Imam Ibn Ajrum: Ulama Maroko di balik Kitab Jurumiyah


Imam Ibn Ajrum adalah salah satu sosok keajaiban ilmu yang ada di tanah Maghrib (Maroko). Bagaimana tidak? tentu karena kitab adikaryanya dalam bidang ilmu nahwu yang bernama kitab al-Muqaddimah al-Jurumiyah. Di mana hampir di seluruh penjuru dunia para santri dan santriwati terus menerus mengkajinya sebagai pondasi dasar untuk memahami ilmu nahwu .
Tentu menarik bila menyimak bagaimana perjalanan dan laku hidupnya? Saya menuliskannya untuk tuan dan puan sekalian. Semoga bermanfaat.
Nama lengkapnya adalah al-Imam Abu Abdulllah Muhammad bin Muhammad bin Daud as-Shanhajiy. Dikenal juga dengan sebutan Imam as-Shanhajiy. Dilahirkan di kota Fez, Maroko pada tahun 672 H atau 1273 M.
Sebagaimana disebutkan oleh Imam Zubaid dalam kitab Taj al- ‘Arus, tahun lahir beliau tepat bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Jamaluddin ibn Malik at-Thaaiy pengarang kitab Alfiyah. Sehingga dari peristiwa itu tenar dengan adagium “Tuwufiya Nahwiyu wa Wulida Nahwiyu” (telah meninggal ahli nahwu dan lahir ahli nahwu yang lainnya).
Beliau masyhur dengan sebutan Ibn Ajrum. Nama itu diambil dari bahasa berber yang artinya al-Faqir as-Shufiy, orang yang meninggalkan kemewahan dan memilih laku sufi. Dan sematan ini  digelari pertama kali oleh  kakek beliau sendiri, Kiai Daud as-Shanhajiy.
Asal Usul
Kota Fez yang dijuluki sebagai ‘Madinatul Ilmi’ (kota ilmu) menjadi langkah awal perjuangan bagi Imam Ibn Ajrum. Kota itu menjadi tempat kelahiran sekaligus tempatnya menimba ilmu.
Imam ibn Ajrum lahir dari lingkungan keluarga yang berpendidikan.  Ayahnya yang bernama Kiai Muhammad bin Daud as-Shanhajiy merupakan seorang ulama di kampung halaman nya. Orang tuanya mencukupi kehidupan sehari-hari dengan jalan berniaga.
Bermula dari hanya belajar di kota Fez bersama ulama-ulama yang ada di Maroko, lambat laun akhirnya beliau bertolak ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji.
Apabila kita selesai menunaikan ibadah haji dan umrah biasa dilanjutkan dengan kegiatan berburu oleh-oleh atau plesir ke Turkey hingga Dubai. Lain lagi dengan Imam ibn Ajrum, ketika perjalanan pulang beliau mampir dulu ke Kairo guna menimba ilmu kepada Syaikh Abu Hayyan–ulama pengarang kitab al-Bahrul al-Muhith. Tidak sebatas mencecap manisnya ilmu dari Syaikh Abu Hayyan beliau juga turut mendapatkan sanad yang muttasil darinya.
Selain Syeikh Abu Hayyan yang menjadi guru Imam ibn Ajrum dalam bidang bahasa dan sastra, ada beberapa nama masyhur lainnya yang disebutkan dalam kitab Faraidh al-Ma’aniy, karya beliau sendiri. Di antara nama-nama itu ada al-Imam ibn Qassab Abu Abdullah, guru setoran Qiraah Sab’ah Imam ibn Ajrum. Lalu ada Syeikh Muhammad ibn Abdirrahman ibn at-Thayyib abu al-Qasim al-Qaysi, seorang yang ahli dalam melantunkan Al-Qur’an, dan terakhir Syeikh Abdul Malik ibn Musa Abu Marwan.
Imam ibn Ajrum adalah sosok ulama yang giat dalam menuntut ilmu, sehingga hampir semua ilmu dilahapnya. Beliau termasuk ulama yang mutabahhir bil ulum (jago di setiap fan-fan ilmu), jadi sangat wajar bila ada yang menjulukinya dengan sebutan al-Ustaziyah–dalam bahasa Faris bermakna seseorang yang mengetahui segala ilmu–bahkan dalam kitab al-Futuhat al-Qudsiyah buah karya Imam Ibnu Ajibah menyebutkan julukan beliau dengan sebutan as-Syurrah bil Fiqhi al-Imam As-Shufi as-Sholeh al-Barakah.
Tidak hanya di tanah Maghrib saja, mata dunia juga mengakuinya sebagai ulama yang karismatik, bersahaja, dan memiliki kredibilitas tinggi. Tentang Imam ibn Ajrum, Al-Imam as-Suyuthi  dalam kitabnya ‘Bughyat al-Wi’ah’ juga menjelaskan bahwa  beliau adalah ahli fikih, sastrawan, dan ahli matematika, di samping itu beliau juga menggeluti ilmu seni lukis, kaligrafi dan tajwid.
Karena alasan itulah banyak ulama kesohor yang lahir dari rahim didikan dan sentuhan tangan dingin nya. Ambil lah contoh seperti Ibnu Hikam, Syeikh Ahmad ibn Muhammad ibn Syu’ab Ibn Abbas al-Khaznaiy at-Thabib, Syeikh Muhammad ibn Ibrahim ibn Ishaq Abu Abdullah al-Qadhi al-Hadramiy, dan masih banyak lagi.
Kehandalan beliau pun tak hanya mandeg sampai capaian itu belaka, acap kali kurang rasanya jika seorang ulama sampai tidak mempunyai karangan dan sebuah mahakarya di sepanjan hidupnya. Berikut beberapa daftar karangan beliau selain kitab Muqaddimah al-Jurumiyah.
1. Faraidhul Ma’aniy fi Syarhi Hirzi al-Amaniy wa Wajhu at-Tihaniy
2. Arjuzatu al-Bari’ fi Ashli Muqrii Imam Nafi’
3. Ulfaatu al-Washli
4. Rawdhu al-Manafi’
5. Al-Istidrak ‘ala Hadiyatil Burtab
6. Tabshir fi Nazmi at-Taysir
Empat karangan pertama dan masterpiece beliau berbentuk kitab, sedangkan dua karya terakhir berbentuk nazham.
Kisah Penulisan Muqaddimah al-Jurumiyah
Nahwu bukanlah ilmu yang bisa dipelajari sesuka hati dan seenak kehendak–satu bab rampung dibaca lalu melompat ke bab yang lain. Tidak lah demikian. Ilmu Nahwu hanya bisa dipahami secara bertahap, berjenjang dan sudah barang tentu secara terstruktur mulai dari yang paling dasar sampai babakan yang paling kompleks .
Muqaddimah al-Jurumiyah datang menjadi suluh untuk menerangi para santri pemula. Perlu mafhum bersama kalau pada zaman itu belum ada kitab  sepadat, sejelas, dan seringkas seperti karangan beliau, bahkan sampai sekarang. Tak berlebihan bila mana dikatakan kitab al-Muqadimah al-Jurumiyah adalah kitab yang tak ada duanya. Bukan karena lebih ringkas, padat, dan lebih jelas dari yang lainya. Melainkan sebab catatan kisah sejarah indah dalam penyusunan kitab ini.
Kitab ini ditulis empat tahun sebelum wafatnya Imam Ibn Ajrum tahun 723 H. Beliau memulai penyusunan kitab ini di sisi ka’bah. Kisah menarik nan istimewa terjadi setelah beberapa waktu kitab ini dirampungkan. Imam ibnu Ajrum membuang kitabnya ke laut sambil berkata:
”Kalau memang kitab ini ku tulis ikhlash karena Allah, niscaya ia tidak akan basah.” Ternyata kitab tersebut kembali ke pantai tanpa basah sedikit pun.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan, ketika Imam ibnu Ajrum telah rampung menulis dengan menggunakan botol tinta, ia berniat meletakkan kitabnya tersebut di dalam air sambil berkata dalam hati “Ya Allah, jika saja karyaku ini akan bermanfaat jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak akan luntur.” Ternyata dengan kuasa Allah tinta tersebut tidak luntur sedikitpun.
Dan kali riwayat lain juga dituturkan, setelah menuntaskan karya tulisnya ini beliau bermaksud menenggelamkan kitabnya ke dalam air yang mengalir. Jika kitab tersebut terbawa arus berarti kitab tersebut kurang manfaat, sedangkan jika ia tetap–tidak terbawa arus–maka ia akan tetap dikaji banyak orang dan akan besar manfaatnya. Sambil meletakkan kitab tersebut kedalam air berliau berujar:
Jurru Miyah! Jurru Miyah” (Mengalirlah wahai air!). Anehnya setelah diletakkan dalam air kitab tersebut tetap bertahan dan tidak terbawa oleh arus. Masyhurlah kitab tersebut dengan sebutan Jurmiyah. Subhanallah.
Beliau menulis kitab bukan berharap kemasyhuran. Beliau tulus dan ikhlas menuliskannya untuk Allah dan kemanfaatan umat. Lantaran keihklasannya itulah Allah kekalkan dan jaga kitab Jurumiyah. Air keikhlasan dan keberkahan nya akan senantiasa memancarkan cahaya sampai detik ini bagi siapapun yang mempelajarinya.
Antara Kelompok Kufah dan Bashrah
Terkait klasifikasi antara kelompok Kufah dan Bashrah, di antara mereka–para ahli nahwu–banyak yang bersilang pendapat tentang sosok Imam ibn Ajrum ini. Sebagian besar ada yang menyatakan bahwa Imam Ibnu Ajrum adalah penganut Mazhab Nahwu Kuffiyun–Nahwu yang datang dari daerah Kuffah, bukan Bishiriyun–Nahwu yang datang dari daerah Bashrah. Hal ini ditandai dari beberapa hal, diantaranya pengistilahan kasrah yang beliau tulis di dalam kitabnya dengan sebutan khafadh, sedang ahli Bahsrah menyebut istilah kasrah dengan Jar. Perkara lain nya yakni menyoal  istilah Asmaul Khamsah yang terdiri dari dzu, fuu, hamu, abu, dan akhu. Sedangkan Ahli Bashrah menyebutnya dengan istilah Asmaus Sittah dengan menambahkan Hanu.
Sementara Imam Al-Ashufi Ibnu Ajibah menekankan pandangan nya dalam kitab al-Futuhat al-Qudsiyah bahwa beliau tidak condong Ke Kuffah atau Basrah, beliau memilah-milah mana yang baginya paling benar dan sesuai dengan jalan kaidah Nahwu.
Berkat ketulusan hati dan kemurnian niat Imam Ibnu Ajrum dalam menuliskan kitab tersebut menjadikan sebab keridhaan Allah.Ssampai saat ini sudah ratusan kitab yang melanjutkan karya beliau baik yang dijadikan nazham atau yang men-syarahnya. Eksistensi Kitab Jurumiyah akan tetap berlanjut. Tidak ada henti-hentinya, digumuli dan digunakan sampai pelosok-pelosok dunia Islam.
Adapun beberapa kitab syarahan dari kitab Jurumiyah, berikut  daftarnya:
1. Al Mustaqil bil Mafhum fi Syarh Al-Fadh al-Ajrum, karangan Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Maliki (w 853 H/1449 M)
2. At Tuhfatu as-Saniyah bi Syarh Al-Muqaddimah Al-Ajurrumiyah, karya Syeikh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid.
3. Al-Kharidah Al-Bahiyah fi I`rabi Al-Fadh Al-Ajurrumiyah karya Al `Ujami.
4. Mukhatshar Jiddan karya Syeikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, yang kemudian di beri komentar (hasyiah) oleh seorang ulama Indonesia, KH. Muhammad Ma`shum bin Salim as-Samarany dengan kitabnya Tasywiqul Khalan.
5. Al-Kafrawi fi I`rabi Al-Fadhi Al-Ajurrumiyah. Karya Syeikh Al Kafrawy
6. Syarah Syeikh Khaled yang kemudian di beri komentar oleh Syeikh Abi an-Naja.
7. Syarah Al-Muqaddimah Al-Ajurrumiyah karya seorang gembong Wahaby Arab Saudi, Syeikh Ustaimin.
8. Khulasah Syarah Ibnu `Ajibah `ala matan Ajurrumiyah Syeikh Abdul Qadir Al-Kauhairy.
9. Nur As-Sajiyah fi Hill Al-Fadh Ajurrumiyah, karangan Syeikh Ahmad Khatib Syarbaini.
10. Taqrirat Al-Bahiyyah `ala Matni Ajurrumiyah karangan Syeikh Qadhi Muhammad Risyad Al Baity As Saqqaf.
11. Al-Futuhat Al-Qayyumiyah fi Hill Wafki Ma`any wa Mabany Matni Ajurrumiyah, karangan Syeikh Muhammad Amin al-Harrary.
12. Ad-Durar Al-Bahiyyah fi I`rab Amstilah Ajurrumiyah wa Fakk Ma`any karangan Syeikh Muhammad Amin al-Harrary.
13. Al-Bakurah Al-Janiyyah min Quthaf I`rab Ajurrumiyah karya Syeikh Muhammad Amin al-Harrary.
14. Syarah Ajurrumiyyah fi Ilmi Arabiyah karangan Syeikh Ali Abdullah Abdurrahman as-Sanhury.
15. Syarah Al-Halawy karangan Syeikh Al Halawy.
Kitab ini juga pernah disadur menjadi sebuah nadham oleh Al `Imrithy yang disyarah oleh beberapa ulama lainnya.
Imam ibnu Ajrum wafat pada hari Ahad setelah tergelincirnya matahari, di bulan Shafar tahun 723 H/1323 M. Beliau wafat di usia 51 tahun. Dimakamkan keesokan harinya di kota kelahirnya Fez, di Bab al-Hamra sebelah kanan Bab al-Futuuh.
Nafa’anaa bihi wa bi’uluumihi fi daarayni. Amin

Perintah Menyebut Nama Allah (kitab kifayatul at-qiyah)


Bagi siapa saja yang hobi menekuri kitab-kitab turots pasti sudah begitu akrab dengan nama Syaikh Muhammad Syata ad-Dimyathi. Dialah Ulama cemerlang pengarang kitab I’anatut Tholibin yang sangat masyhur itu.Nama utuhnya adalah Sayyid  Bakr Al-Maky Ibnul `Arif billah As-Sayyid Muhammad Syata Ad-Dimyathi Al-Syafii. Imbuhan As-Syafi’i menyuratkan bahwasanya beliau termasuk penganut madzab Imam Syafi’i.
Membincangkan produktifitasnya dalam menulis kitab, karangan-karangan beliau sudah bejibun dalam pelbagai bidang keilmuan, tak terkecuali juga anggitanya dalam babakan tasawuf.
Diceritakan, mulanya beliau diminta oleh sebagian santri-santrinya untuk menuliskan sebuah syarah tipis dari kitab yang bernama Hidayatul Adzkiya ila Thoriqil Auliya milik ulama keturunan India Syaikh Zainudin ibn syaikh Ali ibn Syaikh Ahmad Al-Ma’bariy. Dengan segala kerendahan hati beliau akhirnya memohon pertolongan dan bimbingan kepada Allah semoga dapat menunaikan permintaan tersebut seraya berdoa agar dimasukan ke jalan hamba-hamba-Nya penempuh laku tasauf.
Walhasil, dinamailah kitab itu Kifayatul Atqiya wa Minhajul Asfiya. Dari penuturan beliau sendiri, kesemua muatan ajaran yang tertuang di dalamnya tak lain adalah nukilan dari petuah para ulama, perkataan orang-orang saleh dan nasehat para arif billah.
Pentingnya membaca Bismillah
Petikan nilai pertama yang diajarkan dalam kitab ini berkait tentang pentingnya menyebut nama Allah yang terejewantahkan dalam lafadz bismillah. Utusan terpilih akhir zaman—Nabi Muhammad saw—juga memerintahkan agar senantiasa mengawali segala perbuatan dengan menyebut Bismilah, karena pada permulaan yang disertai dengan ucapan tersebut terkandung banyak keberkahan dan nikmat yang agung. Dan lagi, karena yang sedemikian itu tergolong orang-orang yang mendapatkan hidayah, didekatkan kepada keridhaan dan dijauhkan dari marah bahaya-Nya.
Dikatakan, kalau Ba’ dalam lafadz Bismillah bermakna Baha’ullah (Keindahan Allah), lalu Shin sendiri bermakna Sanaullah (Keagungan Allah) sedang mim nya memeiliki arti Majdullah (keluhuran Allah). Kali lain ada yang memeram pretelan huruf ini dengan arti, Bakauttaibin (tangisanya orang yang bertaubat), Sahwul ghofilin (lalainya orang yang lupa) dan Magfirotullah lilmudznibin (ampunan Allah bagi yang berdosa).
Bertaut pada tema yang sama, saduran dari para ahli tasawuf menguraikan: Seandainya Allah swt telah menitipkan segala rupa ilmu-Nya di dunia ini dalam satu huruf yaitu Ba’ yang termanifestasikan dalam Biy (NamaKu). Sudah barang tentu hal ini sangat enigmatik dan mengundang beragam pertanyaan bagi siapa pun.
Ternyata jawaban untuk kegamangan ini terbubuh dalam kalimat apik berikut ini: Biy Kana Ma Kana, Biy Yakunu Ma Yakunu (Dengan menyebut namaKu—Allah—apa yang sudah ada pasti ada dan yang akan ada pasti akan ada).
Jika kita coba merenung pikirkan kalimat sarat makna di atas rupanya betul betul sudah menjawab pertanyaan yang mengelukan pening tadi. Bagaimana tidak? apapun yang ada di dunia ini—aku, kamu, dia, dan bumi seisinya tak terkecuali itu ilmu (silahkan teruskan sendiri)—tak lain dan tak bukan hasil dari konsekuensi baku atau akibat otomatis dari sebab firman Allah Kun fayakun (jadi maka jadilah). Ya, sesederhana itu penjelasanya. Karena wujudnya semua alam ini sebab Aku dan bukan selainKu.
Tak heran bila seorang yang menjalani laku tasawuf kerap kali merogoh sari arti sampai palung paling dasar, memandang segala sesuatunya berdasarkan nilai terdalam, dia tidak berhenti hanya di kulit saja.
Ma Nadzartu fi Syai’in illa wa Roaitullaha fihi au qoblahu
“Aku tidak melihat ke dalam sesuatu kecuali aku memandang Allah di dalamnya ataupun sebelumnya.”
Sampai di sini, berarti sanad keilmuan–yang kita sebut dengan diskursus genealogi–ternyata semua muaranya pada lafadz Biy—namaKu.
Wallahu a’lam

Makna Yang Tersirat Dalam Kitab Al-Amsilatutasrifiyah


Berbicara tentang morfologi bahasa Arab atau yang lebih dikenal dengan ilmu sharaf, tak lengkap rasanya bila tidak menyebut kitab Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah.
Buah karya Kiai Haji Ma’shum Ali tersebut sangat populer di kalangan pembelajar bahasa Arab, terlebih bagi mereka yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Hampir tiap hari, para santri mendaras bait-bait tashrifan yang terkandung dalam kitab tipis yang jumlah halamannya saja tidak lebih banyak dari buku Iqra’ jilid 1-6 .
Tidak hanya kaum “sarungan”, pembelajar bahasa Arab di jenjang formalpun, baik di tingkat sekolah menengah maupun perguruan tinggi, lazim mengambil faidah dari kitab Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah. Yang lebih mengesankan, kitab ini banyak dikaji oleh para pelajar mancanegara alias sudah go international. Fenomena ini membuat Kitab “Amtsilah at-Tashrifiyyah” seakan-akan sudah menjadi buku induk morfologi bahasa arab Internasional.
Salah satu faktor popularitas kitab ini adalah metode pembahasan yang disusun secara sistematis. Setiap bab disusun secara ringkas, terstruktur dan terperinci dalam contoh, pola, dan tabel yang memanjakan memori pembacanya. Perubahan bentuk forma dari verba perfektum (fi’l madhy), verba imperfektum (fi’l mudhari’), nomina deverbal (ism mashdar), nomina agentif (ism fa’il), nomina objektif (Ism Maf’ul), verba imperatif (Fi’l Amr-Nahy) hingga nomina adverbial (Ism Makan Zaman dan Alat) disajikan secara runtut dan sistematis dengan menyertakan contoh kata dasar yang lazim digunakan sehari-hari.
Lebih lanjut lagi, materi yang terkandung di dalamnya kompatibel untuk dikemas dalam lagu atau syair yang berkesan. Sebagai contoh:
Fa’ala fa’alaa fa’aluu, fa’alat fa’alata fa’alna, fa’alta fa’altuma fa’altum, fa’alti fa’altuma fa’altunna, fa’altu fa’alna” adalah sebagian deret pola verba perfektif (fi’il madhi) yang sering dilantunkan dalam irama ala pondok pesantren. Pola-pola seperti ini sangat memudahkan pelajar dalam memahami gramatika Arab, terutama morfologinya.
Di antara karakteristik penyajian materi, ada salah satu pola yang unik, yaitu penyajian ragam kata ganti atau dhamir. Bila kita menelaah kitab pada bagian Tashrif Lughawy, kita akan menemukan pola penyajian verba atau kata kerja berdasarkan kata gantinya dari atas ke bawah. Yang menarik, kata ganti tersebut tidak disusun dari kata ganti orang pertama (mutakallim)seperti saya atau kami, melainkan dari kata ganti orang ketiga (ghaib) seperti dia, keduanya dan mereka.
Bila diurutkan dari atas, susunan kata ganti yang digunakan adalah sebagai berikut : هُوَ (dia laki-laki tunggal), هُمَا (mereka laki-laki / perempuan berdua), هُمْ (mereka laki-laki jamak), هِيَ (dia perempuan tunggal), هُمَا (Dia laki-laki / perempuan berdua), هُنَّ (mereka perempuan jamak), أَنْتَ (Kamu laki-laki tunggal), أَنْتُمَا (Kalian laki-laki berdua), أَنْتُمْ (Kalian laki-laki jamak), أَنْتِ (Kamu perempuan tunggal), أَنْتُمَا (Kalian perempuan berdua), أَنْتُنَّ (Kalian perempuan jamak), أَنَا (saya tunggal), نَحْنُ (Kami/kita jamak).
Bila ditelaah dari susunan dhamir tersebut, Kiai Ma’shum Ali memulai dari penyebutan kata ganti orang ketiga, disusul kata ganti orang kedua dan terakhir baru menyebut kata ganti orang pertama. Dari pola tersebut, bisa ditemukan filosofi “Yang jauh mendekat lebih baik daripada yang dekat menjauh”.
Konsep ini merepresentasikan konsep ta’aruf sebagaimana yang diajarkan dalam Al-Quran surah Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)
Artinya : “Wahai sekalian manusia, Sesungguhnya kami menciptakanmu dari laki-laki dan perempuan dan telah jadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha teliti.”
Selaras dengan ayat di atas, penyajian dhamir dalam kitab Al-Amtsilah Tashrifiyyah juga mendorong manusia untuk berta’aruf dalam rangka membina rumah tangga. Susunan kata ganti dimulai dari kata ganti orang ketiga lelaki (dhamir lilghaib) berupa : هُوَ, هُمَا, هُمْ. هُوَ bisa merepresentasikan calon suami, هُمَا bisa merepresentasikan orang tua laki-laki atau calon mertua dari suami, dan هُمْ bisa mewakili lingkaran pergaulan dari suami, baik itu kerabat ataupun teman-temannya. Status mereka masih ghaib karena belum hadir dan terlibat dalam kehidupan meskipun sudah sering dibicarakan.
Begitu juga dengan هِيَ, هُمَا dan هُنَّ yang termasuk kata ganti orang ketiga perempuan atau dhamir lilghaibah. هِيَ mewakili calon istri, هُمَا merepresentasikan calon mertua (orang tua istri) dan هُنَّ merepresentasikan lingkaran pergaulan calon Istri. Mereka belum hadir di kehidupan suami namun bisa jadi sudah sering dibicarakan. Maka ketika calon suami dan calon istri bertemu, merekapun mengobrol untuk saling berkenalan. Muncullah kata ganti orang kedua (mukhathab) yang kemudian dilanjut dan dipungkaskan dengan kata ganti orang pertama (mutakallim).
Calon suami dipanggil “أَنْتَ”, sebagaimana calon istri dipanggil “أَنْتِ”.  Calon mertua disapa “أَنْتُمَا” dan masing-masing rekan-rekan dalam lingkaran pergaulan disebut “أَنْتُمْ” dan “أَنْتُنَّ”. Akhirnya dalam obrolan itu, masing-masing memperkenalkan diri dengan “أَنَا”. Setelah semuanya saling mengenal, akhirnya mereka bersepakat untuk bersatu dalam sebuah keluarga dan terbentuklah kata ganti pertama jamak (dhamir mutakallim lil jam’) yaitu “نَحْنُ” alias kita, keluarga kita.
Demikianlah, pesan tersirat dari Kiai Ma’shum Ali untuk para pengkaji kitabnya yang masih lajang adalah agar segera menyingkap sosok هُوَ atau هِيَ untuk diperjuangkan menjadi “نحن”. Wallahu a’lam bish shawab.

Abjad Jepang A sampai Z


Huruf merupakan dasar penting dalam suatu komunikasi baik lisan maupun tertulis. Dalam bahasa - bahasa secara umum, huruf biasanya dituliskan dalam bentuk abjad A - B - C - D - E dan seterusnya. Namun, pada beberapa bahasa yang lebih luas, beberapa bahasa itu memiliki huruf abjad yang tidak sederhana, seperti dalam bahasa Korea, China, Arab, Thailand, Yunani, Jepang, dan yang lain sebagainya.

Pembahasan

Huruf abjad bahasa Jepang ada berbagai macam bentuknya. Ada sekitar 4 huruf abjad bahasa Jepang yang bisa dipelajari bila ingin tahu tentang bahasa Jepang, yaitu :
  1. Hiragama
  2. Katakana
  3. Kanji
  4. Romaji.
Huruf Abjad Hiragana merupakan salah satu huruf yang cukup sering digunakan di Negara Jepang (model huruf terlampir di gambar). Pelafalan yang ada di dalam huruf Hiragana ini tidak sama dengan alphabet yang digunakan di Indonesia. Pelafalan dari huruf Hiragama :
A = Su
B = Yu
C = Mo
D = To
E = Fa
F = Ku
G = Rin
H = Ji
I = Ro
J = Ga
K = Me
L = Ka
M = Te
N = Ko
O = Mi
P = No
Q = Ta
R = Shi
S = Ki
T = Chi
U = Na
V = Ri
W = Mei
X = Ya
Y = Fu
Z = Ken
Huruf Katakana adalah jenis huruf abjad bahasa Jepang yang kedua. Biasanya, Katakana ini digunakan untuk menulis kata-kata yang berasal dari bahasa asing yang kemudian diserap ke dalam bahasa Jepang. Selain itu, huruf abjad bahasa Jepang katakana ini juga bisa digunakan untuk menuliskan onomatope atau kata - kata asli bahasa Jepang, namun hal itu hanya bisa digunakan untuk menegaskan sesuatu saja. Huruf Katakana ini ditandai dengan ringkas, bersudut, dan paling sederhana di antara aksara Jepang yang ada.
Huruf Kanji, yang sudah sangat familiar dengan istilahnya. Kanji secara harfiah berarti ‘Karakter Han’, yang mana merupakan karakter china yang digunakan dalam bahasa Jepang. Kanji ini merupakan salah satu dari empat set karakter yang digunakan di dalam penulisan modern bahasa jepang, selain Katakana, Hiragana, dan Romaji. Jenis huruf kanji :
  1. Kanji Kokotsu. Merupakan huruf kanji yang paling kuno yang pernah ditemukan di daratan China. Huruf ini telah digunakan pada zaman in, atau sekitar abad 14 – 11 sebelum Masehi.
  2. Kanji Kinbun. Merupakan huruf kanji yang telah digunakan pada zaman dinasti chou, atau sekitar pada abad 11 - 7 sebelum masehi. Huruf kanji Kinbun ini ditemukan terukir di peralatan perunggu yang telah dibuat.
  3. Kanji Tenbun. Merupakan huruf kanji yang telah digunakan pada awal kekaisaran dinasti chin, yaitu ketika negara china bersatu sekitar abad ke-3 sebelum masehi. Pada masa itu, setiap tempat di dalam negeri China mengalami kesulitan dalam menggunakan huruf kanji yang bermacam-macam. Oleh karena itu, karena kesulitan dalam menggunakan huruf Kanji Kinbun, pemerintah pun akhirnya menetapkan huruf Kanji Tenbun untuk digunakan.
  4. Kanji Kaisho. Merupakan huruf kanji yang digunakan pada masa sekarang. Karakter pada kanji Kaisho ini sangat mudah untuk ditulis dan juga sangat mudah untuk digunakan secara umum sampai masa sekarang.
Huruf Romaji, dalam penulisannya di bahasa Jepang itu dilatinkan. Roma berasal dari kata roma, yaitu Romawi yang biasanya huruf non latin akan dilatinkan. Huruf Romaji ini pun juga dikenal sebagai bagaimana cara kepenulisan (alihaksara) bahasa Jepang dengan menggunakan abjad latin. Sebenarnya ada berbagai macam sistem alihaksara Jepang.
 Mungkin Itu saja Yang bisa ane share....

Filosofi Kata SANTRI


FILOSOFI KATA SANTRI

Kata santri dilihat dari segi bahasa memang kaya akan nilai filosofi. Asal-usul kata santri sendiri menurut Nur Kholis Majid (1999), sekurang-kurangnya ada 2 pendapat yang dapat di jadikan bahan acuan. Pertama, berasal dari bahasa sangsekerta, yaitu "sastri", yang berarti orang yang melek huruf. Kedua, berasal dari bahasa jawa, yaitu "cantrik", yang berarti seseorang yang mengikuti kiai di mana pun ia pergi dan menetap untuk menguasai suatu keahlian tersendiri.
Terlepas dari asal usul kata santri,, jika ditelusuri secara mendalam, maka kata “santri” mengandung beberapa arti:
Pertama; tiga matahari. Pengertian ini diambil dari kata san dan tri. “san” adalah bahasa inggris yang sudah diIndonesiakan, yang asalnya adalah Sun (matahari). Sedangkan “tri” juga bahasa inggris yang berarti tiga. Sehingga bila disusun, santri mengandung arti “tiga matahari”. Adapun yang dimaksud tiga matahari itu adalah Iman, Islam, dan Ihsan. Ini menunjukkan bahwa santri adalah orang yang berpegang teguh pada Iman, Islam, Ihsan.
Kedua; arti santri adalah jagalah tiga hal. Pengertian ini mengambil dari kata “San” dan “Tri” juga. “San” adalah bahasa arab yang sudah di-Indonesiakan, yang berasal dari kata Sun (jagalah). Sedangkan “Tri” adalah bahasa Inggris yang berartikan tiga. Jika disusun, mengandung arti “jagalah tiga hal”. Tiga hal tersebut adalah, (1) jagalah ketaatan kepada Allah, (2) Jagalah ketaatan kepada Rasul-Nya dan (3) para pemimpin.
Ketiga: jika ditulis dengan tulisan arab, maka kata “santri” terdiri dari lima huruf, ( ﺳﻨﺘﺮﻱ) yaitu : ﺱ , ﻥ , ﺕ , ﺭ , ﻱ . Artinya ialah:
1. Sin ( ﺱ ) adalah kepanjangan ﺳَﺘْﺮُ ﺍﻟْﻌَﻮْﺭَﺓِ (menutup aurat). Arti ini memberi pemahaman bahwa santri termasuk orang yang selalu menutup aurat sekaligus berpakaian sopan.
2.Nun ( ﻥ ) adalah asalnya ﻧَﻬْﻲُ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ adalah (meninggalkan maksiat). Pengertian ini menunjukkan bahwa kata santri adalah orang yang meninggalkan perbuatan maksiat.
3. Ta ( ﺕ ) adalah kepanjangan dari ﺗَﺎﺭِﻙُ ﺍﻟْﻤَﻌَﺎﺻِﻰ yang memiliki arti Orang yang meninggalkan kemaksiatan.(menjaga diri dari hawa nafsu). Ini berarti para santri adalah orang yang selalu menjaga hawa nafsunya, agar tidak terjerembab dalam kenistaan.
4. Ra( ﺭ ) adalah kepanjangan dari "raisul ummah" (pemimpin ummat). Oleh sebab itu, setiap santri mesti memiliki jiwa pemimpin dalam melaksanakan kebaikan. Ia mesti menjadi pelopor dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
5. Ya ( ﻱ ) adalah kepanjangan dari ﺍَﻟْﻴَﻘِﻴْﻦُ yang memiliki arti Keyakinan. Keyakinan adalah sebuah keharusan bagi santri. Sebab ia berada dalam koridor ilmu yang tidak diragukan lagi keuntungannya. Ia tidak boleh menyerah dalam proses tholabul ilmi. Karena apa yang ia usahakan akan berbuah manis bila disertai keyakinan.Dan para santri umumnya meyakini salah satu kandungan ndham imrithi:
ﺇِﺫِ ﺍﻟْﻔَﺘَﻲ ﺣَﺴْﺐَ ﺍِﻋْﺘِﻘَﺎَ ﺩِﻩِ ﺭُ ﻓِﻊْ # ﻭَ ﻛُﻞُّ ﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﻌْﺘَﻘِﺪْ ﻟَﻢْ ﻳَﻨْـﺘَﻔِﻊْ
Artinya: “ketinggian derajat pemuda, tergantung pada keyakinannya. Setiap orang yang tidak mempunyai keyakinan, maka ia tidak ada gunannya”.
Sedangkan menurut Dr. KH. M.A Sahal Mhafud, yang menilai kata santri berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata “santaro”, yang berarti “menutup”. Kalimat ini mempunyai bentuk jamak (plural) sanaatir (beberapa santri).
Sementara KH. Abdullah Dimyathy (alm) dari Pandeglang Banten, berpendapat bahwa kata santri mengimplementasikan fungsi manusia, dengan 4 huruf yang dikandungnya : sin = “satrul al aurah” (menutup aurat), Nun = “na’ibul ulama” (wakil dari ulama), Ta’ = “tarkul al ma’ashi” (meningglkan kemaksiatan), Ra’ = “ra’isul ummah” (pemimpin ummah)
Wallahu a'lam

Selamat Hari Santri Nasional

Kepanjangan "SANTRI"


  • Huruf Sin (س) singkatan dari: Saalikun Ila al-Akhirah. Santri harus menuju pada jalan akhirat.
  • Huruf Nun (ن) singkatan dari: Naaibun ‘ani al-Masyayikh. Santri adalah sebagai pengganti para guru (Ulama).
  • Huruf Ta’ (ت) singkatan dari: Taarikun ‘ani al-Ma’ashi. Santri harus mampu menjauhkan diri dari kemaksiatan.
  • Huruf Ro’ (ر) singkatan dari:  Rooghibun fi al-Khoirot. Santi harus senang terhadap kebaikan.
  • Huruf Ya’ (ي) singkatan dari: Yarju as-Salamata fi ad-Diini waddunya wal akhirah. Santri harus selalu mengharapkan (mempunyai harapan menuju) keselamatan di dalam agama, dunia, dan akhirat.
    













Meletakan Tangan Yang Kanan Di Atas Tangan Yang Kiri



Pelajaran Sifat Sholat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam (4) :

*MELETAKKAN TANGAN YANG KANAN DI ATAS TANGANNYA YANG KIRI*

_Saudaraku kaum muslimin rohimakumulloh…._

Kita akan lanjutkan kembali pelajaran tentang *Sifat Sholat (Tata Cara Sholat)* menurut tuntunan Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Kali ini, pembahasan kita adalah tentang *“Meletakkan Tangan Yang Kanan di Atas Tangannya yang Kiri”,* yakni dengan cara *bersedekap,* setelah kita melakukan takbirotul ihrom sambil mengangkat kedua tangan (sebagaimana penjelasan pada pelajaran yang lalu).

Dalil yang menunjukkan dasar amalan ini, adalah hadits *Sahl bin Sa’ad* rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata :

كان الناس يؤمرون أن يضع الرجل اليد اليمنى على ذراعه اليسرى في الصلاة

_“Adalah manusia itu diperintah untuk meletakkan tangan kanannya di atas lengan tangannya yang kiri di dalam sholat (yakni bersedekap, edt.).”_ (HR *Imam Al-Bukhori* no. 740)

Dalam hadits *Wail bin Hujr* rodhiyallohu ‘anhu, yang menjelaskan tentang sifat (tata cara) sholat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, di dalamnya disebutkan :

ثم وضع يده اليمنى على اليسرى

_“….kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas (tangannya) yang kiri (yakni bersedekap) …”_ (HR *Imam Muslim* no. 401)

Yakni, setelah takbirotul ihrom.

*Al-Imam At-Tirmidzi* rohimahulloh di dalam *Sunan*-nya (no. 252) mengatakan tentang hadits ini :

_“Para Ahli Ilmu (yakni para ulama) di kalangan Sahabat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah mengamalkan hadits ini, demikian pula para Tabi’in dan orang-orang yang setelah mereka. Mereka semua berpendapat *(disyari’atkannya) bagi seseorang untuk meletakkan tangannya yang kanan di atas tangannya yang kiri di dalam sholat.”*_

*Al-Imam Ibnu Rojab Al-Hambali* rohimahulloh juga menyatakan :

_“Ini adalah pendapat kebanyakan para fuqoha’ (ahli fiqih) di seluruh negeri. Diantara mereka adalah : Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Al-Hasan bin Sholih, As-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid, Abu Tsaur dan yang selain mereka.”_ ( *Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori*, no. 740)

Sebagian ulama ada yang berpendapat *harus irsal* (menggantungkan tangan, tidak perlu bersedekap).

Dan ada pula yang berpendapat untuk *boleh memilih antara bersedekap atau irsal (menggantungkan tangan).*

Tetapi pendapat yang rojih adalah pendapat jumhur ulama, sebagaimana disebutkan di atas *(yakni disyari’atkannya bersedekap/meletakkan tangan kanan di atas tangannya yang kiri).*

(lihat  juga : *Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab,* 3/311)

Guru kami, *Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam* hafidzhohulloh pernah menjelaskan, bahwa *irsal (menggantungkan tangan) setelah takbir, apabila dilakukan secara terus menerus, ini adalah bid’ah."*

_*Masalah : Apa Hukumnya Meletakkan Tangan yang Kanan di atas tangan yang Kiri itu ?*_

Jumhur ulama berpendapat disunnahkannya hal itu (bukan wajib).

Ya, karena hadits-hadits yang menunjukkan hal itu adalah *berupa fi’il (perbuatan)* Nabi shollallohu alaihi wa sallam.

Adapun *Al-Imam As-Syaukani* rohimahulloh dalam *Nailul Author* (1/188) berpendapat, bahwa hal itu adalah *wajib,* karena adanya perintah Nabi shollallohu alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits *Sahl bin Sa’ad* rodhiyallohu anhu.

Dan hukum asal suatu perintah adalah Wajib.

Dan yang *pendapat yg terakhir inilah yang shohih (benar).*

Seperti yang dinyatakan oleh *Syaikh Nashiruddin Al-Albani* rohimahulloh :

_“Dan apabila telah shohih/benar, bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam memerintahkan peletakan (tangan) tersebut, maka hal ini memberikan faedah (hukum) wajibnya hal tersebut. Akan tetapi kami tidak mendapati pendapat seperti ini dari kalangan para ulama terdahulu._

_Jika ada salah seorang dari mereka yang berpendapat seperti itu, maka wajib (atas kita semua) juga berpendapat seperti itu.”_

( *Ashlu Shifatis Sholatin Nabi*, hal. 210)

_*Masalah : "Bagaimana Cara Meletakkan Tangan yang Kanan di atas tangan yang Kiri itu ?"*_

Berdasarkan riwayat-riwayat yang shohih, cara meletakkan tangan kanan di atas tangan yang kiri itu adalah sebagai berikut : *“Meletakkan tangan kanan pada punggung telapak tangan yang kiri, pergelangan tangan, dan lengan bawah (hasta).”*

Hal itu berdasarkan hadits *Wail bin Hujr* rodhiyallohu anhu yang diriwayatkan *Imam Abu Dawud* dalam *Sunan*-nya (no. 727), dan yang lainnya, dan hadits ini dishohihkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, An-Nawawi, Ibnul Qoyyim, Ibnul Mulaqqin dan Syaikh Al-Albani rohimahumulloh.

Syaikh Al-Albani rohimahuloh menyebutkan di dalam kitabnya *Ashlu Shifatis Sholatin Nabiy* (hal. 209) hadits *Wail bin Hujr* rodhiyallohu anhu tersebut :

_“Saya (Wail bin Hujr) berkata : “Sungguh aku benar-benar akan menunjukkan (kepada kalian) sholatnya Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam, bagaimana beliau sholat. Maka aku melihat kepada beliau (Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam), beliau berdiri, lalu bertakbir dan mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua telinganya, lalu beliau meletakkan tangannya yang kanan pada punggung telapak tangan yang kiri, pergelangan tangan dan lengan bawah (hasta)…..”_

Seperti itu juga, hadits yang diriwayatkan oleh *Al-Imam An-Nasa’i* rohimahulloh dalam *Sunan*-nya (2/126) dengan sanad-sanad yang shohih.

Cara lainnya adalah :  *“menggenggam tangan yang kiri dengan menggunakan tangan kanan.”*

Hal itu sebagaimana ditunjukkan dalam hadits *Wail bin Hujr* rodhiyallohu anhu, yang diriwayatkan oleh *Al-Imam An-Nasa’i* rohimahulloh dalam *Sunan*-nya (2/125) dengan sanad yang shohih, Wail bin Hujr rodhiyallohu anhu berkata :

رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا كان قائما في الصلاة قبض بيمينه على شماله

_“Aku melihat Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam apabila berdiri di dalam sholatnya, beliau menggenggam tangan kirinya dengan menggunakan tangan kanannya.”_

_*Masalah : Dimanakah Meletakkan Kedua Tangan tersebut Ketika Posisi Berdiri di dalam Sholat ?*_

Tentang masalah ini, dijelaskan oleh *Al-Hafidz Ibnu Rojab Al-Hambali* rohimahulloh dalam *Fathul Bari* (pada hadits no. 740) sebagai berikut :

_“Para ulama berbeda pendapat dalam masalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri tersebut, dimana diletakkan. Apakah keduanya itu diletakkan di atas dada, atau di bawah pusar, atau boleh memilih diantara dua tempat tersebut ?_

_Dalam masalah ini ada tiga pendapat, dan tiga pendapat ini pun juga diriwayatkan dari Imam Ahmad. Dan diantara orang yang meriwayatkan dari beliau adalah yang berpendapat bahwa (meletakkan) kedua tangan tersebut adalah *di bawah pusar.* Ini adalah pendapat dari Ali, Abu Huroiroh, An-Nakho’i dan Abu Majlaz. Ini juga pendapat Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Malik dan Ishaq._

_Juga diriwayatkan dari Ali dan Sa’id bin Jubair, bahwa beliau meletakkan kedua tangannya tersebut *di atas dada*. Dan ini juga pendapat dari As-Syafi’i._

_Diriwayatkan dari murid-murid Abu Ishaq Al-Marwazy, bahwa beliau (Abu Ishaq) berpendapat : *meletakkannya di bawah pusar.*_

_Ibnul Mundzir rohimahulloh meriwayatkan, bahwa *boleh memilih antara keduanya.*_

_Al-Imam *At-Tirmidzi* menyebutkan dalam kitab *Jami’-nya (Sunan At-Tirmidzi),* bahwa : Beliau melihat sebagian ulama ada yang meletakkan kedua tangannya itu di atas pusar. Beliau juga melihat bahwa sebagian ulama ada yang meletakkan di bawah pusar. Semua perkara itu adalah masalah yang luas.”_  (sampai di sini penukilan dari kitab *Fathul Bari*)

Guru kami, *Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Hizam* hafidzhohulloh berkata (memberikan komentar atas pendapat-pendapat tersebut di atas :

_“Dua atsar dari Ali bin Abi Tholib dan Abu Huroiroh tentang meletakkan kedua tangan *di bawah pusar*, adalah riwayat yang tidak tsabit atau tidak shohih. Di dalam sanad-sanadnya ada Abdurrahman bin Ishaq Al-Kufy._

_Imam An-Nawawi berkata tentangnya : “Dia adalah perowi yang dho’if berdasarkan kesepakatan para ulama Jarh wa Ta’dil.”_

_Sedangkan riwayat dari Ali yang menjelaskan tentang meletakkan kedua tangan *di atas dada*, juga tidak tsabit/tidak shohih. Di dalam sanad-sanadnya terdapat rowi yang majhul._

_Dan masalah ini adalah *masalah yang luas (yakni boleh meletakkan kedua tangan di manapun)*, karena tidak adanya dalil yang shohih dalam masalah ini._

_Dan seperti inilah yang ditarjih oleh Syaikh kami (yakni guru dari Syakh Muhammad bin Hizam hafidzohulloh), yakni Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy rohimahulloh._

_Tetapi yang lebih mencocoki kebenaran adalah *meletakkan kedua tangan tersebut lebih tinggi dari pusar (yakni sedikit di atas pusar dan di bawah dada).*_

_Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam An-Nasa’i dalam Sunan-nya, dari hadits Wail bin Hujr rodhiyallohu anhu, dia berkata :_

أن النبي صلى الله عليه وسلم وضع يده اليمنى على كفه اليسرى والرسغ والساعد

_“Bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam *meletakkan tangannya yang kanan di atas telapak tangannya yang kiri, pergelangan tangan dan lengannya yang bawah (hastanya).”*_

(HR *An-Nasa’i* (2/126), sanadnya shohih).

Dan secara adat (kebiasaan), cara meletakkan tangan yang seperti ini (sebagaimana hadits di atas) adalah *hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang meletakkan kedua tangannya tersebut di bagian yang lebih tinggi dari pusarnya (yakni sedikit di atas pusar dan di bawah dadanya).* Wallohu a’lam. 

(Lebih luasnya pembahasan ini, silahkan periksa kitab-kitab sebagai berikut : *Al-Ausath* (3/93-94) karya Ibnul Mundzir, *Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab* (3/313) karya Al-Imam An-Nawawi, *Al-Mushonnaf* (1/390) karya Al-Imam Ibnu Abi Syaibah rohimahumulloh, lihat pula *Fathul ‘Allam* (1/708) karya guru kami, Syaikh Muhammad bin Hizam hafidzhohulloh)

Demikianlah pembahasan ringkas tentang meletakkan tangan kanan di atas tangan yang kiri, yang bisa kami sampaikan.

Semoga bermanfaat untuk kita semuanya.

_Barokallohu fiikum….._


Cek Ongkir/pengiriman

Jam

Tanggal

cek