Kaidah Fikih; “Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘Ala Jalbil Mashalih” Menolak Bahaya Lebih Utama daripada Mengambil Manfaat



دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَىٰ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak mudharat (bahaya) lebih didahulukan dari mengambil manfaat”
Penjelasan;
Kaidah fikih tersebut didasarkan pada beberapa dalil berikut,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالْدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ 
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nahl. 115)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ 
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Baqarah. 173).
Dalam hal situasi darurat, Islam memberikan kemudahan bagi umatnya. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan membebani hambaNya di luar batas kemampuannya.
Islam sebagai agama telah memberikan petunjuk kepada hambanya bahwa menolak mudharat atau bahaya adalah lebih didahulukan daripada mengambil manfaat. Sebagaimana yang telah digambarkan dalam sebuah ayat di mana menyembunyikan keimanan di hadapan musuh atau penguasa dzalim dengan alasan melindungi nyawa. Sikap seperti ini sangat dibenarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana yang tergambar dalam firmanNya,
مَن كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَـــٰــكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ 
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An Nahl Ayat 106)
Dalam ayat tersebut diperoleh penjelasan bahwa jika seseorang dalam keadaan dipaksa kafir sedang hatinya tetap dalam keadaan beriman, dengan kata lain hatinya tidak menginginkannya maka tidak ada dosa baginya. Sebab apa yang dilakukan tidak dalam kategori melampaui batas, karena alasannya hanyalah melindungi jiwa.
Sebab nilai nyawa dalam Islam begitu tinggi. Nyawa bahkan dalam ranah Ushul Fiqih masuk dalam kategori “al-Dharūriyāt al-Khamsah” (lima hal primer yang wajib dipelihara). Artinya, pada asalnya, nyawa manusia tidak boleh dihilangkan begitu saja tanpa ada alasan yang jelas. Tak peduli, nyawa orang muslim maupun kafir.Terkait masalah ini, ada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
مَن قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعاً وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعاً
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya . Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 32)
Dalam ayat ini dengan sangat jelas bahwa orang yang menghilangkan nyawa seseorang tanpa ada kesalahan yang jelas sesuai syariat maka seolah-olah seperti membunuh semua manusia.
Hal yang senada dengan digambarkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالْدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ 
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nahl. 115).
Juga ditunjukkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ 
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Baqarah. 173).
Penjelasan di atas sangat sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut,
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ 
“Apabila aku melarangmu dari sesuatu maka jauhi dia. Bila aku perintahkan kamu suatu perkara maka tunaikanlah semampumu.” (HR. Al-Bukhari, no. 7288)
Berdasarkan hadist tersebut dapat dipahami bahwa masalah larangan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan umat Islam untuk menjauhi dan meninggalkan larangan itu secara menyeluruh. Namun sejauh mana kita meninggalkannya adalah sejauh kita mampu. Hal ini juga menunjukkan bahwa menolak bahaya itu lebih diutamakan daripada mencari manfaat.
Jangan memaksakan diri melakukan perintah namun malah mendatangkan keburukan yang lebih besar. Sebagaimana seorang yang sedang sakit parah namun memaksakan berpuasa hanya karena ingin mendapatkan kebaikan dan pahala namun malah menyebabkan bahaya kematian.
Jangan membebani diri di luar batas kemampuan yang dimilikinya. Dan jangan terlalu mengorek-ngorek dan mempersoalkan ajaran Islam dengan banyak bertanya sesuatu secara mendetail yang akhirnya akan memberatkan dirinya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِى الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَىْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ »
“Sesungguhnya orang muslim yang paling besar dosanya bagi kaum muslimin adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang (sebelumnya) tidak diharamkan bagi kaum muslimin, lalu menjadi haram karena pertanyaan itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hanya mereka yang tidak memiliki pemahaman agama Islam yang dalam saja hidupnya semakin berat dan sempit sebab tidak mau mengambil kemudahan-kemudahan yang telah diberikan oleh Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit).” (Hadits Bukhari Nomor 38 dan Hadits Nasai Nomor 4948)
Islam itu mudah, bila memperberat dan mempersulit diri maka akan mudah kalah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira dan minta tolonglah dengan Al Ghadwah (berangkat di awal pagi) dan ar-ruhah (berangkat setelah zhuhur) dan sesuatu dari ad-duljah (berangkat di waktu malam) “. (Hadits Bukhari Nomor 38 dan Hadits Nasai Nomor 4948)
Lebih lanjut dijelaskan bahwa, kadar semampun juga ditunjukkan dalam upaya kita mencegah keburukan dan kemaksiatan di sekitar kita. Jika upaya mengubah kemungkaran seperti melawan gerombolan yang sedang pesta minuman keras tersebut justru akan menyebabkan kita berurusan dengan hukum, maka sebaiknya kita tidak melakukan hal itu.

Hukum Berenang Bagi Laki-Laki Dan Perempuan Di Pantai Maupun Di Kolam Renang


beberapa waktu yang lalu masyarakat diramaikan dengan isu berenang di kolam renang yang sama antara laki-laki dan perempuan yang dapat menyebabkan kehamilan. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana dalam ajaran Islam sendiri terkait mengatur hukum renang bersama laki-laki dan perempuan? Apakah diperbolehkan? Terima kasih atas jawabannya. Wassalamu 'alakum wr. wb. (Hamba Allah/Banyumas). Jawaban Assalamu ‘alaikum wr. wb. Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam melakukan renang atau olahraga air. Masyarakat Indonesia tanpa terkecuali melakukan aktivitas olahraga air di kolam renang umum. Pertanyaannya kemudian apakah laki-laki dan perempuan boleh beraktivitas olahraga air dalam satu tempat seperti dalam kolam renang umum? Problem yang diangkat ulama dalam kitab-kitab klasik terkait aktivitas perempuan di ruang publik adalah soal aurat dan campur baur perempuan dan laki-laki (ikhtilath) bukan mahram. Aktivitas perempuan di ruang publik di mana terdapat laki-laki di dalamnya termasuk renang dibolehkan selagi auratnya tertutup.

 خصوصا في هذا الزمان الذي كثر فيه اختلاط الاجانب من الرجال والنساء في مثل ذلك من غير مبالاة بكشف ما هو عورة كما هو معلوم مشاهد
Artinya, “Terlebih lagi di zaman ini di mana banyak campur baur (ikhtilath) laki-laki dan perempuan bukan mahram seperti ini tanpa peduli tersingkapnya aurat sebagaimana maklum disaksikan,” (Lihat As-Syarbini, Iqna dalam Hasyiyatul Bujairimi alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], juz IV, halaman 226). Pada prinsipnya, campur baur (ikhtilath) laki-laki dan perempuan diperbolehkan sejauh ada hajat tertentu dan disertai dengan menjaga kaidah-kaidah syariat seperti menjaga aurat, menjaga pandangan, dan aman dari fitnah. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami mengutip pandangan Imam An-Nawawi dari Mazhab As-Syafi’i. Menurutnya, campur baur laki-laki dan perempuan bukan mahram dibolehkan dengan manjaga kaidah syariat dan dilakukan di ruang terbuka ramai, bukan di tempat sepi.
 فقد نقل ابن المنذر وغيره الاجماع أن المرأة لا جمعة عليها وقوله ولانها تختلط بالرجال وذلك لا يجوز ليس كما قال فانها لا يلزم من حضورها الجمعة الاختلاط بل تكون وراءهم وقد نقل ابن المنذر وغيره الاجماع علي انها لو حضرت وصلت الجمعة جاز وقد ثبتت الاحاديث الصحيحة المستفيضة أن النساء كن يصلين خلف رسول الله صلي الله عليه وسلم في مسجده خلف الرجال ولان اختلاط النساء بالرجال إذا لم يكن خلوة ليس بحرام 
Artinya, “Ibnul Mundzir dan ulama lain menukil ijmak bahwa perempuan tidak berkewajiban menghadiri Jumatan. Perkataan ‘Pasalnya perempuan bercampur dengan laki-laki (pada Jumatan) dan yang demikian itu tidak boleh;’ tidak seperti apa yang dikatakan ‘kehadiran perempuan pada Jumatan tidak serta merta terjadinya campur baur, tetapi ada di belakang jamaah laki-laki.’ Ibnul Mundzir dan ulama lain menukil ijmak bahwa kalau perempuan mau hadir dan shalat Jumat, tentu hal itu dibolehkan. Hadits-hadits shahih yang tersebar luas telah tetap bahwa perempuan ikut shalat bersama Rasulullah SAW di masjid di belakang jamaah laki-laki karena campur baur (ikhtilath) laki-laki dan perempuan tidak diharamkan sejauh tidak khalwat (tempat sunyi),” (Lihat An-Nawawi, Al-Majmuk, [Jeddah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa tahun], juz IV, halaman 350). Sejauh ini menurut hemat kami aktivitas olahraga air di kolam renang umum dengan campur baur laki-laki dan perempuan bukan mahram (ikhtilath) masih dalam batas kewajaran karena keramaiannya. Hanya saja kami menyarankan, pengunjung kolam renang menjaga kaidah-kaidah syariat terkait aurat dan pandangan mata untuk menghindarkan fitnah. Demikian jawaban singkat ini. Semoga bisa dipahami dengan baik.
 Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Cek Ongkir/pengiriman

Jam

Tanggal

cek