Sudah jamak kita jumpai perlombaan kerap menjadi sarana memeriahkan sebuah peringatan atau momen tertentu. Lomba yang biasanya dibuka secara umum itu kadang menyertakan syarat biaya pendaftaran. Uang pendaftaran dihimpun untuk mengongkosi hadiah para pemenang.
Banyak orang yang mengaggap praktik tersebut mirip dengan aktivitas perjudian. Dalam perjudian, sejumlah orang mengumpulkan uang lalu di akhir salah satu (kadang lebih) peserta pengumpul uang akan mendapatkan uang tersebut dalam jumlah yang banyak melalui undian atau permainan tertentu. Artinya, pengumpul uang adalah pihak yang sedang bertaruh. Ketika ia kalah, uang yang ia taruhkan diberikan kepada pemenang.
Permasalahan ini juga pernah disinggung dalam forum Muktamar Ke-30 Nahdlatul Ulama pada tahun 1999 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Muktamirin sepakat bahwa lomba dengan menarik uang saat pendaftaran dari peserta untuk hadiah termasuk judi. Dengan bahasa lain, praktik semacam ini termasuk haram.
Yang perlu menjadi perhatian di sini adalah uang pendaftaran sengaja diperuntukkan sebagai biaya hadiah. Sehingga, apabila uang pendafataran itu bukan untuk hadiah maka hal itu di luar kategori judi.
Dengan demikian, penting bagi penyelenggara lomba berhadiah untuk tidak menggunakan uang pendaftaran peserta sebagai bagian dari biaya hadiah. Ongkos pengeluaran hadiah bisa diambilkan dari sumber lain, seperti sponsor, donatur, atau lainnya.
Selain alokasi dana hadiah, penyelenggara juga perlu memperhatikan jenis perlombaannya pun agar tidak bertentangan dengan syariat. Karena bisa jadi proses penyelenggaraan sudah tepat, tapi karena jenis perlombaan melanggar syariat, praktik tersebut berstatus haram.
Forum Muktamar NU mendasarkan hukum menggunakan uang pendaftaran peserta lomba pada sejumlah rujukan:
1. Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib
ﻭَﺇِﻥْ ﺃَﺧْﺮَﺟَﺎﻩُ ﺃَﻱِ ﺍﻟْﻌِﻮَﺽَ ﺍﻟْﻤُﺘَﺴَﺎﺑِﻘَﺎﻥِ ﻣَﻌًﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺠُﺰْ ... ﻭَﻫُﻮَ ﺃَﻱِ ﺍﻟْﻘِﻤَﺎﺭُ ﺍﻟْﻤُﺤَﺮَّﻡُ ﻛُﻞُّ ﻟَﻌْﺐٍ ﺗَﺮَﺩَّﺩَ ﺑَﻴْﻦَ ﻏَﻨَﻢٍ ﻭَﻏَﺮَﻡٍ
“Dan jika kedua pihak yang berlomba mengeluarkan hadiah secara bersama, maka lomba itu tidak boleh ... dan hal itu, maksudnya judi yang diharamkan adalah semua permainan yang masih simpangsiur antara untung dan ruginya.” (Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib [Singapura: Sulaiman Mar’i, t. th.], Jilid II, h. 310)
2. Is’ad al-Rafiq Syarh Sulam al-Taufiq
( ﻛُﻞُّ ﻣَﺎ ﻓِﻴْﻪِ ﻗِﻤَﺎﺭٌ ) ﻭَﺻُﻮْﺭَﺗُﻪُ ﺍﻟْﻤُﺠْﻤَﻊُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺃَﻥْ ﻳَﺨْﺮُﺝَ ﺍﻟْﻌِﻮَﺽُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠَﺎﻧِﺒَﻴْﻦِ ﻣَﻊَ ﺗَﻜَﺎﻓُﺌِﻬِﻤَﺎ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟْﻤُﺮَﺍﺩُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﻴْﺴِﺮِ ﻓِﻲْ ﺍْﻵﻳَﺔِ . ﻭَﻭَﺟْﻪُ ﺣُﺮْﻣَﺘِﻪِ ﺃَﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻭَﺍﺣِﺪٍ ﻣُﺘَﺮَﺩِّﺩٌ ﺑَﻴْﻦَ ﺃَﻥْ ﻳَﻐْﻠِﺐَ ﺻَﺎﺣِﺒَﻪُ ﻓَﻴَﻐْﻨَﻢَ . ﻓَﺈِﻥْ ﻳَﻨْﻔَﺮِﺩْ ﺃَﺣَﺪُ ﺍﻟﻼَّﻋِﺒَﻴْﻦِ ﺑِﺈِﺧْﺮَﺍﺝِ ﺍﻟْﻌِﻮَﺽِ ﻟِﻴَﺄْﺧُﺬَ ﻣِﻨْﻪُ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻣَﻐْﻠُﻮْﺑًﺎ ﻭَﻋَﻜْﺴُﻪُ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻏَﺎﻟِﺒًﺎ ﻓَﺎْﻷَﺻَﺢُّ ﺣُﺮْﻣَﺘُﻪُ ﺃَﻳْﻀًﺎ
“(Setiap kegiatan yang mengandung perjudian) Bentuk judi yang disepakati adalah hadiah berasal dua pihak disertai kesetaraan keduanya. Itulah yang dimaksud al-maisir dalam ayat al-Qur’an. [QS. Al-Maidah: 90]. Alasan keharamannya adalah masing-masing dari kedua pihak masih simpang siur antara mengalahkan lawan dan meraup keuntungan -atau dikalahkan dan mengalami kerugian-. Jika salah satu pemain mengeluarkan haidah sendiri untuk diambil darinya bila kalah, dan sebaliknya -tidak diambil- bila menang, maka pendapat al-Ashah mengharamkannya pula.” (Muhammad Salim Bafadhal, Is’ad al-Rafiq Syarh Sulam al-Taufiq [Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, t. th.], Juz II, h. 102)
3. Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib
ﻭَﻳَﺠُﻮْﺯُ ﺷَﺮْﻁُ ﺍﻟْﻌِﻮَﺽِ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺍﻟْﻤُﺘَﺴَﺎﺑِﻘَﻴْﻦِ ﻣِﻦَ ﺍْﻹِﻣَﺎﻡِ ﺃَﻭِ ﺍْﻷَﺟْﻨَﺒِﻲِّ ﻛَﺄَﻥْ ﻳَﻘُﻮْﻝَ ﺍْﻹِﻣَﺎﻡُ ﻣَﻦْ ﺳَﺒَﻖَ ﻣِﻨْﻜُﻤَﺎ ﻓَﻠَﻪُ ﻋَﻠَﻲَّ ﻛَﺬَﺍ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﻟِﻲْ، ﺃَﻭْ ﻓَﻠَﻪُ ﻓِﻲْ ﺑَﻴْﺖِ ﺍﻟْﻤَﺎﻝِ ﻛَﺬَﺍ، ﻭَﻛَﺄَﻥْ ﻳَﻘُﻮْﻝَ ﺍْﻷَﺟْﻨَﺒِﻲُّ : ﻣَﻦْ ﺳَﺒَﻖَ ﻣِﻨْﻜُﻤَﺎ ﻓَﻠَﻪُ ﻋَﻠَﻲَّ ﻛَﺬَﺍ، ﻷَﻧَّﻪُ ﺑَﺬْﻝُ ﻣَﺎﻝٍ ﻓِﻲْ ﻃَﺎﻋَﺔٍ
“Dan boleh menjanjikan hadiah dari selain kedua peserta lomba balap hewan, seperti penguasa atau pihak lain. Seperti penguasa berkata: “Siapa yang menang dari kalian berdua, maka aku akan memberi sekian dari hartaku, atau ia memperoleh sekian jumlah dari bait al-mal.” Dan seperti pihak lain itu berkata: “Siapa yang menang dari kalian berdua, maka ia berhak mendapat sekian harta dariku.” Karena pernyataan itu merupakan penyerahan harta dalam ketaatan. (Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib [Singapura: Sulaiman Mar’i, t. th.], Jilid II, h. 309)
4. Minhaj al-Thalibin
ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺍﻟْﻤُﺴَﺎﺑَﻘَﺔِ ﻭَﺍﻟْﻤُﻨَﺎﺿَﻠَﺔِ ﻫُﻤَﺎ ﺳُﻨَّﺔٌ ﻭَﻳَﺤِﻞُّ ﺃَﺧْﺬُ ﻋِﻮَﺽٍ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻤَﺎ، ﻭَﺗَﺼِﺢُّ ﺍﻟْﻤُﻨَﺎﺿَﻠَﺔُ ﻋَﻠَﻰ ﺳِﻬَﺎﻡٍ ﻭَﻛَﺬَﺍ ﻣَﺰَﺍﺭِﻳْﻖُ ﻭَﺭِﻣَﺎﺡٌ ﻭَﺭَﻣْﻲٌ ﺑِﺄَﺣْﺠَﺎﺭٍ ﻭَﻣَﻨْﺠَﻨِﻴْﻖٍ ﻭَﻛُﻞُّ ﻧَﺎﻓِﻊٍ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﺤَﺮْﺏِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤَﺬْﻫَﺐِ
“Kitab tentang lomba balap dan lomba membidik. Keduanya sunah dan boleh mengambil hadiah dari keduanya. Lomba membidik itu sah dengan panah. Begitu pula tombak pendek, tombak, melempar dengan batu, manjaniq (alat perang pelempar batu jaman kuno), dan semua yang bermanfaat dalam peperangan menurut madzhab Syafi’iyah.” (Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin pada Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj [Mesir: al-Tujjariyah al-Kubra, t. th.], Jilid IV, h. 311)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kesuwun pun mampir