg bersangkutan.