Kiai Subhan Makmun: Beda Wa‘alaikumussalam dan Wa‘alaikum Salam


“Kalau menjawab salam, jawablah dengan kalimat
wa’alaikumussalâm , jangan wa’alaikum salam.” Demikian Kiai Subhan Makmun mengajarkan kepada peserta kajian kitab Tafsîr Al-Munîr di Masjid Al-Mukarromah komplek Islamic Center Brebes, Ahad, 13/01.
Rais Syuriyah PBNU ini menyampaikan hal tersebut di sela-sela menjelaskan penafsiran Surat An-Nisa ayat 86 yang menuturkan wa idzâ huyyîtum bi tahiyyatin fa hayyû bi ahsana minhâ aw ruddûhâ (bila kalian diberi penghormatan maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau dengan yang sepadannya).
Menurut pengasuh Pondok Pesantren Assalafiyah Luwungragi Brebes ini, orang yang mengucapkan salam kepada kita dengan mengucapkan as-salâmu ‘alaikum kata salâm-nya (di dalam Bahasa Arab) menggunakan “al” ma’rifat. Maka, sebagaimana perintah ayat di atas membalasnya pun harus dengan menggunakan “al“ ma’rifat biar balasannya sepadan. Dengan demikian maka menjawab salam harus dengan kalimat
wa’alaikumussalâm , bukan wa’alaikum salâm di mana kata salâm-nya berupa isim nakirah, tanpa “al”.
Lalu apa perbedaan makna di antara keduanya?
Kiai Subhan menjelaskan bahwa ketika kata salâm
menggunakan isim ma’rifat (dengan adanya “al” di depannya) maka itu berarti salam (keselamatan) yang disampaikan adalah salam yang berasal dari Allah, bukan salam dari selain-Nya. Namun bila kata
salâm ini diucapkan dalam bentuk isim nakirah (tanpa “al” di depannya) maka makna salam ini masih umum, tidak tertentu yang berasal dari Allah.
Karenanya menjawab salam dengan kalimat
wa’alaikum salâm tidak sesuai dengan perintah ayat tersebut, karena membalas secara tidak sepadan dengan salam yang diberikan oleh pengucapnya.
Lebih lanjut Kisi Subhan mengisahkan bahwa satu ketika pesantrennya kedatangan Habib Abdullah bin Salim Alkaf dari Pekalongan. Beliau seorang alumni Al-Azhar Kairo yang ahli di bidang tafsir. Mendapat kabar bahwa sang habib akan hadir di pesantrennya Kiai Subhan segera mengingatkan para santrinya agar kelak ketika sang habib hadir dan beruluk salam maka dijawab dengan kalimat wa’alaikumussalâm , bukan
wa’alaikum salam.
Namun ternyata yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Saat sang habib hadir seorang santri yang sebelumnya tidak ikut mendengar peringatan sang kiai berada di bagian paling depan penyambutan. Dan ketika sang habib mengucapkan salam santri ini dengan keras menjawab wa’alakum salam. Mendengar jawaban ini spontan Habib Abdullah menegurnya bahwa itu adalah jawaban yang salah.

Keutamaan Hari Jum'at

Dalam Bidâyatul Hidâyah , Imam Abu Hamid al-Ghazali menyebut hari Jumat sebagai hari raya kaum mukmin ( ‘îdul mu’minîn )—pernyataan ini selaras dengan hadits riwayat Imam Thabrani. Kemuliaan terhampar luas yang memang disediakan khusus oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya. Jumat, lanjutnya, juga merupakan saat-saat tepat dan penting bagi umat untuk memanjatkan doa. Salah satu waktu manjur bagi terkabulnya doa adalah pada hari berjuluk sayyidul ayyâm (rajanya hari) ini.
Baca: Dalil Keutamaan Hari Jumat
Amalan Jelang Jumatan
Karena istimewanya hari Jumat, Imam al-Ghazali bahkan menyarankan agar umat Islam mempersiapkan diri menyambut hari Jumat sejak hari Kamis, dimulai dengan mencuci baju, lalu memperbanyak membaca tasbih dan istighfar pada Kamis petang karena saat-saat tersebut sudah memasuki waktu keutamaan hari Jumat. Selanjutnya, kata Imam al-Ghazali, berniatlah puasa hari Jumat sebagai rangkaian dari puasa tiga hari berturut-turut Kamis-Jumat-Sabtu, sebab ada larangan puasa khusus hari Jumat saja.
Baca: Hukum Puasa Hari Jumat
Tatkala memasuki waktu subuh hari Jumat, seseorang dianjurkan melaksanakan mandi Jumat. Status amalan ini adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), dan wajib bagi seseorang yang malamnya mengalami “mimpi basah” atau bersebadan suami-istri yang membuatnya menanggung hadats besar.
Selepas mandi, hal berikutnya yang perlu diperhatikan adalah soal pilihan pakaian. Menghias diri dengan pakaian serbaputih adalah pilihan terbaik sebab merupakan pakaian yang paling dicintai Allah ( ahabbuts tsiyâb ila-Lâh ). Pastikan pula badan dalam kondisi benar-benar bersih dan harum dengan memotong kuku, sikat gigi, mencukur bulu, atau memakai wewangian. Selanjutnya, bersegeralah berangkat menuju masjid dengan penuh ketenangan. Al-Ghazali pun mengutip sebuah pernyataan, “Kedekatan manusia saat berjumpa Allah tergantung seberapa pagi ia bergegas menuju shalat Jumat.”
Bagaimana ketika kita telah sampai di masjid? Imam al-Ghazali mengatakan, carilah barisan paling awal. Bila masjid sudah tampak ramai, jangan melangkahi bahu-bahu mereka, jangan pula lewat di depan mereka yang sedang shalat. Cari lokasi duduk yang dekat dengan dinding atau tiang sehingga tak ada orang lalu lalang di hadapan kalian.
Sebelum duduk, sebaiknya laksanakanlah shalat Tahiyyatul Masjid, yang utama empat rakaat. Tiap rakaat bakda al-Fatihah, bacalah surat al-Ikhlas sebanyak 50 kali (dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pengamal ini tak akan wafat kecuali ia melihat tempat untuknya di surga atau orang lain yang menyaksikan tempat tersebut. Sunnah juga dalam pelaksanaan shalat sunnah empat rakaat tersebut membaca surat al-An‘âm, al-Kahfi, Thâhâ, dan Yâsîn. Bila tak sanggup, bisa diganti surat Yâsîn, ad-Dukhân, as-Sajdah, dan al-Mulk. Surat-surat ini, kata Imam al-Ghazali, penting pula dibaca pada malam Jumat karena memiliki banyak keutamaan. Bagi mereka yang tak sanggup membaca surat-surat ini, dianjurkan membaca surat al-Ikhlas dan shalawat kepada Rasulullah sebanyak-banyaknya. Shalat Tahiyyatul Masjid tetap dianjurkan meskipun imam sedang berkhutbah—hanya saja saat-saat itu shalat Tahiyyatul Masjid hendaknya diperingkas.
Tatkala imam naik mimbar, seseorang dianjurkan berhenti berbicara, termasuk membaca shalawat dan doa, untuk kemudian sibuk menjawab adzan, serta fokus mendengarkan dan memperhatikan khutbah. Jikapun kita terpaksa menegur orang lain yang berisik, misalnya, maka cukup dengan bahasa isyarat, bukan kata-kata. Berkata-kata saat khutbah berlangsung dapat melenyapkan pahala shalat Jumat.
Baca juga: Hukum Main Hape saat Khutbah Jumat Berlangsung
Dzikir Setelah Shalat Jumat
Selepas mengikuti gerakan imam mulai dari takbiratul ihram hingga salam, jamaah tak dianjurkan langsung pergi begitu saja, kecuali bila ada urusan mendesak. Menurut Imam al-Ghazali dalam Bidâyatul Hidâyah , selepas shalat, sebelum lisannya melontarkan apa pun, seseorang hendaknya merapalkan bacaan-bacaan berikut:
1. Surat al-Fatihah sebanyak tujuh kali
2. Surat al-Ikhlas sebanyak tujuh kali
3. Surat al-Falaq sebanyak tujuh kali
4. Surat an-Nas sebanyak sebanyak tujuh kali
Bacaan-bacaan tersebut, kata Imam al-Ghazali, akan menjadi benteng dan memelihara seseorang dari gangguan syaitan, mulai dari satu Jumat ke Jumat berikutnya. Selanjutnya baca doa berikut:
ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻳَﺎ ﻏَﻨِﻲُّ ﻳَﺎ ﺣَﻤِﻴْﺪُ ﻳَﺎ ﻣُﺒْﺪِﺉُ ﻳَﺎ ﻣُﻌِﻴْﺪُ ﻳَﺎ ﺭَﺣِﻴْﻢُ ﻳَﺎ ﻭَﺩُﻭْﺩُ ﺃَﻏْﻨِﻨِﻲْ ﺑِﺤَﻠَﺎﻟِﻚَ ﻋَﻦْ ﺣَﺮَﺍﻣِﻚَ ﻭَﻃَﺎﻋَﺘِﻚَ ﻋَﻦْ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺘِﻚَ ﻭَﺑِﻔَﻀْﻠِﻚَ ﻋَﻤَّﻦْ ﺳِﻮَﺍﻙَ
Allâhumma yâ ghaniyyu yâ hamîd, yâ mubdi’u wa yu‘îd, yâ rahîmu yâ wadûd. Aghninî bi halâlika ‘an harâmik, wa thâ‘atika ‘an ma‘shiyatik, wa bi fadhlika ‘an man siwâka.
Artinya: “Ya Allah, Yang Maha Kaya, Maha Terpuji, Maha Pencipta, Maha Kuasa Mengembalikan, Maha Penyayang, dan Maha Kasih. Cukupi aku dengan harta halal-Mu, bukan dengan yang haram. Isilah hari-hariku dengan taat kepada-Mu, bukan mendurhakai-Mu. Cukupi diriku dengan karunia-Mu, bukan selain-Mu.
Sesudah itu, sang Hujjatul Islam menyarakan kita untuk melaksanakan shalat dua rakaat atau enam rakaat (tiap dua rakaat salam) sebab Rasulullah pernah meriwayatkan tentang hal itu dalam berbagai kesempatan.
Imam al-Ghazali juga menganjurkan, usai shalat Jumat seseorang agar tetap berada di masjid hingga maghrib, atau setidak-tidaknya waktu ashar. Sebab sepanjang hari Jumat ada saat-saat mustajab yang dirahasiakan. Barangkali dengan tetap berada di masjid kita mendapati momen spesial itu pas ketika kita sedang khusyuk-khusyuknya, merendahkan diri kepada Allah. Tentu saja selama di masjid tak disarankan kita bergabung di forum ngobrol atau majelis yang mubazir, kecuali forum keilmuan yang kian mendekatkan diri kita kepada Allah dan semakin menjauhkan ikatan hati kita kepada dunia.
Kata Imam al-Ghazali:
ﻓﻜﻞ ﻋﻠﻢ ﻻ ﻳﺪﻋﻮﻙ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻵﺧﺮﺓ ﻓﺎﻟﺠﻬﻞ ﺃﻋﻮﺩ ﻋﻠﻴﻚ ﻣﻨﻪ
“Tiap ilmu yang tak mendorongmu menjauh dari (cinta) dunia, mendekatkan kepada (cinta) akhirat, bodoh atas ilmu itu lebih bagus daripada menguasainya.”
Tampak sekali dalam sebagai anjuran Imam al-Ghazali di atas, beliau mengandaikan bahwa seseorang mengkhususkan hari Jumat untuk lebih intensif beribadah. Hal ini dikarenakan sejumlah keistimewaan di dalamnya dibanding hari-hari pada umumnya. Bila dalam satu tahun, kita dianjurkan makin giat taqarrub selama sebulan penuh Ramadhan, maka dalam konteks hitungan minggu momen itu terletak pada selama sehari penuh Jumat. Wallahu a'lam . (Mahbib)
Keterangan ini dinukil dari kitab "Bidâyatul Hidâyah" dalam "Majmû’ Rasâil Imâm al-Ghazâlî "(Kairo: Makabah Taufîqiyyah), tanpa tahun, halaman 410-411.

Hukum Parfum BerAl-kohol


Saya ingin menanyakan bagaimana hukumnya memakai parfum beralkohol, apakah ada hadits atau ayat suci Al-Qur’an yang menerangkan hal itu? Terima kasih. (Lukky Hendrawan)
---
Wa’alaikum salam wr. wb.
Saudara Lukky Hendrawan, semoga senantiasa dalam naungan kasih sayang Allah. Memakai serta menggunakan parfum (wewangian) pada dasarnya merupakan ajaran dan anjuran Baginda Nabi Muhamad saw. Bahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Beliau (Rasulullah) pernah menjelaskan bahwa salah satu hal yang sangat diminati beliau adalah menggunakan dan memakai wewangian.
Ajaran ini tentu sangat baik untuk dilaksanakan, mengingat adanya manfaat yang besar bagi para pengguna wewangian (parfum) maupun orang-orang yang berdekatan dengannya. Saudara penanya yang kami hormati.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah penggunaan maupun pemakaian parfum beralkohol sebagaiamana pertanyaan yang saudara ajukan. Permasalahan ini juga kerap kali kita jumpai. Mereka yang mempertanyakan masalah ini biasanya masih ragu akan keabsahan hukum parfum beralkohol yang dipergunakan mengingat perbedaan pendapat para ulama dalam menetapkan dan menyikapi permasalahan ini.
Diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa alkohol adalah najis sehingga dampak hukumnya adalah tidak boleh dipergunakan, ada pula yang berpandangan tidak najis dan dengan demikian boleh untuk dipergunakan, serta ada lagi yang beranggapan bahwa alkohol merupakan najis yang ma’fu sepanjang dicampur dengan obat-obatan atau wewangian dengan kadar menjaga kelayakan/kemaslahatan benda yang dicampur (obat-obatan atau wewangian).
Alasan ulama yang mengatakan bahwa alkohol dihukumi najis adalah termasuk khomr (yang memabukkan), sedangkan yang berpendapat tidak najis atau najis yang ma’fu adalah karena alkohol yang terdapat dalam parfum tidak dikonsumsi sebagai mimuman. Saudara Lukky Hendrawan yang terhormat.
Perbedaan pendapat tersebut berdasarkan pijakan yang sama yakni firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 90:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟْﺨَﻤْﺮُ ﻭَﺍﻟْﻤَﻴْﺴِﺮُ ﻭَﺍﻟْﺄَﻧْﺼَﺎﺏُ ﻭَﺍﻟْﺄَﺯْﻟَﺎﻡُ ﺭِﺟْﺲٌ ﻣِﻦْ ﻋَﻤَﻞِ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ ﻓَﺎﺟْﺘَﻨِﺒُﻮﻩُ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah najis dan termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.
Sedangkan hadis yang biasanya dijadikan acuan oleh para ulama dalam masalah ini adalah dua hadis, yang pertama diriwayatkan oleh imam Muslim, dan hadis kedua diriwayatkan oleh imam Abu Daud, At-Turmidzi dan Ibnu Majah.
ﻛُﻞُّ ﻣُﺴْﻜِﺮٍ ﺧَﻤْﺮٌ ﻭَﻛُﻞُّ ﺧَﻤْﺮٍ ﺣَﺮَﺍﻡٌ
Artinya: Setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram.
ﻣَﺎ ﺃَﺳْﻜَﺮَ ﻛَﺜِﻴْﺮُﻩُ ﻓَﻘَﻠِﻴْﻠُﻪُ ﺣَﺮَﺍﻡٌ
Artinya : Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum memakai parfum beralkohol masih terdapat perbedaan diantara para ulama.
Permasalahan ini juga pernah dibahas dalam Muktamar NU ke-23, di Solo, 52 tahun yang lalu, tepatnya Pada Tanggal 29 Rajab - 3 Sya’ban 1382 H/ 25 - 29 Desember 1962 M dengan keputusan bahwa minyak wangi (parfum) yang dicampuri alkohol, apabila campurannya untuk menjaga kebaikan (kelayakan/pengawet minyak wangi) maka dimaafkan.
Untuk lebih jelasnya mengenai hasil keptusan Muktamar ini dapat dilihat pada kitab/buku Ahkamul Fuqaha’, Himpunan Keputusan-keputusan Muktamar dan permusyawaratan lainnya. Mudah-mudahan jawaban ini bermanafaat bagi kita semua. Amin.
Wallahu a’lam bi as-shawab.

Awal Mula Sayyidina Umar bin Khattab Masuk islam


“Ya Allah, perkuat Islam dengan Abul Hakam bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar bin Khattab,” doa Rasulullah.
Semula Umar bin Khattab menentang Islam bukan karena dia tidak mengerti dengan ajaran Nabi Muhammad saw. Atau pun karena fanatik dengan agama leluhurnya, menyembah berhala. Dia memiliki pemikiran kalau Nabi Muhammad saw. dengan ajaran barunya telah membuat masyarakat Quraisy secara khusus dan masyarakat Makkah secara umum terpecah belah dan berkonflik.
Ia tidak menghendaki keadaan seperti itu. Dia ingin agar masyarakatnya tidak pecah, bersatu, tertib, dan stabil. Untuk mengembalikan keadaan masyarakat Quraish seperti sediakala, maka satu-satunya jalan adalah dengan menghentikan dakwah Nabi Muhammad saw. dan pengikutnya. Paradigma pemikiran seperti itu lah yang membuat Umar bin Khattab sangat keras menentang dan memusuhi Islam. Bahkan, beberapa kali Umar bin Khattab sampai berpikir untuk menghabisi Nabi Muhammad saw., orang yang dianggap telah memecah belah masyarakat Quraisy.
Manusia hanya berencana, Allah lah yang mewujudkannya. Meski semula menentang Islam, tapi kelak Umar bin Khattab akan menjadi pembela Islam yang sangat gigih dan terdepan. Ada beberapa riwayat yang menjelaskan mengenai awal mula dan sebab Sayyidina Umar bin Khattab mendapatkan hidayah dan masuk Islam.
Riwayat pertama, suatu ketika Sayyidina Umar bin Khattab pergi ke tempat Nabi Muhammad saw. untuk membunuhnya. Di tengah jalan dia papasan dengan Nu’aim bin Abdullah. Nu’aim menyarankan Sayyidina Umar agar membatalkan rencananya itu. Ia juga meminta Sayyidina Umar untuk mengurus saudarinya, Fatimah binti Khattab, dan iparnya, Sa’id bin Zaid bin Amr, yang sudah masuk Islam, sebelum menghadapi Nabi Muhammad saw.
Sayyidina Umar langsung ke rumah Fatimah untuk membuat perhitungan karena adiknya telah masuk Islam. Ketika sampai di depan rumah, dia mendengar Khabbab bin al-Arat sedang membacakan Al-Qur’an Surat Thaha kepada Fatimah dan Sa’id bin Zaid bin Amr. Singkat cerita, Sayyidina Umar luluh hatinya dan terkesima dengan keindahan kata-kata Al-Qur’an yang dibacakan Khabbab. Seketika itu, dia meminta Khabbab untuk mengantarnya bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dan menyatakan diri masuk Islam.
Riwayat kedua, pada saat itu Sayyidina Umar hendak mencari teman-temannya untuk diajak mimum khamr. Namun, dia tidak menemukan temannya itu. Akhirnya, dia memutuskan pergi ke Ka’bah untuk thawaf. Di sana, dia mendapati Nabi Muhammad saw. tengah mengerjakan shalat. Melihat hal itu, Sayyidina Umar penasaran dan ingin mendengar apa yang diucapkan Nabi Muhammad saw. Ia kemudian menyelinap ke dalam bilik Ka’bah, hingga jaraknya dengan Nabi Muhammad saw. hanya dibatasi kain Ka’bah.
“Setelah saya dengar Al-Qur’an itu dibacanya, hati saya rasa tersentuh. Saya menangis; Islam sudah masuk ke dalam hati saya. Sementara saya masih tegak berdiri menunggu sampai Rasulullah selesai shalat,” kata Sayyidina Umar, dikutip dari buku Umar bin Khattab (Muhammad Husain Haekal, 2015).
Nabi Muhammad saw. pulang ke rumahnya setelah menyelesaikan shalatnya. Sementara Sayyidina Umar membuntuti di belakangnya. Ketika sudah dekat dengan rumahnya, Nabi Muhammad baru sadar kalau sedang diikuti Sayyidina Umar. Awalnya Nabi Muhammad saw. terperangah dan mengirakan Sayyidina Umar akan menyakitinya. Setelah ditanya maksud dan tujuannya, Sayyidina Umar langsung menyatakan diri beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Muhammad saw.
“Kemudian ia (Nabi Muhammad saw.) mengusap dada saya dan mendoakan saya agar tetap tabah,” kenang Sayyidina Umar.
Riwayat ketiga, Sayyidina Umar mulai bersimpati dengan Islam ketika umat Islam berhijrah ke Abissinia. Memang semula dia keras menentang dakwah Islam, namun ia menjadi iba setelah melihat kondisi umat Islam yang pergi dari kampung halaman dan meninggalkan orang-orang tercintanya, setelah mereka disiksa dan dianiaya.
Ketika umat Islam hendak berangkat ke Abissinia, Sayyidina Umar berpapasan dengan Umi Abdullah binti Abi Hismah. Setelah bercakap basa-basi dengan Umi Abdullah, Sayyidina Umar mendoakan agar Allah selalu menyertai rombongan yang hendak berangkat ke Abissinia itu.
“Kemudian dia pergi, dan saya lihat dia (Sayyidina Umar) sangat sedih karena kepergian kami ini,” cerita Umi Abdullah.

12 Adab Suami Terhadap Istri


Suami dan istri adalah dua insan yang saling mengikatkan diri. Ada hak dan kewajiban bagi mereka termasuk yang berkaitan dengan adab. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya berjudul Al-Adab fid Din dalam
Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, halaman 442) menjelaskan tentang adab seorang suami terhadap istri sebagai berikut:
ﺁﺩﺍﺏ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻣﻊ ﺯﻭﺟﺘﻪ : ﺣﺴﻦ ﺍﻟﻌﺸﺮﺓ، ﻭﻟﻄﺎﻓﺔ ﺍﻟﻜﻠﻤﺔ، ﻭﺇﻇﻬﺎﺭ ﺍﻟﻤﻮﺩﺓ، ﻭﺍﻟﺒﺴﻂ ﻓﻲ ﺍﻟﺨﻠﻮﺓ، ﻭﺍﻟﺘﻐﺎﻓﻞ ﻋﻦ ﺍﻟﺰﻟﺔ ﻭﺇﻗﺎﻟﺔ ﺍﻟﻌﺜﺮﺓ، ﻭﺻﻴﺎﻧﺔ ﻋﺮﺿﻬﺎ، ﻭﻗﻠﺔ ﻣﺠﺎﺩﻟﺘﻬﺎ، ﻭﺑﺬﻝ ﺍﻟﻤﺆﻭﻧﺔ ﺑﻼ ﺑﺨﻞ ﻟﻬﺎ، ﻭﺇﻛﺮﺍﻡ ﺃﻫﻠﻬﺎ، ﻭﺩﻭﺍﻡ ﺍﻟﻮﻋﺪ ﺍﻟﺠﻤﻴﻞ، ﻭﺷﺪﺓ ﺍﻟﻐﻴﺮﺓ ﻋﻠﻴﻬﺎ
Artinya: Adab suami terhadap Istri, yakni: berinteraksi dengan baik, bertutur kata yang lembut, menunjukkan cinta kasih, bersikap lapang ketika sendiri, tidak terlalu sering mempersoalkan kesalahan, memaafkan jika istri berbuat salah, menjaga harta istri, tidak banyak mendebat, mengeluarkan biaya untuk kebutuhan istri secara tidak bakhil, memuliakan keluarga istri, senantiasa memberi janji yang baik, dan selalu bersemangat terhadap istri.
Dari kutipan di atas, dapat diuraikan kedua belas adab suami terhadap istri sebagai berikut:
Pertama , bergaul dengan baik. Seorang suami hendaknya berinteraksi dengan istri secara baik. Seorang suami adalah pelindung bagi istrinya. Tidak selayaknya ia mengambil jarak dari istrinya karena merasa memiliki kedudukan lebih tinggi dalam keluarga.
Kedua, bertutur kata yang lembut. Seorang suami hendaknya berbicara kepada istrinya dengan bahasa yang lembut. Kata-kata kasar dan caci maki yang menyakitkan istri harus dihindari. Jika hubungan suami dan istri baik tentulah suasana rumah tangga sangat menyenangkan.
Ketiga , menunjukkan cinta kasih. Seorang suami hendaknya selalu menunjukkan cinta dan kasih sayangnya kepada istri. Dalam suasana marah pun, seorang suami tetap dituntut dapat menunjukkan kasih dan sayangnya kepada istri.
Keempat, bersikap lapang ketika sendiri. Seorang suami hendaknya tetap memiliki kemandirian sehingga jika suatu ketika harus sendirian di rumah, misalnya karena istri ada perlu di luar rumah yang tidak bisa dihindari, ia dapat melayani dirinya sendiri dengan baik tanpa banyak keluhan. Apalagi menyalahkan istri.
Kelima, tidak terlalu mempersoalkan kesalahan istri. Setiap orang bisa berbuat salah meskipun mungkin telah berusaha bersikap hati-hati. Jika istri berbuat salah, seorang suami hendaknya dapat menasihatinya dengan bijak. Tentu saja tidak setiap kesalahan harus dipersoalkan secara serius dan berlarut-larut sebab hal ini dapat memperburuk hubungan.
Keenam , memaafkan jika istri berbuat salah. Dalam Islam memaafkan sangat dianjurkan. Oleh karena itu seorang suami, diminta atau tidak, hendaknya dapat memaafkan kesalahan istri. Memaafkan adalah sikap moral yang sangat terpuji dan menunjukkan jiwa besar.
Ketujuh , menjaga harta istri. Harta istri seperti mahar dari suami atau hasil bekerja sendiri merupakan milik istri. Oleh karena itu seorang suami hendaknya menjaga harta itu dengan baik dan tidak mengklaim sebagai miliknya. Jika ia bermasud menggukan sebagian atau seluruh harta itu, maka harus meminta izin dari istrinya hingga mendapatkan persetujuan.
Kedelapan , tidak banyak mendebat. Perdebatan tidak selalu berdampak baik. Oleh karena itu seorang suami hendaknya dapat menghargai pendapat istri sekalipun mungkin kurang setuju. Tentu saja hal ini berlaku untuk masalah-masalah yang memang kurang prinsipil.
Kesembilan , mengeluarkan biaya untuk mencukupi kebutuhan istri secara tidak bakhil. Sebuah parikan bahasa Jawa berbunyi: Lombok ijo lombok jeprit, karo bojo ojo medhit. Maksudnya, suami-istri jangan pelit satu sama lain sebab hal ini akan berdampak kurang baik dalam keharmonisan keluarga. Suami dan istri hendaknya bersikap longgar satu sama lain untuk saling membantu.
Kesepuluh, memuliakan keluarga istri. Secara naluri seorang istri umumnya memiliki hubungan emosional yang sangat kuat dengan keluarganya. Demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu seorang suami hendaknya bersikap baik terhadap keluarga istrinya dengan menghormati mereka. Sikap sebaliknya akan melukai perasaan istri.
Kesebelas , senantiasa memberi janji yang baik. Menjanjikan sesuatu yang baik kepada istri adalah baik terutama dalam rangka mendorong kebiasaan yang baik dalam keluarga. Sebaliknya, sangat sering memberi ancaman-ancaman tentu tidak bijaksana sebab akan menimbulkan ketakutan-ketakutan yang berdampak kurang baik.
Kedua belas, selalu bersemangat terhadap istri. Kegairahan hidup berumah tangga harus selalu dirawat dengan baik. Oleh karena itu seorang suami hendaknya menunjukkan semangatnya dalam berinteraksi dengan istri termasuk dalam memenuhi nafkah lahir dan batinnya.
Demkianlah kedua belas adab suami terhadap istri sebagaimana nasihat Imam Al-Ghazali. Nasihat ini sekaligus menepis anggapan bahwa seorang suami boleh berbuat sesuka hati kepada istrinya. Tentu saja hal ini tidak benar sama sekali karena Islam sangat menekankan sikap adil. Jangankan kepada istri yang kita cintai, kepada pihak lain yang mungkin kita tidak suka, kita tetap dituntut bersikap adil.

Mayoran:Ajaran Rosulallah Satu Nampan Banyak Tangan


Mayoran adalah istilah yang digunakan oleh para santri untuk menunjukkan satu kegiatan makan bersama-sama dalam satu wadah besar. Wadah itu bisa berupa pelepah daun pisang (seperti gambar di atas) bisa juga dengan nampan atau baki. Nampan atau baki merupakan salah satu wadah yang biasa digunakan untuk menyajikan makanan atau minuman, biasanya terbuat dari kayu, plastik, logam, atau bahan lainnya. Adapun bentuknya bisa bulat, atau persegi. Jika persegi kadang ada yang bertelinga di sisi kanan dan kiri sebagai pegangan tangan. Sebagian masyarakat menyebut nampan sebagai talam, dulang atau tapsi . Karena itulah mayoran di sebagian pesantren disebut dengan istilah nampanan atau tapsinan. Yakni makan bersama-sama dengan satu nampan atau tapsi sebagai piring besarnya.
Pada dasarnya mayoran merupakan ekspresi rasa syukur kepada Allah atas nikmatnya yang tidak pernah putus. Mayoran oleh para santri adalah momen spesial yang sengaja diadakan untuk merayakan sebuah keberhasilan. Seperti ketika khatam dari satu pengajian kitab tertentu, atau hatam Al-Qur'an, atau lulus ujian kitab, atau sekedar bersyukur atas nikmat sehat dan berkumpul bersama sahabat dan teman-teman. Tentang menu masakan sangatlah fariatif, tergantung kesepakatan bersama. Tidak harus mewah, tetapi tidak boleh meninggalkan sambel yang pedas dan harus disajikan dalam keadaan panas.
Konsep makan bersama dalam satu piring besar ini tidak hanya ada di pesantren saja, tetapi juga hidup dilingkungan masyarakat Arab. Bahkan di beberapa restoran Arab menyediakan model hidangan nampanan seperti ini. Tentunya dengan menu yang juga khas arab dengan nasi kebuli kambing atau nasi mandhi, nasi kabsah dan lain sebagainya.
Tradisi makan bersama dengan banyak tangan dalam satu piring besar ini sesungguhnya merupakan ajaran Rasulullah. Dalam sebuah hadits yang datang dari sahabat Wahsyi bin Harb dan diriwayatkan oleh Abu Dawud disebutkan:
ﻋﻦ ﻭﺣﺸﻲ ﺑﻦ ﺣﺮﺏ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺃﻥ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻟﻮﺍ : ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻧﺎ ﻧﺄﻛﻞ ﻭﻻ ﻧﺸﺒﻊ ؟ ﻗﺎﻝ : ﻓﻠﻌﻠﻜﻢ ﺗﻔﺘﺮﻗﻮﻥ ﻗﺎﻟﻮﺍ : ﻧﻌﻢ ﻗﺎﻝ ﻓﺎﺟﺘﻤﻌﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﻃﻌﺎﻣﻜﻢ ﻭﺍﺫﻛﺮﻭﺍ ﺍﺳﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺒﺎﺭﻙ ﻟﻜﻢ ﻓﻴﻪ ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ
Bahwasannya para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "(Mengapa) kita makan tetapi tidak kenyang?" Rasulullah balik bertanya, "Apakah kalian makan sendiri-sendiri?" Mereka menjawab, "Ya (kami makan sendiri-sendiri)". Rasulullah pun menjawab, "Makanlah kalian bersama-sama dan bacalah basmalah, maka Allah akan memberikan berkah kepada kalian semua." (HR. Abu Dawud)
Demikianlah anjuran Rasulullah dipegang teguh oleh para sahabat dan keluarganya. Hingga kini para habaib dan kiai di pesantren yang tidak mau makan sehingga datang satu teman untuk makan bersama. Karena makan sendirian bagi mereka adalah sebuah aib yang harus dihindarkan sebagaimana Rasulullah tidak pernah melakukannya.
ﻭﻗﺎﻝ ﺃﻧﺲ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻻ ﻳﺄﻛﻞ ﻭﺣﺪﻩ ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺧﻴﺮ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻣﺎﻛﺜﺮﺕ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻷﻳﺪﻯ
Sahabat Anas radliyallahu 'anh berkata bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah makan sendirian. Rasulullah juga pernah bersabda bahwa sebaik-baik makanan adalah yang dimakan banyak tangan.
Artinya keberkahan sebuah makanan juga berhubungan dengan seberapa banyak orang yang ikut menikmatinya, semakin banyak tangan semakin berkah. Inilah kemudian yang oleh para santri dijadikan sebagai pedoman selalu makan dengan konsep mayoran.
Satu nampan banyak tangan merupakan pelajaran yang berharga. Pelajaran membangun karakter kebersamaan dan egaliterian dalam pesantren. Satu nasib satu sepenanggungan satu rasa satu masakan. Tidak ada beda pembagian antara mereka yang memberi banyak atau sedikit, antara pemiliki beras atau pemilik nampan, antara yang masak nasi dan yang menunggu tungku. Semua makan bersama-sama dalam waktu dan ruang yang sama. Hal ini juga menjadi latihan praktis untuk menghindarkan para santri dari sifat kikir dan bakhil.
Inilah yang di kemudian hari menjadi salah satu bahan pengawet kerukunan antar mereka. Perbedaan prinsip, pendapat dan pendapatan tidak akan mempu menggoyahkan rasa kekeluargaan antara mereka. Karena makan satu nampan dengan banyak tangan terlalu kokoh untuk sekedar menghadapi perbedaan prinsip dan pilihan.
Untuk mengenang kembali masa-masa di pesantren, dan untuk memperoleh banyak berkah tradisi makan bersama dalam satu nampan masih dipertahankan. Di beberapa daerah mayoran selalu dilaksanakan ketika memperingati hari-hari besar Islam, terutama setelah marhaban, Jum'at an,sholat id.

Pesan Indah Mbah Maimun Zubair

PESAN INDAH MBAH MOEN

K.H Maimun Zubair Dawuh, jika engkau melihat seekor semut terpeleset dan jatuh di air, maka angkat dan tolonglah...barangkali itu menjadi penyebab ampunan bagimu di akherat.
Jika engkau menjumpai batu kecil di jalan yang bisa menggangu jalannya kaum muslimin, maka singkirkanlah, barangkali itu menjadi penyebab dimudahkannya jalanmu menuju syurga.

Jika engkau menjumpai anak ayam terpisah dari induknya, maka ambil dan susulkan ia dengan induknya, semoga itu menjadi penyebab Allah mengumpulkan dirimu dan keluargamu di surga.
Jika engkau melihat orang tua membutuhkan tumpangan, maka antarkanlah ia...barangkali itu mejadi sebab kelapangan rezekimu di dunia.

Jika engkau bukanlah seorang yang mengusai banyak ilmu agama, maka ajarkanlah alif ba' ta' kepada anak2 mu, setidaknya itu menjadi amal jariyah untukmu..yang tak akan terputus pahalanya meski engkau berada di alam kuburmu.

JIKA ENGKAU TIDAK BISA BERBUAT KEBAIKAN SAMA SEKALI, MAKA TAHANLAH TANGAN DAN LISANMU DARI MENYAKITI....SETIDAKNYA ITU MENJADI SEDEKAH UNTUK DIRIMU.
Al-Imam Ibnul Mubarak Rahimahullah berkata:

رُبَّ عَمَلٍ صَغِيرٍ تُعَظِّمُهُ النِّيَّةُ ، وَرُبَّ عَمَلٍ كَبِيرٍ تُصَغِّرُهُ النِّيَّةُ

“Berapa banyak amalan kecil, akan tetapi menjadi besar karena niat pelakunya. Dan berapa banyak amalan besar, menjadi kecil karena niat pelakunya”

Jangan pernah meremehkan kebaikan, bisa jadi seseorang itu masuk surga bukan karena puasa sunnahnya, bukan karena panjang shalat malamnya tapi bisa jadi karena akhlak baiknya dan sabarnya ia ketika musibah datang melanda

Rasulullah bersabda:

« لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ ».

“Jangan sekali-kali kamu meremehkan kebaikan sedikitpun, meskipun (hanya)bertemu dengan saudaramu dalam keadaan tersenyum".(HR. Muslim)

Mari kita selalu berusaha dgn selalu berbaik sangka, semangat meraih hasil terbaik serta saling mendoakan akan keberkahan.. Aamiin ya Mujibb

Susunan Wirid Hari Jum'at Imam Al-Ghazali


Dalam Bidâyatul Hidâyah , Imam Abu Hamid al-Ghazali menyebut hari Jumat sebagai hari raya kaum mukmin ( ‘îdul mu’minîn )—pernyataan ini selaras dengan hadits riwayat Imam Thabrani. Kemuliaan terhampar luas yang memang disediakan khusus oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya. Jumat, lanjutnya, juga merupakan saat-saat tepat dan penting bagi umat untuk memanjatkan doa. Salah satu waktu manjur bagi terkabulnya doa adalah pada hari berjuluk sayyidul ayyâm (rajanya hari) ini.

Amalan Jelang Jumatan
Karena istimewanya hari Jumat, Imam al-Ghazali bahkan menyarankan agar umat Islam mempersiapkan diri menyambut hari Jumat sejak hari Kamis, dimulai dengan mencuci baju, lalu memperbanyak membaca tasbih dan istighfar pada Kamis petang karena saat-saat tersebut sudah memasuki waktu keutamaan hari Jumat. Selanjutnya, kata Imam al-Ghazali, berniatlah puasa hari Jumat sebagai rangkaian dari puasa tiga hari berturut-turut Kamis-Jumat-Sabtu, sebab ada larangan puasa khusus hari Jumat saja.

Tatkala memasuki waktu subuh hari Jumat, seseorang dianjurkan melaksanakan mandi Jumat. Status amalan ini adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), dan wajib bagi seseorang yang malamnya mengalami “mimpi basah” atau bersebadan suami-istri yang membuatnya menanggung hadats besar.
Selepas mandi, hal berikutnya yang perlu diperhatikan adalah soal pilihan pakaian. Menghias diri dengan pakaian serbaputih adalah pilihan terbaik sebab merupakan pakaian yang paling dicintai Allah ( ahabbuts tsiyâb ila-Lâh ). Pastikan pula badan dalam kondisi benar-benar bersih dan harum dengan memotong kuku, sikat gigi, mencukur bulu, atau memakai wewangian. Selanjutnya, bersegeralah berangkat menuju masjid dengan penuh ketenangan. Al-Ghazali pun mengutip sebuah pernyataan, “Kedekatan manusia saat berjumpa Allah tergantung seberapa pagi ia bergegas menuju shalat Jumat.”
Bagaimana ketika kita telah sampai di masjid? Imam al-Ghazali mengatakan, carilah barisan paling awal. Bila masjid sudah tampak ramai, jangan melangkahi bahu-bahu mereka, jangan pula lewat di depan mereka yang sedang shalat. Cari lokasi duduk yang dekat dengan dinding atau tiang sehingga tak ada orang lalu lalang di hadapan kalian.
Sebelum duduk, sebaiknya laksanakanlah shalat Tahiyyatul Masjid, yang utama empat rakaat. Tiap rakaat bakda al-Fatihah, bacalah surat al-Ikhlas sebanyak 50 kali (dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pengamal ini tak akan wafat kecuali ia melihat tempat untuknya di surga atau orang lain yang menyaksikan tempat tersebut. Sunnah juga dalam pelaksanaan shalat sunnah empat rakaat tersebut membaca surat al-An‘âm, al-Kahfi, Thâhâ, dan Yâsîn. Bila tak sanggup, bisa diganti surat Yâsîn, ad-Dukhân, as-Sajdah, dan al-Mulk. Surat-surat ini, kata Imam al-Ghazali, penting pula dibaca pada malam Jumat karena memiliki banyak keutamaan. Bagi mereka yang tak sanggup membaca surat-surat ini, dianjurkan membaca surat al-Ikhlas dan shalawat kepada Rasulullah sebanyak-banyaknya. Shalat Tahiyyatul Masjid tetap dianjurkan meskipun imam sedang berkhutbah—hanya saja saat-saat itu shalat Tahiyyatul Masjid hendaknya diperingkas.
Tatkala imam naik mimbar, seseorang dianjurkan berhenti berbicara, termasuk membaca shalawat dan doa, untuk kemudian sibuk menjawab adzan, serta fokus mendengarkan dan memperhatikan khutbah. Jikapun kita terpaksa menegur orang lain yang berisik, misalnya, maka cukup dengan bahasa isyarat, bukan kata-kata. Berkata-kata saat khutbah berlangsung dapat melenyapkan pahala shalat Jumat.
Baca juga: Hukum Main Hape saat Khutbah Jumat Berlangsung
Dzikir Setelah Shalat Jumat
Selepas mengikuti gerakan imam mulai dari takbiratul ihram hingga salam, jamaah tak dianjurkan langsung pergi begitu saja, kecuali bila ada urusan mendesak. Menurut Imam al-Ghazali dalam Bidâyatul Hidâyah , selepas shalat, sebelum lisannya melontarkan apa pun, seseorang hendaknya merapalkan bacaan-bacaan berikut:
1. Surat al-Fatihah sebanyak tujuh kali
2. Surat al-Ikhlas sebanyak tujuh kali
3. Surat al-Falaq sebanyak tujuh kali
4. Surat an-Nas sebanyak sebanyak tujuh kali
Bacaan-bacaan tersebut, kata Imam al-Ghazali, akan menjadi benteng dan memelihara seseorang dari gangguan syaitan, mulai dari satu Jumat ke Jumat berikutnya. Selanjutnya baca doa berikut:
ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻳَﺎ ﻏَﻨِﻲُّ ﻳَﺎ ﺣَﻤِﻴْﺪُ ﻳَﺎ ﻣُﺒْﺪِﺉُ ﻳَﺎ ﻣُﻌِﻴْﺪُ ﻳَﺎ ﺭَﺣِﻴْﻢُ ﻳَﺎ ﻭَﺩُﻭْﺩُ ﺃَﻏْﻨِﻨِﻲْ ﺑِﺤَﻠَﺎﻟِﻚَ ﻋَﻦْ ﺣَﺮَﺍﻣِﻚَ ﻭَﻃَﺎﻋَﺘِﻚَ ﻋَﻦْ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺘِﻚَ ﻭَﺑِﻔَﻀْﻠِﻚَ ﻋَﻤَّﻦْ ﺳِﻮَﺍﻙَ
Allâhumma yâ ghaniyyu yâ hamîd, yâ mubdi’u wa yu‘îd, yâ rahîmu yâ wadûd. Aghninî bi halâlika ‘an harâmik, wa thâ‘atika ‘an ma‘shiyatik, wa bi fadhlika ‘an man siwâka.
Artinya: “Ya Allah, Yang Maha Kaya, Maha Terpuji, Maha Pencipta, Maha Kuasa Mengembalikan, Maha Penyayang, dan Maha Kasih. Cukupi aku dengan harta halal-Mu, bukan dengan yang haram. Isilah hari-hariku dengan taat kepada-Mu, bukan mendurhakai-Mu. Cukupi diriku dengan karunia-Mu, bukan selain-Mu.
Sesudah itu, sang Hujjatul Islam menyarakan kita untuk melaksanakan shalat dua rakaat atau enam rakaat (tiap dua rakaat salam) sebab Rasulullah pernah meriwayatkan tentang hal itu dalam berbagai kesempatan.
Imam al-Ghazali juga menganjurkan, usai shalat Jumat seseorang agar tetap berada di masjid hingga maghrib, atau setidak-tidaknya waktu ashar. Sebab sepanjang hari Jumat ada saat-saat mustajab yang dirahasiakan. Barangkali dengan tetap berada di masjid kita mendapati momen spesial itu pas ketika kita sedang khusyuk-khusyuknya, merendahkan diri kepada Allah. Tentu saja selama di masjid tak disarankan kita bergabung di forum ngobrol atau majelis yang mubazir, kecuali forum keilmuan yang kian mendekatkan diri kita kepada Allah dan semakin menjauhkan ikatan hati kita kepada dunia.
Kata Imam al-Ghazali:
ﻓﻜﻞ ﻋﻠﻢ ﻻ ﻳﺪﻋﻮﻙ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻵﺧﺮﺓ ﻓﺎﻟﺠﻬﻞ ﺃﻋﻮﺩ ﻋﻠﻴﻚ ﻣﻨﻪ
“Tiap ilmu yang tak mendorongmu menjauh dari (cinta) dunia, mendekatkan kepada (cinta) akhirat, bodoh atas ilmu itu lebih bagus daripada menguasainya.”
Tampak sekali dalam sebagai anjuran Imam al-Ghazali di atas, beliau mengandaikan bahwa seseorang mengkhususkan hari Jumat untuk lebih intensif beribadah. Hal ini dikarenakan sejumlah keistimewaan di dalamnya dibanding hari-hari pada umumnya. Bila dalam satu tahun, kita dianjurkan makin giat taqarrub selama sebulan penuh Ramadhan, maka dalam konteks hitungan minggu momen itu terletak pada selama sehari penuh Jumat. Wallahu a'lam . (Mahbib)
Keterangan ini dinukil dari kitab "Bidâyatul Hidâyah" dalam "Majmû’ Rasâil Imâm al-Ghazâlî "(Kairo: Makabah Taufîqiyyah), tanpa tahun, halaman 410-411.

Lomba Berhadiah Dengan Pungutan Uang Pendaftaran Termasuk Judi ?


Sudah jamak kita jumpai perlombaan kerap menjadi sarana memeriahkan sebuah peringatan atau momen tertentu. Lomba yang biasanya dibuka secara umum itu kadang menyertakan syarat biaya pendaftaran. Uang pendaftaran dihimpun untuk mengongkosi hadiah para pemenang.
Banyak orang yang mengaggap praktik tersebut mirip dengan aktivitas perjudian. Dalam perjudian, sejumlah orang mengumpulkan uang lalu di akhir salah satu (kadang lebih) peserta pengumpul uang akan mendapatkan uang tersebut dalam jumlah yang banyak melalui undian atau permainan tertentu. Artinya, pengumpul uang adalah pihak yang sedang bertaruh. Ketika ia kalah, uang yang ia taruhkan diberikan kepada pemenang.
Permasalahan ini juga pernah disinggung dalam forum Muktamar Ke-30 Nahdlatul Ulama pada tahun 1999 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Muktamirin sepakat bahwa lomba dengan menarik uang saat pendaftaran dari peserta untuk hadiah termasuk judi. Dengan bahasa lain, praktik semacam ini termasuk haram.
Yang perlu menjadi perhatian di sini adalah uang pendaftaran sengaja diperuntukkan sebagai biaya hadiah. Sehingga, apabila uang pendafataran itu bukan untuk hadiah maka hal itu di luar kategori judi.
Dengan demikian, penting bagi penyelenggara lomba berhadiah untuk tidak menggunakan uang pendaftaran peserta sebagai bagian dari biaya hadiah. Ongkos pengeluaran hadiah bisa diambilkan dari sumber lain, seperti sponsor, donatur, atau lainnya.
Selain alokasi dana hadiah, penyelenggara juga perlu memperhatikan jenis perlombaannya pun agar tidak bertentangan dengan syariat. Karena bisa jadi proses penyelenggaraan sudah tepat, tapi karena jenis perlombaan melanggar syariat, praktik tersebut berstatus haram.
Forum Muktamar NU mendasarkan hukum menggunakan uang pendaftaran peserta lomba pada sejumlah rujukan:
1. Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib
ﻭَﺇِﻥْ ﺃَﺧْﺮَﺟَﺎﻩُ ﺃَﻱِ ﺍﻟْﻌِﻮَﺽَ ﺍﻟْﻤُﺘَﺴَﺎﺑِﻘَﺎﻥِ ﻣَﻌًﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺠُﺰْ ... ﻭَﻫُﻮَ ﺃَﻱِ ﺍﻟْﻘِﻤَﺎﺭُ ﺍﻟْﻤُﺤَﺮَّﻡُ ﻛُﻞُّ ﻟَﻌْﺐٍ ﺗَﺮَﺩَّﺩَ ﺑَﻴْﻦَ ﻏَﻨَﻢٍ ﻭَﻏَﺮَﻡٍ
“Dan jika kedua pihak yang berlomba mengeluarkan hadiah secara bersama, maka lomba itu tidak boleh ... dan hal itu, maksudnya judi yang diharamkan adalah semua permainan yang masih simpangsiur antara untung dan ruginya.” (Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib [Singapura: Sulaiman Mar’i, t. th.], Jilid II, h. 310)
2. Is’ad al-Rafiq Syarh Sulam al-Taufiq
( ﻛُﻞُّ ﻣَﺎ ﻓِﻴْﻪِ ﻗِﻤَﺎﺭٌ ‏) ﻭَﺻُﻮْﺭَﺗُﻪُ ﺍﻟْﻤُﺠْﻤَﻊُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺃَﻥْ ﻳَﺨْﺮُﺝَ ﺍﻟْﻌِﻮَﺽُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠَﺎﻧِﺒَﻴْﻦِ ﻣَﻊَ ﺗَﻜَﺎﻓُﺌِﻬِﻤَﺎ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟْﻤُﺮَﺍﺩُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﻴْﺴِﺮِ ﻓِﻲْ ﺍْﻵﻳَﺔِ . ﻭَﻭَﺟْﻪُ ﺣُﺮْﻣَﺘِﻪِ ﺃَﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻭَﺍﺣِﺪٍ ﻣُﺘَﺮَﺩِّﺩٌ ﺑَﻴْﻦَ ﺃَﻥْ ﻳَﻐْﻠِﺐَ ﺻَﺎﺣِﺒَﻪُ ﻓَﻴَﻐْﻨَﻢَ . ﻓَﺈِﻥْ ﻳَﻨْﻔَﺮِﺩْ ﺃَﺣَﺪُ ﺍﻟﻼَّﻋِﺒَﻴْﻦِ ﺑِﺈِﺧْﺮَﺍﺝِ ﺍﻟْﻌِﻮَﺽِ ﻟِﻴَﺄْﺧُﺬَ ﻣِﻨْﻪُ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻣَﻐْﻠُﻮْﺑًﺎ ﻭَﻋَﻜْﺴُﻪُ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻏَﺎﻟِﺒًﺎ ﻓَﺎْﻷَﺻَﺢُّ ﺣُﺮْﻣَﺘُﻪُ ﺃَﻳْﻀًﺎ
“(Setiap kegiatan yang mengandung perjudian) Bentuk judi yang disepakati adalah hadiah berasal dua pihak disertai kesetaraan keduanya. Itulah yang dimaksud al-maisir dalam ayat al-Qur’an. [QS. Al-Maidah: 90]. Alasan keharamannya adalah masing-masing dari kedua pihak masih simpang siur antara mengalahkan lawan dan meraup keuntungan -atau dikalahkan dan mengalami kerugian-. Jika salah satu pemain mengeluarkan haidah sendiri untuk diambil darinya bila kalah, dan sebaliknya -tidak diambil- bila menang, maka pendapat al-Ashah mengharamkannya pula.” (Muhammad Salim Bafadhal, Is’ad al-Rafiq Syarh Sulam al-Taufiq [Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, t. th.], Juz II, h. 102)
3. Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib
ﻭَﻳَﺠُﻮْﺯُ ﺷَﺮْﻁُ ﺍﻟْﻌِﻮَﺽِ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺍﻟْﻤُﺘَﺴَﺎﺑِﻘَﻴْﻦِ ﻣِﻦَ ﺍْﻹِﻣَﺎﻡِ ﺃَﻭِ ﺍْﻷَﺟْﻨَﺒِﻲِّ ﻛَﺄَﻥْ ﻳَﻘُﻮْﻝَ ﺍْﻹِﻣَﺎﻡُ ﻣَﻦْ ﺳَﺒَﻖَ ﻣِﻨْﻜُﻤَﺎ ﻓَﻠَﻪُ ﻋَﻠَﻲَّ ﻛَﺬَﺍ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﻟِﻲْ، ﺃَﻭْ ﻓَﻠَﻪُ ﻓِﻲْ ﺑَﻴْﺖِ ﺍﻟْﻤَﺎﻝِ ﻛَﺬَﺍ، ﻭَﻛَﺄَﻥْ ﻳَﻘُﻮْﻝَ ﺍْﻷَﺟْﻨَﺒِﻲُّ : ﻣَﻦْ ﺳَﺒَﻖَ ﻣِﻨْﻜُﻤَﺎ ﻓَﻠَﻪُ ﻋَﻠَﻲَّ ﻛَﺬَﺍ، ﻷَﻧَّﻪُ ﺑَﺬْﻝُ ﻣَﺎﻝٍ ﻓِﻲْ ﻃَﺎﻋَﺔٍ
“Dan boleh menjanjikan hadiah dari selain kedua peserta lomba balap hewan, seperti penguasa atau pihak lain. Seperti penguasa berkata: “Siapa yang menang dari kalian berdua, maka aku akan memberi sekian dari hartaku, atau ia memperoleh sekian jumlah dari bait al-mal.” Dan seperti pihak lain itu berkata: “Siapa yang menang dari kalian berdua, maka ia berhak mendapat sekian harta dariku.” Karena pernyataan itu merupakan penyerahan harta dalam ketaatan. (Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib [Singapura: Sulaiman Mar’i, t. th.], Jilid II, h. 309)
4. Minhaj al-Thalibin
ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺍﻟْﻤُﺴَﺎﺑَﻘَﺔِ ﻭَﺍﻟْﻤُﻨَﺎﺿَﻠَﺔِ ﻫُﻤَﺎ ﺳُﻨَّﺔٌ ﻭَﻳَﺤِﻞُّ ﺃَﺧْﺬُ ﻋِﻮَﺽٍ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻤَﺎ، ﻭَﺗَﺼِﺢُّ ﺍﻟْﻤُﻨَﺎﺿَﻠَﺔُ ﻋَﻠَﻰ ﺳِﻬَﺎﻡٍ ﻭَﻛَﺬَﺍ ﻣَﺰَﺍﺭِﻳْﻖُ ﻭَﺭِﻣَﺎﺡٌ ﻭَﺭَﻣْﻲٌ ﺑِﺄَﺣْﺠَﺎﺭٍ ﻭَﻣَﻨْﺠَﻨِﻴْﻖٍ ﻭَﻛُﻞُّ ﻧَﺎﻓِﻊٍ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﺤَﺮْﺏِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤَﺬْﻫَﺐِ
“Kitab tentang lomba balap dan lomba membidik. Keduanya sunah dan boleh mengambil hadiah dari keduanya. Lomba membidik itu sah dengan panah. Begitu pula tombak pendek, tombak, melempar dengan batu, manjaniq (alat perang pelempar batu jaman kuno), dan semua yang bermanfaat dalam peperangan menurut madzhab Syafi’iyah.” (Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin pada Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj [Mesir: al-Tujjariyah al-Kubra, t. th.], Jilid IV, h. 311)

Cara Rasulullah Membaca Al-Qur'an


Allah menurunkan kitab suci-Nya yang terakhir, Al-Qur’an, kepada Rasulullah selama 23 tahun. Rasulullah kemudian menyampaikan apa yang diterimanya itu kepada para sahabat. Memang, Rasulullah adalah seorang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun demikian, Rasulullah adalah orang yang paling paham dan paling mengetahui cara ‘membaca’ Al-Qur’an. Termasuk, orang yang paling paham akan isi dan makna yang terkandung dalam setiap ayat Al-Qur’an.
Lantas, bagaimana sebetulnya cara Rasulullah membaca Al-Qur’an? Sebagaimana keterangan dalam beberapa hadits yang terkumpul dalam kitab Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah (Imam At-Tirmidzi, 2016), berikut cara Rasulullah ‘membaca’ Al-Qur’an.
Pertama, membaca Al-Qur’an dengan jelas. Rasulullah membaca Al-Qur’an dengan pengucapan yang sangat jelas dan terang, kata per kata, kalimat per kalimat. Sehingga tidak ada satu kata atau kalimat pun yang terlewat atau terdengar samar-samar ketika Rasulullah membacanya.
Kedua, membaca panjang atau pendek setiap huruf Al-Qur’an sesuai dengan hukum ilmu tajwid. Memang, ilmu tajwid baru ada belakangan. Tapi ilmu tajwid yang diajarkan hingga saat ini merupakan ilmu yang dikembangkan oleh para ulama tentang bagaimana Rasulullah dan generasi awal Islam membaca Al-Qur’an. Dan cara Rasulullah membaca Al-Qur’an adalah sesuai dengan kaidah ilmu tajwid. Atau jika dibalik, kaidah ilmu tajwid yang ada sekarang sesuai dengan cara Rasulullah membaca Al-Qur’an. Yaitu memanjangkan yang harus dibaca dan memendekkan apa-apa yang harus dibaca pendek.
Ketiga, berhenti sejenak pada setiap ayat. Rasulullah tidak berhenti ketika ayat tersebut habis. Tidak memaksa untuk membaca terus atau menerobos bacaan satu ayat dengan yang ayat yang lainnya. Sebagaimana hadits riwayat Ummu Salamah ra., Rasulullah memotong bacaannya ayat per ayat.
“Beliau membaca ayat ‘Alhamdulillah raabil alamin’, lalu berhenti. Kemudian beliau membaca ‘Arrahmanirrahim’, lalu berhenti lagi. Setelah itu, beliau membaca ayat ‘Maliki yaumiddin,” kata kata Ummu Salamah ra.
Keempat, kadang membaca Al-Qur’an dengan suara lantang (jahr), kadang dengan suara lirih. Suatu ketika Abu Qais bertanya kepada Sayyidah Aisyah tentang bagaimana cara Rasulullah membacaAl-Qur’an. Lalu Sayyidah Aisyah menjawab bahwa terkadang Rasulullah membacaAl-Qur’an dengan suara nyaring dan terkadang dengan suara lirih.
Pada saat Fathu Makkah misalnya, sambil menunggangi untanya Rasulullah membaca Surat Al-Fath dengan suara yang lantang dan menggema. Sehingga orang-orang yang ada di sekitarnya mendengar bacaan Rasulullah itu. Hal ini disaksikan oleh Abdullah bin Mughaffal dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Tirmidzi, Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Ahmad.
Terakhir, membaca Al-Qur’an dengan suara indah. Rasulullah membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu. Adalah al-Bara’ bin Azib yang menyaksikan hal itu sebagaimana hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Pada saat itu, al-Bara’ sedang shalat Isya bersama Rasulullah. Al-Bara’ takjub dengan suara merdu Rasulullah ketika membaca Surat At-Tin.
“Aku belum pernah mendengar seorang pun yang suaranya lebih merdu dari suara Baginda,” kata al-Bara’.

Inilah Perbedaan Istilah Jilbab Dan Hijab Menurut Syari'at


Perkembangan fashion pakaian sangat beragam. Berbagai gaya pakaian didesain untuk menambah keelokan paras dan menambah pesona. Pilihan busana juga kian beragam, termasuk model kerudung penutup kepala.
Dewasa ini, khususnya di Indonesia, mulai ada pembedaan istilah tentang penyebutan kerudung penutup kepala. Dua sebutan yang banyak disebut adalah hijab dan jilbab. Hijab biasa disebutkan untuk kerudung yang dihias dan dikenakan dengan variasi sedemikian rupa, sesuai selera dan kepantasan. Sedangkan jilbab, adalah kerudung pada umumnya, baik model praktis yang langsung dikenakan, kerudung paris yang jamak di kalangan ibu-ibu, sampai model terbaru yang disebut sebagai jilbab syar’i, yang panjang menjulur menutupi bagian dada, sampai menutupi bagian perut bahkan hingga lutut.
Preferensi dan kepantasan berkerudung, tentu adalah pilihan. Namun patut diketahui, bagaimana kita mendudukkan istilah penutup kepala yang ada dalam Islam?
Setidaknya masalah ini berkaitan erat dengan ayat-ayat Al Quran yang memuat dua istilah hijab dan jilbab. Utamanya terkait dengan perintah Allah kepada para istri-istri Nabi untuk tidak berinteraksi secara terbuka kepada lawan jenisnya. Hendaknya hal tersebut dilakukan di balik hijab.
Seorang sastrawan Arab bernama Ibnul Manzhur menyebutkan dalam kitabnya Lisanul Arab tentang makna hijab. Hijab bermakna As-Sitr , yang bermakna tutup. Ia bisa diartikan tirai, penghalang, dan sebagainya.
Bagaimana dengan masalah penghalang untuk lawan jenis? Hal ini terjadi pada pemaknaan surat Al-Ahzab ayat 53 yang memerintahkan istri Rasulullah untuk tidak berbicara kepada selain mahram kecuali dengan menggunakan tirai penghalang terhadap kontak langsung, atau dengan menutup wajah mereka.
... ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺳَﺄَﻟۡﺘُﻤُﻮﻫُﻦَّ ﻣَﺘَٰﻌٗﺎ ﻓَﺴَۡٔﻠُﻮﻫُﻦَّ ﻣِﻦ ﻭَﺭَﺍٓﺀِ ﺣِﺠَﺎﺏٖۚ ﺫَٰﻟِﻜُﻢۡ ﺃَﻃۡﻬَﺮُ ﻟِﻘُﻠُﻮﺑِﻜُﻢۡ ﻭَﻗُﻠُﻮﺑِﻬِﻦَّۚ ...
Artinya: “...Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka...”
Ayat ini disebutkan terkait dengan masalah terkait etika ketika bersama istri-istri Nabi. Karena itu, hijab di atas ini bermakna penutup kontak langsung, bukan terkait pakaian. Sedangkan bagaimana dengan jilbab? Jilbab disebutkan sekali dalam Al-Qur’an, dalam surat Al-Ahzab ayat 59. Penyebutannya dalam bentuk plural, yaitu jalabîb .
ﻳَٰٓﺄَﻳُّﻬَﺎ ﭐﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﻗُﻞ ﻟِّﺄَﺯۡﻭَٰﺟِﻚَ ﻭَﺑَﻨَﺎﺗِﻚَ ﻭَﻧِﺴَﺎٓﺀِ ﭐﻟۡﻤُﺆۡﻣِﻨِﻴﻦَ ﻳُﺪۡﻧِﻴﻦَ ﻋَﻠَﻴۡﻬِﻦَّ ﻣِﻦ ﺟَﻠَٰﺒِﻴﺒِﻬِﻦَّۚ ﺫَٰﻟِﻚَ ﺃَﺩۡﻧَﻰٰٓ ﺃَﻥ ﻳُﻌۡﺮَﻓۡﻦَ ﻓَﻠَﺎ ﻳُﺆۡﺫَﻳۡﻦَۗ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﭐﻟﻠَّﻪُ ﻏَﻔُﻮﺭٗﺍ ﺭَّﺣِﻴﻤٗﺎ
Artinya, “Wahai Nabi, katakanlah terhadap istri-istrimu, anak-anakmu, dan istri-istri orang-orang yang beriman (agar) mereka mengulurkan jalaabib mereka. Demikian itu, supaya mereka lebih mudah dikenal dan tidak disakiti. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul menyebutkan bahwa penyebab turunnya ayat di atas adalah suatu ketika, istri Nabi keluar karena suatu keperluan. Dahulu menggunakan kain penutup kepala belum begitu populer. Kemudian ternyata ada sekelompok orang nakal yang mengganggu mereka.
Mereka yang digoda itu mengadu ke Rasulullah. Melalui turunnya ayat ini, maka mereka diperintahkan untuk menutupi kepala hingga dada agar mudah dikenal, serta terhindar dari gangguan laki-laki yang nakal. Selain itu, perempuan yang merdeka ditandai dengan jilbab, sedangkan budak perempuan dengan kepala terbuka. Demikianlah asbabun nuzul dan konteks turunnya ayat tentang jilbab.
Maka dari paparan di atas, setidaknya dalam Islam istilah yang muncul untuk busana penutup kepala perempuan adalah jilbab dibanding hijab, meskipun dalam perkembangannya dua kata tersebut sama-sama digunakan. Jilbab digunakan dalam masalah ajaran Islam, sedangkan istilah hijab bisa digunakan dalam percakapan sehari-hari. Perbedaan tersebut, asalnya bukan dibedakan berdasarkan model pakaiannya. Yang terpenting dari cara berpakaian, busana yang sopan tentu akan tampak menawan.
Wallahu a’lam

Susunan Bacaan Tahlil


Tahlil atau tahlilan sudah menjadi tradisi kaum muslimin di Indonesia, utamanya warga Nahdlatul Ulama (NU) sebagai penganut paham Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) sebagai upaya bertawashul kepada Allah SWT untuk mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia atau ahli kubur pada umumnya,
Tahlil secara lughat berarti bacaan ﻻﺇﻟﻪ ﺇﻻﺍﻟﻠﻪ ( Lailaha illallah) seperti halnya Tasbih berarti bacaan ﺳﺒﺤﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ ( Subhanallah ), Tahmid bacaan ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ( Alhamdulillah ) dan lain sebagainya.
Bahasa Arab kebanyakan selain mempunyai arti secara lughowi (bahasa) juga mempunyai arti secara istilahi atau urfi. Tasbih misalnya pengertian secara urfi ialah mengagumi dan mensucikan Allah sang Maha pencipta dari segala kekurangan dan kelemahan, yang direfleksikan dengan bersyukur, rasa takjub dan lain sebagainya yang diiringi dengan mengucapkan
Subhanallah .
Demikian pula Tahlil dalam pengertiannya secara urfi atau islitahi ialah mengesakan Allah dan tidak ada pengabdian yang tulus kecuali hanya kepada Allah, tidak hanya mengkui Allah sebagai Tuhan tetapi juga untuk mengabdi, sebagimana dalam pentafsiran kalimah thayyibah
ﻻﺇﻟﻪ ﺇﻻﺍﻟﻠﻪ ﺃﻱ ﻻﻣﻌﺒﻮﺩ ﺑﺤﻖ ﺇﻻﺍﻟﻠﻪ
Artinya: Tiada Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah, atau tidak ada pengabdian yang tulus kecuali kepada Allah
Kemudian di dalam melaksanakan bentuk pengabdian manusia sebagai hamba kepada Allah SWT, sudah barang tentu tidak cukup hanya dengan menyebut-nyebut asma Allah akan tetapi harus disertai prilaku-prilaku seorang hamba yang mentaati perintah perintah Allah serta menjauhi larangan larangan-Nya, dan perilaku tersebut digambarkan dalam rangkaian bacaan-bacaan pada tahlilan.
Jadi Tahlil dengan serangkaian bacaannya yang lebih akrab disebut dengan tahlilan tidak hanya berfungsi hanya untuk mendoakan sanak kerabat yang telah meninggal, akan tetapi lebih dari pada itu Tahlil dengan serentetan bacaannya mulai dari surat Al-ikhlas, Shalawat, Istighfar, kalimat thayyibah dan seterusnya memiliki makna dan filosofi kehidupan manusia baik yang bertalian dengan i’tiqad Ahlus Sunnah wal jamaah, maupun gambaran prilaku manusia jika ingin memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di Dunia dan di akhirat kelak.
Tahlilan dari susunan bacaannya terdiri dari dua unsur yang disebut dengan syarat dan rukun, yang dimaksud dengan syarat ialah bacaan :
1. Surat al-Ikhlas
2. Surat al-Falaq
3. Surat an-Nas
4. Surat al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 5 ﺍﻟﻢ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ .......
5. Surat al-Baqarah ayat 163 ﻭﺍﻟﻬﻜﻢ ﺇﻟﻪ ﻭﺍﺣﺪ ........
6. Surat al-Baqarah ayat 255 ﺍﻟﻠﻪ ﻻﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﻫﻮ ﺍﻟﺤﻲ ﺍﻟﻘﻴﻮﻡ ........
7. Surat al-Baqarah ayat dari ayat 284 samai ayat 286 ﻟﻠﻪ ﻣﺎﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕ ......
8. Surat al-Ahzab ayat 33 ﺇﻧﻤﺎ ﻳﺮﻳﺪ ﺍﻟﻠﻪ ........
9. Surat al-Ahzab ayat 56 ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻣﻼﺋﻜﺘﻪ ﻳﺼﻠﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ........
10. Dan sela-sela bacaan antara Shalawat, Istighfar, Tahlil da Tasbih
Adapun bacaan yang dimaksud dengan rukun tahlil ialah bacaan :
1. Surat al-Baqarah ayat 286 pada bacaan : ﻭﺍﻋﻒ ﻋﻨﺎ ﻭﺍﻏﻔﺮ ﻟﻨﺎ ﻭﺍﺭﺣﻤﻨﺎ
2. Surat al-Hud ayat 73: ﺍﺭﺣﻤﻨﺎ ﻳﺎﺃﺭﺣﻢ ﺍﻟﺮﺍﺣﻤﻴﻦ
3. Shalawat Nabi
4. Istighfar
5. Kalimat Thayyibah ﻻﺇﻟﻪ ﺇﻻﺍﻟﻠﻪ
6. Tasbih

Kenapa Pada surat At taubah Tidak Diawali Basmalah


Setiap surat dalam Al-Quran diawali oleh basmalah kecuali dalam surat at-Taubah atau al-Bara'ah. Dalam surat at-Taubah tidak dicantumkan basmalah sebagaimana surat-surat yang lain. Hal demikian menimbulkan pertanyaan banyak kalangan: kenapa hanya surat at-Taubah yang tidak dicantumkan basmalah?
Sejarah penulisan Al-Quran berawal sejak turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad. Namun penulisan Al-Quran pada saat itu dalam kondisi yang sangat terbatas. Nabi setiap kali menerima wahyu, beliau memanggil sekretaris (katib resmi) untuk mendokumentasi wahyu tersebut ke dalam bentuk tulisan. Dukomentasi wahyu ini kemudian dikenal dengan nama mushaf (penulis akan menggunakan kata mushaf).
Pada masa Utsman bin Affan, mushaf ini kemudian ditulis kembali dalam rangka menjaga dari kesalahan sekaligus menjaga otentesitas variasi bacaan Al-Quran (qira'at Al-Quran). Penulisan masa ini, dilaksanakan oleh tim yang telah mendapatkan rekomendasi dari khalifah Utsman dan persetujuan para pembesar sahabat. Direktur utama dalam penulisan mushaf ini adalah Zaid bin Tsabit. Secara teknis pelaksanaan penulisan inidilakukan secara selektif dan ketat. Setiap ayat yang hendak ditulis harus melalui persaksian dua orang yang mendengar langsung dari Nabi.
Tidak hanya itu saja, Sayyidina Utsman mengeluarkan kebijakan yang luar biasa, yaitu memerintahkan untuk membakar semua mushaf selain mushaf yang ditulis oleh tim. Hal ini dilakukan dalam rangka menyatukan persepsi tentang bacaan Al-Quran yang sesuai bacaan Nabi ﷺ . Dengan demikian dapat dipastikan bahwa penulisan Al-Quran ini telah tuntas tanpa problem yang berarti. Kembali pada pertanyaan di atas: kenapa dalam surat at-Taubah tidak dicantumkan basmalah, apakah hal ini sesuai petunjuk Nabi, sahabat atau tim penulis mushaf lupa mencantumkannya?.
Dalam banyak kesempatan, penulis sering mendapat pertanyaan, baik dari kalangan mahasiswa/mahasiswi maupun dari kalangan masyarakat biasa, yang kira-kira hampir sama dengan di atas, yaitu kenapa dalam surat at-Taubah tidak dicantumkan basmalah bahkan tidak diperkenankan membacanya, baik di awal surat maupun di tengah-tengah surat?
Dalam rangka menjawab pertanyaan di atas, penulis perlu menjelaskan terlebih dahulu kronologi tidak dicantumkannya basmalah dalam surat at-Taubah.
Ada beberapa sebab yang melatarbelakangi tidak dicantumkannya basmalah dalam surat di atas.
Pertama , dalam tradisi Arab jahiliyah dahulu, jika mereka melakukan perjanjian dengan sebuah kaum atau kabilah yang lain dan hendak memutuskan perjanjian tersebut, maka mereka mengirimkan sepucuk surat pemutusan tanpa mencantumkan kalimat basmalah. Pun demikian, ketika umat Islam memutuskan perjanjian dengan orang-orang musyrik, Nabi mengutus Sayyidina Ali untuk membacakan surat di atas (at-Taubah) di hadapan mereka tanpa diawali dengan bacaan basmalah, sesuai adat mereka.
Kedua, Ibnu Abbas bertanya kepada Utsman tentang tidak dicantumkannya basmalah dalam surat at-Taubah. Utsman menceritakan kronologinya, bahwa pada masa Nabi, ketika wahyu diturunkan kepadanya, Nabi memanggil salah satu sekretaris beliau untuk mendokumentasinya, dan beliau mendekte penempatan dan tata letaknya. Perlu diketahui bahwa surat al-Anfal termasuk surat yang turunnya awal, sedangkan surat at-Taubah termasuk surat yang turunnya Terakhir, kedua kisah dan penyajiannya kedua surat di atas mirip dan hampir sama. Dalam hal tersebut, Nabi tidak menjelaskan bahwa surat al-Anfal bagian dari surat at-Taubah. Saya pun (Utsman bin Affan) berkesimpulan bahwa surat al-Anfal bagian dari surat at-Taubah. Oleh karena itu, saya urutkan kedua surat tersebut tanpa mencantumkan basmalah.
Ketiga , pada kekhalifahan Utsman, para sahabat berselisih pendapat tentang surat at-Taubah. Sebagian sahabat menganggap bahwa antara surat at-Taubah dan al-Anfal adalah satu surat yang tidak terpisahkan. Sebagian sahabat yang lain menganggap bahwa keduanya adalah dua surat yang mandiri. Untuk mendamaikan kedua perselisihan tersebut, Utsman mengambil sikap tengah, yaitu tidak mencantumkan basmalah. Tujuannya adalah agar kedua belah pihak yang berselisih dapat saling menerima. Dari pihak yang menganggap keduanya (al-Anfal dan at-Taubah) satu surat tidak keberatan, karena tidak dicantumkan basmalah. Sedangkan dari pihak yang menganggap keduanya adalah dua surat yang mandiri juga dapat menerima karena beda nama suratnya, meskipun tidak diawali dengan basmalah.
Keempat, diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa beliau bertanya kepada Sayyidina Ali tentang tidak dicantumkannya basmalah dalam surat at-Taubah. Sayyidina Ali menjelaskan bahwa basmalah adalah kalimat aman sementara surat at-Taubah turun sebab perang, tidak aman. Oleh karena demikian, antara aman dan perang tidak dapat disatukan. Demikian pula, dalam basmalah itu terdapat kandungan rahmat, kasih sayang, sedangkan dalam surat at-Taubah terdapat kemarahan. Oleh karena itu, antara rahmat dan kemarahan tidak bisa disatukan. Senada dengan pendapat di atas, Imam al-Sufyan mengatakan bahwa basmalah adalah ayat rahmah, rahmah memiliki arti aman. Sedangkan surat at-Taubah turun kepada orang-orang munafik dan mengandung perang, sebab itu tidak aman bagi orang-orang munafik.
Dari kronologis di atas dapat disimpulkan bahwa para sahabat sepakat tidak mencantumkan basmalah dalam surat at-Taubah berdasarkan pada periwayatan yang diterima oleh mereka dari Nabi. Pun demikian, Nabi ketika menerima ayat tersebut dari Jibril tidak disertai basmalah. Hal ini juga dibuktikan bahwa tidak ada satu pun ahli qurra’ sab'ah (qira'at tujuh) maupun qurra' asyrah (qira’at sepuluh) yang meriwayatkan membaca basmalah di awal surat at-Taubah. Artinya, mereka sepakat meninggalkan membaca basmalah di awal surat at-Taubah.
Dalam ilmu qiraat, dasar utama dalam membaca Al-Quran adalah bersumber dari Nabi dan transmisi yang berkesinambungan. Sebab dalam membaca Al-Quran tidak ada istilah qiyas.
ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﺳﻨﺔ ﻣﺘﺒﻌﺔ ﻳﺄﺧﺬﻫﺎ ﺍﻷﺧﺮ ﻋﻦ ﺍﻷﻭﻝ، ﻭﻻ ﻗﻴﺎﺱ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ
Imam al-Jazariy berkata dalam bentuk gubahan syair:
ﻷﻧﻪ ﺑﻪ ﺍﻹﻟﻪ ﺃﻧﺰﻻ *** ﻭﻫﻜﺬﺍ ﻣﻨﻪ ﺍﻟﻴﻨﺎ ﻭﺻﻼ
Wallahu A'lam.

Tentang Keluhan Yang Di-share Medsos


══════◎•❀•◎﷽◎•❀•◎══════

*ADUKAN SAJA KESEDIHAN KITA PADA ALLAH, TIDAK PERLU UPDATE STATUS*

📱Jujur saja, banyak di antara kita pada hari ini adalah pribadi yang layu. Sedikit saja tertimpa masalah kita segera mengadu, bukan kepada Allah tetapi kepada dunia, kita ingin semua orang tahu bahwa kita tengah tertimpa kusulitan agar mereka menaruh kasihan. Sakit update status, ada masalah update status, sedih update status, dst. Kita ingin dunia tahu bahwa kita tengah sedih dan berduka.

🏷Padahal, generasi salaf terdahulu bahkan ada yang menderita sakit pada matanya hingga buta sejak lima belas tahun lamanya tapi tidak ada seorang pun yang tahu. Syuraih al-Qadhi rahimahullah, seorang tabi’in mulia, itulah sosok yang kita maksud. Salah seorang dari mereka yang pernah mencicipi nasehat berharga ini bercerita:

🗣Syuraih berkata kepadaku pada saat aku mengadukan sebagian sesuatu yang membuatku resah karena ulah kawanku. Maka Syuraih memegang tanganku dan menarikku ke pinggir lalu ia berkata:

يَا ابْنَ أَخِيْ، إِيَّاكَ وَالشَّكْوَى لِغَيْرِ اللَّهِ ، فَإِنَّ مَنْ تَشْكُوْ إِلَيْهِ لَا يَخْلُوْ أَنْ يَكُوْنَ صَدِيْقًا أَوْ عَدُوًّا، فَأَمَّا الصَّدِيْقُ فَتُحْزِنُهُ، وَأَمَّا العَدُوُّ فَيَشْمَتُ بِكَ

_“Wahai anak saudaraku, janganlah kamu mengadu kepada selain Allah. Karena sesungguhnya orang yang kamu mengadu kepadanya bisa jadi dia adalah kawanmu atau musuhmu. Kalau kawan, berarti kamu membuatnya sedih dan kalau musuh maka kamu akan ditertawakannya.”_

⏳Kemudian dia berkata lagi, _“Lihatlah mataku ini – sambil menunjuk ke salah satu matanya -, demi Allah aku tidak bisa melihat seseorang pun dan tidak bisa berjalan dengannya sejak lima belas tahun lalu, akan tetapi aku tidak beritakan kepada siapapun kecuali kamu pada saat ini. Apakah kamu tidak mendengar ucapan seorang hamba shalih:_

قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ

_Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku._ (QS. Yusuf: 86)

_🍁maka jadikanlah Allah sebagai tempat pengaduanmu dan tempat kesedihanmu setiap kali musibah menimpamu. Karena Dia adalah Dzat Yang Maha Dermawan dan Yang paling dekat untuk diseru.”_ (Suwar min Hayatit Tabi’in: 119-120)

🌏Itulah pelajaran berharga dari generasi mulia. Oleh sebab itu, setiap musibah dan permasalahan hidup kita, tidak perlu kita beritakan pada manusia, tidak orang dekat apalagi orang sedunia. Berhentilah menuliskan pengaduan kita di status media sosial yang kita punya, dan kemudian cukupkan diri dengan Allah saja.

*🔰Semoga bermanfaat.*

Kebebasan Berpendapat Dimedia Sosial

🌷Kebangkrutan Besar Akibat Buruknya Lisan di Sosial Media🌷


Realita Kebebasan Berpendapat di Sosial Media

Di zaman modern saat ini, dengan adanya sosial media dan internet, seseorang dengan mudah berbicara dan menyampaikan pendapatnya. Di sosial media lebih mudah menyampaikan aspirasi dan pendapat. Akan tetapi sosial media ada juga sisi negatifnya, yaitu setiap orang bebas berbicara negatif, mencaci dan mencela. Lebih bebas daripada di dunia nyata karena ia bisa sembunyi di balik akun sosial media yang ia punya, bisa lebih berani karena tersembunyi dan bisa lebih lari dari tanggung jawab.

Sebagai seorang mukmin, tentu sangat tidak layak berbicara kasar, mencela dan melaknat kapanpun dam di mana pun, baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻦَ ﻟَﻴْﺲَ ﺑِﺎﻟﻠَّﻌَّﺎﻥِ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟﻄَّﻌَّﺎﻥِ، ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟْﻔَﺎﺣِﺶِ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟْﺒَﺬِﻱﺀِ

“Sesungguhnya orang mukmin itu orang yang tidak suka melaknat, mencela, berkata keji/jorok, dan kotor” (HR. Ahmad 1/416; shahih).

Bangkrut Akibat Lisan yang Buruk di Sosial Media

Hendaknya kita berhati-hati menjaga lisan kita di dunia nyata dan menjaga tulisan serta komentar kita di dunia maya. Karena tulisan ini kedudukannya sama dengan ucapan lisan. Sebagaimana kaidah:

الكتابة تنزل  منزلة القول

“Tulisan (hukumnya) sebagaimana lisan”

Ketika lisan suka mencaci, mencela, melaknat, ghibah dan berkata-kata kotor kepada orang lain, ini sama saja kita akan “bagi-bagi pahala gratis” kepada mereka kemudian kita akan bangkrut. Mengapa demikian? Karena dengan lisan dan tulisan kita, mereka yang kita cela dan caci-maki adalah pihak yang kita dzalimi. Jika kita tidak meminta maaf di dunia, maka urusan akan berlanjut di akhirat.

Di akhirat kita tidak bisa meminta maaf begitu saja, akan tetapi ada kompensasinya. Kompenasi tersebur bukan uang ataupun harta. Karena ini sudah tidak bermanfaat di hari kiamat.

Allah berfirman,

ﻳَﻮْﻡَ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻔَﻊُ ﻣَﺎﻝٌ ﻭَﻟَﺎ ﺑَﻨُﻮﻥَ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﻦْ ﺃَﺗَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺑِﻘَﻠْﺐٍ ﺳَﻠِﻴﻢٍ

“Pada hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat” (Asy-Syu’araa`: 88-89).

Kompensasi Berat Atas Buruknya Lisan di Sosial Media

Kompensasinya adalah sebagai berikut:

Jika punya pahala kebaikan seperti pahala shalat dan puasa, maka akan dibagi-bagikan kepada mereka yang didzalimi di dunia dan belum selesai perkaranya artinya belum ada maaf dan memaafkanJika yang mendzalimi (mencela dan memaki) sudah habis pahalanya, maka dosa orang yang didzalimi akan ditimpakan dam diberikan kepada orang yang mendzalimi

Inilah yang disebut dengan orang yang bangkrut atau “muflis” di hari kiamat berdasarkan hadits berikut,

أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

“Apakah kalian tahu siapa muflis (orang yang pailit) itu?”

Para sahabat menjawab, ”Muflis (orang yang pailit) itu adalah yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.”

Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Muflis (orang yang pailit) dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Muslim).

Jaga Lisan Sebelum Anda Diadili di Akhirat

Tahukah anda bahwa di dunia ini cukup sulit mencari keadilan yang seadil-adilnya. Ini adalah bukti adanya kehidupan setelah kematian di mana pada hari tersebut akan ada keadilan yang seadil-adilnya. Hendaknya kita sebagai seorang muslim menjaga lisan kita, karena memang lidah itu tidak bertulang, sangat mudah kita dengan lisan dan tulisan kita menyakiti orang lain. Terlebih yang disakiti adalah sesama muslim yang sejatinya bersaudara

Allah berfirman,

ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺆْﺫُﻭﻥَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻣَﺎ ﺍﻛْﺘَﺴَﺒُﻮﺍ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﺣْﺘَﻤَﻠُﻮﺍ ﺑُﻬْﺘَﺎﻧًﺎ ﻭَﺇِﺛْﻤًﺎ ﻣُّﺒِﻴﻨًﺎ

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (Al-Ahzab: 58).

Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamin surga mereka yang bisa menjaga lisannya. Beliau bersabda,

ﻣَﻦْ ﻳَﻀْﻤَﻦَّ ﻟِﻲ ﻣَﺎﺑَﻴْﻦَ ﻟِﺤْﻴَﻴْﻪِ ﻭَﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺭِﺟْﻠَﻴْﻪِ ﺃَﺿْﻤَﻦْ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ

“Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga” (HR. Bukhari).

Demikian semoga bermanfaat

🌸🍀

Sedekah Yang Minta diDo'akan

🌷Lebih Baik Tidak Minta Didoakan ketika Memberi Sedekah🌷


Terkadang ada sebagian kaum muslimin yang ketika memberikan sedekah kepada orang miskin, ia meminta agar didoakan. Bagaimana hukum hal ini?

Secara umum, boleh bagi seorang meminta doa kepada saudara muslim lainnya. Sebagaimana dalam hadits,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ ع ِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ. كُلَّمَا دَعَا ِلأَخِيْهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِيْنَ. وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan mustajab. Pada kepalanya ada malaikat yang menjadi wakil baginya. Setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka Malaikat tersebut berkata: ‘Aamiin dan engkau pun mendapatkan apa yang ia dapatkan.” (HR. Muslim)

An-Nawawi menjelaskan dianjurkan meminta didoakan oleh orang yang shalih, beliau berkata,

باب استحباب طلب الدعاء من أهل الفضل وإن كان الطالب أفضل من المطلوب منه

“Bab dianjurkannya meminta didoakan oleh orang yang memiliki keutamaan (shalih) walaupun yang meminta doa lebih memiliki keutamaan (lebih shalih) daripada yang orang yang diminta.” (Al-Azkar hal. 40)


Adapun meminta didoakan kepada orang yang kita beri sedekah, maka nasehat para ulama adalah lebih baik tidak dilakukan. Dalam ayat Al-Quran dijelaskan bahwa orang yang ikhlas adalah yang memberi makan hanya berharap wajah Allah tanpa meminta balasan apapun.

Allah berfirman,

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”. (Al-Insan:9)

Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa apabila meminta didoakan, maka keluar dari ayat ini. Beliau berkata,

ومن طلب من الفقراء الدعاء أو الثناء خرج من هذه الآية

“Barangsiapa yang meminta didoakan oleh orang miskin atau meminta dipuji, maka keluar dari maksud ayat ini.” (Majmu’ Fatawa 11/111)

Ulama menganjurkan kita untuk tidak meminta doa setelah memberikan sedekah, akan tetapi syariat menganjurkan orang yang menerima sedekah untuk mendoakan orang yang memberikan sedekah.

Allah berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (At-Taubah:103)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mendoakan kepada mereka yang memberikan sedekah. dari Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu anhuma:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أُتِيَ بِصَدَقَةٍ قَالَ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ. وَإِنَّ أَبِي أَتَاهُ بِصَدَقَتِهِ فَقَالَ: اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى

“Jika sedekah (zakat) dibawa ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun berdoa (yang artinya), ‘Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada mereka.’ Ayahku pernah membawa sedekah (zakat)nya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, ‘Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada keluarga Abu Aufa.’”(HR. Bukhari)

Demikian semoga bermanfaat



Maaf saya dari ,👇 coz dikitab belum saya temui

Artikel www.muslim.or.id

Waktu Dan Besaran Nafkah Anak Kepada Orangtua


Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online , saya ingin bertanya. Ayah saya berusia 65 tahun dan memiliki beberapa anak. Sebagian anaknya sudah menikah. Selama ini ayah dan ibu saya hidup cukup dari usaha pensiunan. Tetapi ayah saya kadang masih mengharapkan bantuan finansial dari anak-anaknya sebagai bentuk balas budi kepada orang tua. Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Aisyah/Bogor).
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Allah memerintahkan manusia untuk berbakti kepada kedua orang tua. Perintah ini disebutkan langsung antara lain di dalam Surat Luqman ayat 14-15.
Dalam Surat Luqman ayat 14-15, Allah meminta manusia untuk berbakti kepada orang tua dalam segala hal. Manusia diperintahkan untuk membantu kedua orang tua baik selagi hidup maupun ketika keduanya sudah wafat.
Adapun kebaktian anak terhadap orang tua dalam bentuk nafkah berupa makanan pokok adalah wajib selagi anak itu mampu membantu orang tuanya.
ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺗﺠﺐ ﻧﻔﻘﺔ ﺍﻟﻮﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﺸﺮﻭﻁ ﻣﻨﻬﺎ ﻳﺴﺎﺭ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﻭﺍﻟﻤﻮﺳﺮ ﻣﻦ ﻓﻀﻞ ﻋﻦ ﻗﻮﺗﻪ ﻭﻗﻮﺕ ﻋﻴﺎﻟﻪ ﻓﻲ ﻳﻮﻣﻪ ﻭﻟﻴﻠﺘﻪ ﻣﺎ ﻳﺼﺮﻓﻪ ﺇﻟﻴﻬﻤﺎ ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﻳﻔﻀﻞ ﻓﻼ ﺷﻲﺀ ﻋﻠﻴﻪ ﻹﻋﺴﺎﺭﻩ
Artinya, “Kedua orang tua wajib dinafkahi oleh anaknya dengan syarat antara lain kelapangan rezeki anak yang bersangkutan. Batasan kelapangan rezeki adalah mereka yang memiliki kelebihan harta setelah menutupi kebutuhan makanan pokok dirinya dan anak-istrinya sehari-semalam itu di mana kelebihan itu dapat diberikan kepada kedua orang tuanya. Jika anak itu tidak memiliki kelebihan harta, maka ia tidak berkewajiban apapun atas nafkah kedua orang tuanya lantaran kesempitan rezeki yang bersangkutan,” (Lihat Taqiyudin Abu Bakar Al-Hushni,
Kifayatul Akhyar , Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2001 M/1422 H, halaman 577).
Meski demikian, tidak setiap orang tua memerlukan bantuan nafkah dari anaknya. Orang tua yang berhak menerima bantuan nafkah dari anak adalah mereka yang memenuhi dua syarat mustahik nafkah.
ﻓَﺄَﻣَّﺎ ﺍﻟْﻮَﺍﻟِﺪُﻭﻥَ ﻓَﺘَﺠِﺐُ ﻧَﻔَﻘَﺘُﻬُﻢْ ‏) ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻔُﺮُﻭﻉِ ‏( ﺑِﺸَﺮْﻃَﻴْﻦِ ‏) ﺃَﻱْ ﺑِﺄَﺣَﺪِ ﺷَﺮْﻃَﻴْﻦِ ‏( ﺍﻟْﻔَﻘْﺮُ ﻭَﺍﻟﺰَّﻣَﺎﻧَﺔُ ‏) ﻭَﻫِﻲَ ﺑِﻔَﺘْﺢِ ﺍﻟﺰَّﺍﻱِ ﺍﻟِﺎﺑْﺘِﻠَﺎﺀُ ﻭَﺍﻟْﻌَﺎﻫَﺔُ ‏( ﺃَﻭْ ﺍﻟْﻔَﻘْﺮُ ﻭَﺍﻟْﺠُﻨُﻮﻥُ ‏) ﻟِﺘَﺤَﻘُّﻖِ ﺍﻟِﺎﺣْﺘِﻴَﺎﺝِ ﺣِﻴﻨَﺌِﺬٍ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﺠِﺐُ ﻟِﻠْﻔُﻘَﺮَﺍﺀِ ﺍﻟْﺄَﺻِﺤَّﺎﺀِ، ﻭَﻟَﺎ ﻟِﻠْﻔُﻘَﺮَﺍﺀِ ﺍﻟْﻌُﻘَﻠَﺎﺀِ، ﺇﻥْ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﺫَﻭِﻱ ﻛَﺴْﺐٍ ﻟِﺄَﻥَّ ﺍﻟْﻘُﺪْﺭَﺓَ ﺑِﺎﻟْﻜَﺴْﺐِ ﻛَﺎﻟْﻘُﺪْﺭَﺓِ ﺑِﺎﻟْﻤَﺎﻝِ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻮﻧُﻮﺍ ﺫَﻭِﻱ ﻛَﺴْﺐٍ ﻭَﺟَﺒَﺖْ ﻧَﻔَﻘَﺘُﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻔُﺮُﻭﻉِ . ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﻇْﻬَﺮِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺮَّﻭْﺿَﺔِ . ﻭَﺯَﻭَﺍﺋِﺪِ ﺍﻟْﻤِﻨْﻬَﺎﺝِ . ﻟِﺄَﻥَّ ﺍﻟْﻔَﺮْﻉَ ﻣَﺄْﻣُﻮﺭٌ ﺑِﻤُﻌَﺎﺷَﺮَﺓِ ﺃَﻫْﻠِﻪِ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺗَﻜْﻠِﻴﻔُﻪُ ﺍﻟْﻜَﺴْﺐَ ﻣَﻊَ ﻛِﺒَﺮِ ﺍﻟﺴِّﻦِّ
Artinya, “(Adapun orang tua wajib dinafkahi) oleh keturunannya (dengan dua syarat) atau salah satunya, yaitu ([pertama] kefakiran dan penyakit kronis) tertimpa musibah atau bencana [yang mencegahnya berusaha-pen], ([kedua] kefakiran dan kegilaan) karena riil hajat mereka ketika itu. Dari sini anak-keturunannya tidak wajib menafkahi orang tua yang fakir dan sehat; atau fakir dan waras meskipun mereka memiliki usaha/pekerjaan karena kemampuan berusaha/bekerja setara dengan potensi memiliki harta. Jika mereka tidak memiliki usaha, anak-keturunan mereka wajib menafkahinya, menurut pendapat lebih zhahir di Raudhah dan tambahan di Minhaj. Anak-keturunan diperintahkan bergaul dengan orang tuanya secara baik. Bukan termasuk kategori pergaulan baik kalau anak-keturunan membiarkan orang tua yang sudah renta/kakek-neneknya berusaha/bekerja,” (Lihat Muhammad bin Ahmad As-Syarbini, Al-Iqna’ pada Hasyiyatul Bujairimi alal Khatib , Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1996 M/1417 H, juz IV, halaman 439-440).
Secara rinci kedua orang tua yang berhak menerima nafkah anaknya adalah mereka yang tidak kaya, tidak sehat, dan tidak waras.
ﺍﻟْﻔَﻘْﺮ ﻭَﺍﻟﺰَّﻣَﺎﻧَﺔ ‏) ﻓﺎﻟﺰﻣﻦ ﺍﻟﻐﻨﻲ ﺍﻭ ﺍﻟﻔﻘﻴﺮ ﺍﻟﻘﻮﻱ ﻻ ﺗﺠﺐ ﻧﻔﻘﺘﻪ ‏( ﺃَﻭْ ﺍﻟْﻔَﻘْﺮ ﻭَﺍﻟْﺠُﻨُﻮﻥ ‏) ﻓﺎﻟﻤﺠﻨﻮﻥ ﺍﻟﻐﻨﻲ ﺍﻭ ﺍﻟﻔﻘﻴﺮ ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ ﻻ ﺗﺠﺐ ﻧﻔﻘﺘﻪ
Artinya, “[Adapun orang tua wajib dinafkahi keturunannya dengan dua syarat atau salah satunya, yaitu (pertama kefakiran dan penyakit kronis) penderita penyakit kronis yang kaya atau orang fakir yang sehat-gagah tidak wajib dinafkahi, (atau kedua kefakiran dan kegilaan), orang gila yang kaya atau orang fakir yang waras tidak wajib dinafkahi,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, Situbondo, Al-Maktabah Al-As‘adiyah, cetakan pertama, 2014 M/1434 H, halaman 169).
Tetapi bagaimanapun, manusia tetap diharuskan untuk berbakti kepada kedua orang tuanya sesuai dengan kondisi keuangannya, tidak perlu memaksakan diri secara rutin dengan besaran tertentu.
ﻭﻧﻔﻘﺔ ﺍﻟﻘﺮﻳﺐ ﻻ ﺗﻘﺪﺭ، ﺑﻞ ﻫﻲ ﺑﻘﺪﺭ ﺍﻟﻜﻔﺎﻳﺔ ﻭﺗﺨﺘﻠﻒ ﺑﺎﻟﻜﺒﺮ ﻭﺍﻟﺼﻐﺮ ﻭﺍﻟﺰﻫﺎﺩﺓ ﻭﺍﻟﺮﻏﺒﺔ ... ﻓﻠﻮ ﺗﺮﻙ ﺍﻹﻧﻔﺎﻕ ﻋﻠﻰ ﻗﺮﻳﺒﻪ ﺣﺘﻰ ﻣﻀﻰ ﺯﻣﺎﻥ ﻟﻢ ﺗﺼﺮ ﺩﻳﻨﺎ ﺳﻮﺍﺀ ﺗﻌﺪﻯ ﺃﻡ ﻻ ﻷﻧﻬﺎ ﺷﺮﻋﺖ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻤﻮﺍﺳﺎﺓ ﺑﺨﻼﻑ ﻧﻔﻘﺔ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﻷﻧﻬﺎ ﻋﻮﺽ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ
Artinya, “Nafkah untuk kerabat (baik usul yaitu ayah-ibu dan kakek-nenek ke atas maupun furu’ yaitu anak-cucu ke bawah) tidak ditentukan batasannya, tetapi sewajarnya. Nafkah untuk kerabat itu berbeda ukurannya sesuai dengan usia dewasa atau di bawah dewasa, kezuhudan atau kekurangzuhudannya... Kalau seseorang tidak menafkahi kerabatnya hingga beberapa waktu baik karena kelalaian atau bukan, maka tidak dihitung utang karena nafkah kerabat disyariatkan untuk membantu saja sifatnya, berbeda dari nafkah istri karena nafkah istri merupakan semacam imbalan. Wallahu a‘lam,” (Lihat Taqiyudin Abu Bakar Al-Hushni, Kifayatul Akhyar , Beirut, Darul Fikr, 1994 M/1414 H, juz II, halaman 115).
Melihat kondisi kecukupan kedua orang tua seperti deskripsi pada pertanyaan di atas, dapat disimpulkan bahwa anak-anaknya tidak wajib menafkahi kedua orang tuanya. Tetapi tentu saja anak dianjurkan untuk memperlakukan kedua orang tuanya dengan baik dan sedikit-sedikit membantu keperluan kedua orang tuanya sesuai dengan kelonggaran kondisi keuangan anaknya.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Lima Adab Orang tua Kepada Anak Menurut Imam Al-Ghazali


Orang tua sesunguhnya tidak bebas berbuat apa saja kepada anak-anaknya. Ada adab atau etika tertentu yang harus diperhatikan para orang tua sehubungan adanya kewajiban anak-anak berbakti kepada mereka. Menurut Imam Al-Ghazali sebagaimana disebutkan dalam kitabnya berjudul Al-Adab fid Din (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, halaman 444) setidaknya ada lima (5) adab orang tua terhadap anak-anaknya sebagai berikut:
ﺃﺩﺍﺏ ﺍﻟﻮﺍﻟﺪ ﻣﻊ ﺃﻭﻻﺩﻩ : ﻳﻌﻴﻨﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﺮﻩ، ﻭﻻ ﻳﻜﻠﻔﻬﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﺮ ﻓﻮﻕ ﻃﺎﻗﺘﻬﻢ، ﻭﻻ ﻳﻠﺢ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻓﻲ ﻭﻗﺖ ﺿﺠﺮﻫﻢ ﻭﻻ ﻳﻤﻨﻌﻬﻢ ﻣﻦ ﻃﺎﻋﺔ ﺭﺑﻬﻢ، ﻭﻻ ﻳﻤﻦ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺑﺘﺮﺑﻴﺘﻬﻢ .
Artinya: “Adab orang tua terhadap anak, yakni: membantu mereka berbuat baik kepada orang tua; tidak memaksa mereka berbuat kebaikan melebihi batas kemampuannya; tidak memaksakan kehendak kepada mereka di saat susah; tidak menghalangi mereka berbuat taat kepada Allah SWT; tidak membuat mereka sengsara disebabkan pendidikan yang salah.”

Dari kutipan di atas dapat diuraikan kelima adab orang tua kepada anak-anaknya sebagai berikut:
Pertama , membantu anak-anak bersikap baik kepadanya. Sikap anak kepada orang tua sangat dipengaruhi sikap orang tua kepada mereka. Jika orang tua sayang kepada anak-anak, mereka tentu akan membalas dengan kebaikan yang sama. Tidak mungkin anak-anak bersikap baik kepada orang tua, jika mereka diperlakukan semena-mena. Oleh karena itu ketika orang tua bersikap baik kepada anak-anaknya, sesungguhnya orang tua telah mendidik dan membantu anak-anaknya menjadi anak yang baik pula.
Kedua, tidak memaksa anak-anak berbuat baik melebihi batas kemampuannya. Orang tua perlu memahami psikologi perkembangan agar anak-anak dapat menjalani kehidupannya sesuai dengan fase-fase perkembangannya. Tidak bijak apabila anak-anak yang masih duduk di bangku TK sudah diperintahkan berpuasa sehari penuh selama Ramadhan. Mereka memang perlu dilatih berpuasa tetapi tidak boleh seberat itu. Demikian pula tidak bijak apa bila orang tua memaksakan kehendaknya agar mereka selalu menduduki ranking 1 di kelasnya, misalnya, sementara kemampuannya kurang mendukung.
Ketiga , tidak memaksa anak-anak saat susah. Sebagaimana orang dewasa, anak-anak juga bisa merasakan susah, misalnya karena kehilangan sesuatu yang menjadi kesayangannya seperti binatang kesayangan atau lainnya. Pada saat seperti ini orang tua sebaiknya dapat memahmi psikologi anak dengan tidak menambahi bebannya. Misalnya, orang tua melakukan perintah-perintah yang banyak dan berat sehingga menambah beban anak. Justru sebaiknya orang dapat menghibur dan membesarkan hati anaknya bahwa Allah akan mengganti apa yang hilang dari anak itu dengan sesuatu yang lebih baik.
Keempat, tidak menghalangi anak-anak untuk berbuat taat kepada Allah SWT. Tidak sebaiknya orang tua menghalangi anak-anak ketika mereka bermaksud melakukan ketaatan kepada Allah SWT, misalnya, berlatih puasa sunnah Senin-Kamis. Tetapi memang orang tua perlu memberi arahan untuk tidak berpuasa dahulu, misalnya, ketika kondisi anak sedang sakit. Orang tua perlu menjelaskan bahwa beberapa orang diperbolehkan tidak berpuasa, misalnya orang-orang yang sedang sakit, atau seorang ibu yang sedang menyusui anaknya yang masih kecil. Untuk puasa Ramadhan memang harus diganti apabila ditinggalkan, edang puasa sunnah tidak harus diganti.
Kelima, tidak membuat anak-anak sengsara disebabkan pendidikan yang salah. Adalah kewajiban orang tua mendidik anak dengan sebaik-baiknya sehingga anak memiliki ilmu yang cukup dan ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan. Apabila orang tua tidak cukup membekali anak dengan ilmu dan ketrampilan yang diperlukan dan malahan memanjakannya, maka hal ini bisa menyengsarakan anak di kemudian hari. Anak bisa bodoh dan tidak mandiri dalam banyak hal sehingga tidak bisa menolong dirinya sendiri apalagi orang lain. Keadaan seperti ini akan membuat anak sengsara dalam hidupnya.
Singkatnya kelima hal di atas, yakni mengkondisikan anak sanggup dan mampu berbuat baik kepada orang tua, menghargai prestasi anak dalam meraih hal yang baik sesuai batas kemampuannya, mengerti perasaan anak ketika mereka sedang susah, mendukung anak untuk berbuat ketaatan kepada Allah SWT, dan membuat anak mampu hidup bahagia dengan pendidikan yang benar, merupakan adab atau etika minimal yang perlu dilakukan setiap orang tua kepada anak-anaknya. Demikianlah Imam Al-Ghazali memberikan resep kepada kita untuk menjadi orang tua yang baik.

Tujuh Adab Berteman Menurut Imam Al-Ghazali


Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan teman. Seorang teman yang baik terkadang bisa melebihi kebaikan saudara sendiri. Hal ini dimungkinkan sebab hubungan antar teman cenderung setara di mana berlaku prinsip menghargai antara satu dengan yang lain. Anjuran untuk saling menghargai seperti itu sangat jelas sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam risalahnya berjudul Al-Adab fid Din
dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, halaman 444), sebagai berikut
ﺁﺩﺍﺏ ﺍﻹﺧﻮﺍﻥ : ﺍﻻﺳﺘﺒﺸﺎﺭ ﺑﻬﻢ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻘﺎﺀ، ﻭﺍﻻﺑﺘﺪﺍﺀ ﺑﺎﻟﺴﻼﻡ، ﻭﺍﻟﻤﺆﺍﻧﺴﺔ ﻭﺍﻟﺘﻮﺳﻌﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺠﻠﻮﺱ، ﻭﺍﻟﺘﺸﻴﻴﻊ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻘﻴﺎﻡ، ﻭﺍﻹﻧﺼﺎﺕ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻜﻼﻡ، ﻭﺗﻜﺮﻩ ﺍﻟﻤﺠﺎﺩﻟﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻘﺎﻝ، ﻭﺣﺴﻦ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻟﻠﺤﻜﺎﻳﺎﺕ، ﻭﺗﺮﻙ ﺍﻟﺠﻮﺍﺏ ﻋﻨﺪ ﺍﻧﻘﻀﺎﺀ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ، ﻭﺍﻟﻨﺪﺍﺀ ﺑﺄﺣﺐ ﺍﻷﺳﻤﺎﺀ
Artinya: “Adab berteman, yakni: Menunjukkan rasa gembira ketika bertemu, mendahului beruluk salam, bersikap ramah dan lapang dada ketika duduk bersama, turut melepas saat teman berdiri, memperhatikan saat teman berbicara dan tidak mendebat ketika sedang berbicara, menceritakan hal-hal yang baik, tidak memotong pembicaraan dan memanggil dengan nama yang disenangi.”
Dari kutipan di atas dapat diuraikan ketujuh adab berteman sebagai berikut:
Pertama , menunjukkan rasa gembira ketika bertemu. Hal ini menjadi salah satu tanda pertemanan yang baik. Orang-orang yang bermusuhan cenderung saling membenci ketika bertemu sehingga lebih sering menghindar dari pertemuan. Teman yang baik tidak hanya menunjukkan rasa gembira, tetapi juga saling menjaga perasaan masing-masing ketika bertemu dengan menghindari sikap atau kata-kata yang tidak mengenakkan.
Kedua, mendahului mengucapkan salam. Seorang teman tidak sungkan-sungkan untuk mendahului beruluk salam meskipun mungkin ia lebih tinggi kedudukannya secara sosial. Seorang teman cenderung menempatkan diri setara dengan tidak memandang yang lain lebih rendah dari dirinya. Tentu saja secara moral, pihak yang mendahului mengucapkan salam adalah lebih baik sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad.
Ketiga , ramah dan lapang dada ketika duduk bersama. Hubungan pertemanan memang sangat menyenangkan terutama karena tidak ada jarak di antara mereka. Hal seperti ini memungkinkan terjalinnya keakraban satu sama lain dan keramahan yang tulus. Jika terjadi hal-hal yang khilaf, seorang teman akan cenderung mudah memaafkan karena umumnya tidak menginginkan pertemannnya menjadi renggang.
Keempat, ikut melepas saat teman berdiri. Sikap ini menunjukkan penghargaan atau penghormatan terhadap teman. Dalam konteks pertemanan, seseorang tidak lazim diperlakukan seperti bawahan sebagaimana dalam sebuah struktur tertentu, misalnya pabrik. Artinya hubungan pertemanan tidak bisa disamakan dengan hubungan kerja antara atasan dan bawahan. Seorang teman memperlakukan temannya sebagaimana ia ingin diperlakukan sama dengan teman tersebut. Dan inilah hakikat pertemanan yakni kesetaraan.
Kelima, memperhatikan saat temana berbicara dan tidak mendebat di saat sedang berbicara. Sikap ini juga menunjukkan penghargaan atau penghormatan terhadap teman sebagai wujud dari kesetaraan. Dalam pertemanan kedua belah pihak tidak ingin saling menyakiti. Hal-hal yang bisa merusak pertemanan akan dihindari sebanyak mungkin. Teman yang baik bisa melebihi kebaikan saudara sendiri. Hal ini sering terjadi di dalam masyarakat.
Keenam , menceritakan hal-hal yang baik. Sebagaimana diuraikan dalam poin kelima bahwa dalam pertemanan kedua belah pihak tidak ingin saling menyakiti. Salah satu caranya adalah menceritakan hal-hal yang baik dan bukan menceritakan hal-hal yang bisa menimbulkan rasa malu, tersakiti ataupun menyinggung perasaannya. Jika hal seperti ini bisa dijaga dengan baik tentu hubungan pertemanan akan langgeng, dan bahkan bisa berlanjut hingga ke anak cucu.
Ketujuh , tidak memotong pembicaraannya dan memanggil dengan nama yang disenangi. Memotong pembicaraan seorang teman tanpa alasan yang kuat bisa berarti tidak menghormatinya. Hal seperti ini sebaiknya dihindari untuk menjaga hubungan baik antar teman. Demikian pula memanggil teman sebaiknya dengan panggilan yang ia senangi. Seseorang mungkin biasa dipanggil sesuai dengan pekerjaannya. Tetapi apabila panggilan seperti ini sebetulnya tidak dia senangi, maka sebaiknya dihindari.
Demikianlah ketujuh adab seorang teman sebagaimana nasihat Iman Al-Ghazali. Apabila ketujuh adab ini dapat dipraktikkan dengan baik, tentu hubungan antar teman akan terus berlanjut dengan baik. Bahkan tidak jarang dari hubungan pertemanan atau persahabatan bisa meningkat menjadi hubungan yang lebih dekat lagi seperti menjadi menantu, mertua atau besan dan sebagainya sebagaimana Rasulullah akhirnya menjadi menantu bagi sahabat Abu Bakar as-Shiddiq RA dan Umar bib Khattab RA; dan beliau juga menjadi mertua bagi sahabat Utsman bin Affan RA. Ali bin Abi Thalib RA juga menjadi menantu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di samping sebagai saudara sepupu.

12 Adab Duduk Di Pinggir Jalan Menurut Imam Al-Ghazali


Duduk di pinggir jalan, atau lebih dikenal dengan istilah “nongkrong” merupakan fenomena yang biasa dijumpai terutama di kalangan anak-anak muda. Memang tidak ada larangan terhadap hal ini, namun ada sejumlah adab tertentu yang harus diperhatikan oleh siapa saja yang duduk di pinggir jalan sebagaimana nasihat Imam Al-Ghazali dalam risalahnya berjudul al-Adab fid Dîn dalam Majmû'ah Rasâil al-Imâm al-Ghazâli (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th., halaman 443), sebagai berikut:
ﺁﺩﺍﺏ ﺍﻟﺠﻠﻮﺱ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ : ﻏﺾ ﺍﻟﺒﺼﺮ، ﻭﻧﺼﺮﺓ ﺍﻟﻤﻈﻠﻮﻡ، ﻭﺇﻏﺎﺛﺔ ﺍﻟﻤﻠﻬﻮﻑ، ﻭﺇﻋﺎﻧﺔ ﺍﻟﻀﻌﻴﻒ، ﻭﺇﺭﺷﺎﺩ ﺍﻟﻀﺎﻝ، ﻭﺭﺩ ﺍﻟﺴﻼﻡ، ﻭﺇﻋﻄﺎﺀ ﺍﻟﺴﺎﺋﻞ، ﻭﺗﺮﻙ ﺍﻟﺘﻠﻔﺖ، ﻭﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺑﺎﻟﺮﻓﻖ ﻭﺍﻟﻠﻄﻒ، ﻓﺈﻥ ﺃﺻﺮ ﻓﺒﺎﻟﺮﻫﺒﺔ ﻭﺍﻟﻌﻨﻒ، ﻭﻻ ﻳﺼﻐﻰ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺴﺎﻋﻰ ﺇﻻ ﺑﺒﻴﻨﺔ، ﻭﻻ ﻳﺘﺠﺴﺲ، ﻭﻻ ﻳﻈﻦ ﺑﺎﻟﻨﺎﺱ ﺇﻻ ﺧﻴﺮًﺍ .
Artinya: “Adab duduk di pinggir jalan, yakni: Menundukkan pandangan mata, membantu orang yang teraniaya, menolong orang yang mengalami kesusahan, membantu yang lemah dan memberi petunjuk kepada orang tersesat, menjawab salam, memberi kepada orang yang meminta-minta, tidak banyak menengok kesana-kemari, amar makruf nahi mungkar serta halus dan lembut, jika menentang maka secara tegas dan keras, tidak mendengarkan keterangan seorang pemfitnah kecuali ada bukti, tidak memata-matai, tidak berprasangka kepada seseorang kecuali dengan prasangka baik.
Dari kutipan di atas, dapat diuraikan kedua belas adab duduk di pinggir sebagai berikut:
Pertama , menundukkan pandangan mata. Pandangan mata yang dapat berakibat dosa harus dihindari sebanyak mungkin, seperti cuci mata atau memandang secara liar orang-orang yang bukan mahram. Oleh karena itu menundukkan pandangan ketika duduk di jalan menjadi penting.
Kedua, membantu orang yang teraniaya. Salah satu konsekuensi logis duduk di pinggir jalan adalah membantu orang teraniaya yang berada tak jauh. Membantu tidak berarti membela dengan menyerang pihak penganiaya. Bisa saja dengan mencegah penganiaya berhenti menganiaya korban.
Ketiga , menolong orang yang mengalami kesusahan. Di jalan kadang dijumpai orang-orang yang mengalami kesusahan seperti kehilangan uang, tidak bisa menemukan sebuah alamat yang dituju. Atau, merasakan sakit karena luka akibat jatuh dari kendaraan, dan sebagainya. Menolong mereka untuk lepas dari kesusahan-kesusahan seperti itu sangat dianjurkan.
Keempat, membantu yang lemah. Di antara orang-orang lemah adalah anak-anak, perempuan, orang tua yang udzur, difabel termasuk tuna netra, dan sebagainya. Tidak jarang mereka perlu dibantu menyeberang jalan yang ramai karena merasa takut, ragu-ragu, atau lainnya.
Kelima, memberi petunjuk kepada orang tersesat. Menjadi kewajiban orang duduk di pinggir jalan untuk membantu orang yang kebingungan atau memang tersesat mencapai alamat yang dituju, baik mereka meminta petunjuk atau menahan diri tidak meminta karena takut.
Keenam , menjawab salam. Aturan tentang salam dalam Islam adalah orang yang lewat di jalan baik berjalan kaki maupun berkedaraan dianjurkan untuk mendahului mengucapkan salam kepada orang yang dilewati. Oleh karena itu orang yang duduk di pinggir jalan harus membalas ucapan salam dari orang yang lewat baik mereka saling mengenal atau tidak.
Ketujuh , memberi kepada orang yang meminta-minta. Di jalan kadang banyak orang meminta-minta seperti para pengemis. Orang-orang yang duduk di pinggir jalan tidak boleh mengabaikan para peminta yang memang pastas diberi seperti karena sudah tua dan tidak mampu bekerja.
Kedelapan , tidak banyak menengok kesana-kemari. Menengok kesana-kemari sama saja dengan tidak menundukkan pandangan sebagaimana dimaksud pada poin pertama. Oleh karena itu orang yang duduk di pinggir jalan tidak bebas berbuat apa saja. Ia harus tetap khusyu’ menjaga pandangan mata untuk menghindari hal-hal yang bisa mendatangkan madharat.
Kesembilan , amar makruf nahi mungkar secara halus dan lembut; jika tetap melakukan maka dengan paksaan dan keras. Kejadian di jalan memang beramacam-macam dari yang baik hingga yang buruk. Untuk itu, orang yang duduk di pinggir jalan dianjurkan mengajak kepada kebaikan dan mencegah keburukan demi ketertiban, keamanan dan keselamatan bersama.
Kesepuluh, tidak mendengarkan keterangan seorang pemfitnah kecuali ada bukti. Di jalan terkadang ada demonstrasi yang disusupi seorang pemfitnah atau pengadu domba dengan maksud-makksud tertentu seperti ingin menciptakan kerusuhan. Orang yang duduk di pinggir jalan harus berhati-hati menyikapi informasi yang diterima. Jika perlu bertabayun atau mengklarifikasi kepada pihak-pihak yang berwenang.
Kesebelas , tidak memata-matai. Memata-matai untuk tujuan buruk tidak dibenarkan sama sekali sebab perbuatan itu sama saja dengan melakukan perbuatan buruk itu sendiri. Mematai-matai untuk tujuan baik seperti demi menjaga perdamaian di masyarakat bisa dibenarkan.
Kedua belas, tidak berprasangka kepada seseorang kecuali dengan prasangka baik. Berprasangka baik kepada siapa saja di jalan merupakan keharusan untuk menghindari kezaliman. Namun demikian sikap waspada tetap diperlukan agar tidak sampai terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Beberapa kasus kejahatan terjadi akibat kurangnya kewaspadaan seperti lengah dalam menjaga keamanan.
Demikianlah Imam Al-Ghazali memberikan nasihat tentang dua belas adab duduk di pinggir jalan. Jika kita cermati satu persatu, kedua belas adab tersebut cukup berat karena dituntut untuk bisa menjaga pandangan, pendengaran, hati dan pikiran dengan baik. Selain itu, juga dituntut memiliki keberanian beramar makruf nahi mungkar dengan cara sebijak mungkin. Artinya jika seseorang tidak memiliki kemampaun dan keberanian melaksanakan kedua belas adab di atas, maka sebaiknya tidak duduk-duduk di pinggir jalan kecuali ada keperluan yang jelas dan penting.

Etika Meludah Dalam Islam


Islam adalah agama yang sangat indah. Semua lini kehidupan diatur sedemikian rupa. Mulai ibadah primer maupun sekunder, masing-masing diatur. Termasuk di antaranya adab meludah maupun berdahak.
Abdullah bin Umar pernah bercerita, satu ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melihat ada air ludah pada sisi arah kiblat dalam sebuah masjid. Rasulullah pun mengambil kayu atau tongkat, kemudian mengerok tempat ludahan tersebut lalu beliau bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﻗَﺎﻡَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻳُﺼَﻠِّﻲ ﻓَﻠَﺎ ﻳَﺒْﺼُﻖْ ﻓِﻲ ﻗِﺒْﻠَﺘِﻪِ ﻓَﺈِﻧَّﻤَﺎ ﻳُﻨَﺎﺟِﻲ ﺭَﺑَّﻪُ ﺗَﺒَﺎﺭَﻙَ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰ
Artinya: “Jika salah satu dari kalian shalat, hendaknya tidak meludah ke arah kiblat. Sebab orang yang shalat adalah orang yang sedang bermunajat kepada Allah tabâraka wa ta’âla.” (Musnad Ahmad: 4645)
Dengan sikap Baginda Nabi yang hanya mengerok liur saja tanpa menyucikan dengan air sebagaimana di atas, al-Khatthâbi dalam Ma’âlimus Sunan juz 1, halaman 144 menyatakan, air liur itu suci. Pendapat ini senada dengan perkataan para ulama kecuali Ibrahim an-Nakhai yang berpendapat najis.
Pesan Rasulullah yang perlu digarisbawahi, adab meludah ketika shalat tidak boleh ke arah kiblat. Selain ke arah kiblat, masih bisa ditoleransi, asalkan shalatnya tidak di dalam masjid. Jika shalat di masjid dan menyebabkan kotor, dalam syarah al-Muhadzab dikatakan, ini haram. Apabila ingin meludah, hendaknya meludah ke arah pakaian yang dikenakan semisal pada bagian kerah baju yang kiri.
Dalam satu hadits riwayat Abu Hurairah diceritakan, Rasulullah pernah berpesan untuk orang yang shalat, kalau mau meludah hendaknya menghindari arah kiblat, karena ia sedang bermunajat kepada Allah. Sedangkan ke arah kanan perlu dihindari sebab ada malaikat (pencatat amal kebaikan) di sana.
Lalu bagaimana adab meludah jika berada di luar shalat?
Imam Syihabuddin al-Qalyubi dan Umairah dalam Hâsyiyatan menjelaskan adab meludah di luar shalat sebagai berikut:
ﻭَﻳُﻜْﺮَﻩُ ﺍﻟْﺒُﺼَﺎﻕُ ﺧَﺎﺭِﺝَ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ، ﻗِﺒَﻞَ ﻭَﺟْﻬِﻪِ ﻣُﻄْﻠَﻘًﺎ ﻭَﻟِﺠِﻬَﺔِ ﺍﻟْﻘِﺒْﻠَﺔِ، ﻭَﺟِﻬَﺔِ ﻳَﻤِﻴﻨِﻪِ ﺃَﻳْﻀًﺎ
Artinya: “Dimakruhkan meludah di luar shalat menuju arah depannya sendiri secara mutlak, ke arah kiblat dan ke arah kanan.” (Syihabuddin Ahmad al-Qalyubi dan Umairah, Hâsyiyatân , Alepo, 1956 M / 1375 H, juz 1, halaman 194)
Selain itu, masih dalam kitab yang sama disebutkan, hokum meludah lalu mengenai benda milik orang lain adalah haram.
ﻳَﺤْﺮُﻡُ ﺍﻟْﺒُﺼَﺎﻕُ ﺇﺫَﺍ ﺍﺗَّﺼَﻞَ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻣِﻠْﻜِﻪِ
Artinya: “Haram meludah jika mengenai benda yang bukan miliknya.” (Syihabuddin Ahmad al-Qalyubi dan Umairah, Hâsyiyatân , Alepo, 1956 M / 1375 H, juz 1, halaman 194)
Dengan demikian, dapat disimpulkan, adabmeludahjika dalam shalat makruh ke arah kiblat dan kanan. Adapun di luar shalat, makruh meludah ke arah depan, kiblat, dan kanan. Sedangkan meludah yang mengotori masjid atau mengenai benda milik orang lain hukumnya haram. Wallahua’lam.

Beradab Sebelum Berilmu

Fenomena lidah dai yang terpeleset saat berikhtiar menafsirkan Surat Adh-Dhuha ayat tujuh, tidak melulu soal kekurangan ilmu pengetahuan agama. Sebab, beberapa waktu silam, ada juga pendakwah yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di sebuah kampus di Timur Tengah, yang masuk pusaran kontroversi tatkala membahas keberadaan orang tua Nabi Muhammad di akhirat.
Apalagi, kalau ditelaah lebih lanjut, dai yang terpeleset lidah saat berbicara surah adh dhuha itu, dalam satu rangkaian ceramah yang sama, memertanyakan tentang urgensi peringatan maulid Nabi Muhammad yang dilakukan oleh umat muslim Indonesia. Padahal, peringatan maulid tadi, tujuannya tidak lain adalah untuk memuliakan dan mengingat kemuliaan Nabi Muhammad.
Sementara dai yang membahas keberadaan orang tua Nabi Muhammad di akhirat, setali dua uang, kerap mengritisi perayaan maulid nabi.
Jadi, fenomena dua dai di atas, selain dapat ditelusuri dari aspek kepadatan referensi atau wawasan yang bersangkutan, bisa pula dikupas dari bagaimana adab atau etika atau sopan santun yang mereka miliki. Khususnya, tatkala membahas Nabi Muhammad yang mulia, beserta keluarganya.
Termasuk, bagaimana perlakuan mereka sewaktu berdakwah dengan topik-topik tersebut. Juga, bagaimana menempatkan kehati-hatian dan penghormatan pada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad itu.
Apakah mereka tidak beradab? Bukan itu yang akan didiskusikan kali ini.
Pangkalnya, bisa jadi, definisi adab yang mereka pahami, tidak menyentuh definisi adab Muslimin yang lain. Dakwah mereka, kurang berbahasa sama (ada perbedaan definisi adab) dengan kaum Muslimin kebanyakan. Namun, entah mengapa, mereka memilih bersuara lebih nyaring.
Adab adalah bagian terpenting dari kehidupan beragama. Sebab, aspek ini berkaitan dengan akhlak. Kalangan santri di Nusantara, misalnya, selalu berupaya mencium tangan ustadz atau para kiai. Salah satu alasannya, mereka ingin keberkahan dari Allahu ta’ala , melalui jalur melakukan akhlak baik: bersopan santun pada orang yang lebih tua atau lebih berilmu. Yang dilakukan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan kultus individu, seperti banyak ditudingkan oleh orang-orang yang tidak suka mencium tangan guru.
Nah, kalau guru dan kiai saja mereka muliakan sedemikian rupa, bagaimana dengan Nabi Muhammad? Tak ada adab yang akan mereka suguhkan semulia dan seterbaik tatkala mereka membicarakan rasul penutup ini.
Para ulama terdahulu, yang taraf keilmuannya jauh lebih tinggi dari semua ulama kekinian, memiliki adab yang atau etika yang luar biasa pada para sahabat. Bahkan, banyak dari mereka yang tidak sudi membicarakan tentang perang shiffin dan perang jamal, karena tidak ingin mengungkit luka di masa itu. Dalih mereka kira-kira begini: apa yang sudah dijauhkan Allahu ta’ala dari tangan kita (kesalahpahaman di antara generasi terbaik Islam), janganlah kita dekatkan dengan lisan sendiri.
Nah, kalau para shabat saja mereka muliakan sedemikian rupa, bagaimana dengan Nabi Muhammad? Tak ada adab yang akan mereka tampilkan semulia dan seterbaik tatkala mereka membahas tentang rasul yang welas asih ini.
Dalam sejumlah riwayat, Abu Bakar Ash-Shiddiq radliyallahu ‘anh , pernah hampir menjadi imam shalat yang dalam barisan makmunya ada Nabi Muhammad. Bahkan, itu dikerjakannya atas isyarat dan arahan Rasulullah sendiri. Tapi apa yang dilakukan Abu Bakar? Ia memilih mundur karena sedemikian tinggi adab dan etikanya pada Nabi Muhammad.
Lantas, siapakah yang lebih berilmu dari Abu Bakar Ash-Shiddiq radlialluhu ‘anhu dan ulama-ulama salaf terdahulu yang enggan membahas perang saudara antarkaum Muslimin? Tapi toh, mereka mendahulukan adab dan etika mereka daripada pengetahuan yang memenuhi isi kepala mereka yang mulia.
Mungkin, dua dai yang pernah tergelincir itu juga memiliki adab yang tinggi. Namun, bisa jadi, ada perbedaan perspektif soal adab atau etika yang ada di kepala mereka, dengan kaum Muslimin yang lain. Yang bisa jadi, sebagian dari kaum Muslimin tadi, memiliki adab yang lebih luas dan ilmu yang lebih dalam dari mereka.
Penulis adalah Dosen Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang, Koordinator Divkominfo Mata Garuda Jawa timur

Hukum Meniup , Mengipasi Makanan Atau Minuman Panas

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online , bapak pernah menegur adik saya yang mendinginkan mie rebus di piringnya dengan kipas bambu. Kata bapak kami, meniup atau mendinginkan makanan panas dilarang dalam agama Islam. Saya minta keterangan perihal ini. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Nandar/Bandung)
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Larangan meniup atau mengipas untuk mendinginkan makanan atau minuman panas dapat ditemukan dalam hadits riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi berikut ini.
ﻭﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠّﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻧﻬﻰ ﺃﻥ ﻳﺘﻨﻔﺲ ﻓﻲ ﺍﻹﻧﺎﺀ ﺃﻭ ﻳﻨﻔﺦ ﻓﻴﻪ
Artinya, “Dari Ibnu Abbas RA, bahwa Nabi Muhammad SAW melarang pengembusan nafas dan peniupan (makanan atau minuman) pada bejana,” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Dari hadits ini para ulama terbelah menjadi beberapa pendapat. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum meniup makanan atau minuman adalah makruh tanzih karena ini berkaitan dengan adab dan kebersihan.
Adapun ulama lain memberikan tafsil. Menurut sebagian ulama ini, larangan makruh ini berlaku dengan asumsi bila seseorang itu mengikuti jamuan makan bersama-sama dengan orang lain di satu wadah besar atau satu wadah bersama, atau satu wadah yang dipakai bersama orang lain. Pasalnya, orang lain kemungkinan akan merasa jijik atau menduga masuknya kotoran atau penyakit di mulutnya ke dalam wadah bersama itu.
Ketika seseorang makan sendiri atau makan bersama keluarga atau muridnya, maka larangan meniup makanan dan minuman tidak berlaku karena orang yang makan bersama dia tidak merasa jijik dengan tindakan peniupan itu.
ﻗﻮﻟﻪ ‏( ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﻔﺦ ﻓﻲ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ‏) ﻷﻧﻪ ﻳﺆﺫﻥ ﺑﺎﻟﻌﺠﻠﺔ ﻭﺷﺪﺓ ﺍﻟﺸﺮﻩ ﻭﻗﻠﺔ ﺍﻟﺼﺒﺮ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻤﻬﻠﺐ : ﻭﻣﺤﻞ ﺫﻟﻚ ﺇﺫﺍ ﺃﻛﻞ ﻣﻊ ﻏﻴﺮﻩ ﻓﺈﻥ ﺃﻛﻞ ﻭﺣﺪﻩ ﺃﻭ ﻣﻊ ﻣﻦ ﻻ ﻳﺘﻘﺬﺭ ﻣﻨﻪ ﺷﻴﺌﺎ ﻛﺰﻭﺟﺘﻪ ﻭﻭﻟﺪﻩ ﻭﺧﺎﺩﻣﻪ ﻭﺗﻠﻤﻴﺬﻩ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ
Artinya, “Kata (Nabi Muhammad SAW melarang peniupan makanan) karena itu mengisyaratkan ketergesa-gesaan, kerakusan dan kurang sabar. Al-Mahlab mengatakan bahwa letak larangan itu terdapat ketika seseorang makan bersama orang lain pada satu wajan. Jika seseorang makan sendiri atau bersama orang yang tidak menganggap ‘kotor’ apa pun yang keluar dari dirinya, seperti istri, anak, bujang, dan muridnya, maka tidak masalah,” (Lihat Al-Munawi,
Faidhul Qadir, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1994 M/1415 H], juz VI, halaman 420).
Sebagian ulama Mazhab Maliki dan Hanbali menyatakan bahwa peniupan makanan atau minuman tidak makruh untuk mendinginkan hidangan tersebut karena memakan makanan atau minuman panas dapat menghilangkan berkah.
ﻭَﻓِﻲ ﻗَﻮْﻝٍ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟْﻤَﺎﻟِﻜِﻴَّﺔِ : ﺇِﻧَّﻪُ ﻻَ ﻳُﻜْﺮَﻩُ ﺍﻟﻨَّﻔْﺦُ ﻓِﻲ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡِ ﻟِﻤَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻭَﺣْﺪَﻩُ . ﻭَﻗَﺎﻝ ﺍﻵْﻣِﺪِﻱُّ - ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤَﻨَﺎﺑِﻠَﺔِ - : ﺇِﻧَّﻪُ ﻻَ ﻳُﻜْﺮَﻩُ ﺍﻟﻨَّﻔْﺦُ ﻓِﻲ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡِ ﺇِﺫَﺍ ﻛَﺎﻥَ ﺣَﺎﺭًّﺍ ، ﻗَﺎﻝ ﺍﻟْﻤِﺮْﺩَﺍﻭِﻱُّ : ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟﺼَّﻮَﺍﺏُ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﺛَﻢَّ ﺣَﺎﺟَﺔٌ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻷَْﻛْﻞ ﺣِﻴﻨَﺌِﺬٍ
Artinya, “Satu pendapat di dalam Mazhab Maliki menyatakan bahwa peniupan atas makanan tidak dimakruh bagi orang yang makan sendiri. Al-Amidi dari Mazhab Hanbali mengatakan bahwa peniupan makanan tidak makruh bila makanan itu panas. Al-Mirdawi mengatakan bahwa, ini yang benar, (tidak makruh) jika ada keperluan untuk mengonsumsinya saat itu,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah,
Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Shafwah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz XXXXI, halaman 23).
Mayoritas ulama menyarankan orang yang memiliki punya waktu untuk menunggu dengan sabar makanan dan minumannya dingin seiring waktu. Sedangkan mereka yang berhajat untuk mengonsumsi makanan atau minuman yang masih panas dapat mempercepat pendinginan makanan tersebut dengan bantuan kipas bambu atau alat bantu lain.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Cek Ongkir/pengiriman

Arsip kank achonk

Jam

Tanggal

cek