Batalkah Sholat Seorang Perempuan yang Terlihat Sedikit Ramburnya?


Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam shalat adalah menutup aurat. Maka wajib bagi orang yang hendak shalat untuk menutup seluruh auratnya mulai awal melaksanakan shalat hingga selesai. Aurat laki-laki meliputi pusar hingga lutut. Sedangkan aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.

Perbedaan dalam penilaian menutup aurat antara laki-laki dan perempuan saat shalat adalah: jika orang yang melaksanakan shalat adalah laki-laki maka aurat harus tertutup dari empat penjuru, yaitu  tidak terlihat dari arah samping, arah depan, arah belakang dan arah atas. Sedangkan bagi perempuan, aurat harus tertutup  dari seluruh arah tersebut serta dari arah bawah. Sehingga jika paha laki-laki terlihat pada saat sujud, maka hal demikian tidak sampai membatalkan shalat, sebab paha adalah bagian yang terlihat dari arah bawah. Berbeda halnya jika hal demikian terjadi pada perempuan, maka shalatnya menjadi batal. 

Hal yang sering terjadi bagi kaum perempuan saat shalat adalah seringnya sedikit bagian dari rambut mereka terlihat pada saat shalat sedang berlangsung. Padahal seperti kita pahami bersama bahwa rambut perempuan merupakan salah satu aurat yang harus ditutup pada saat melaksanakan shalat. Lalu ketika rambut perempuan sedikit terlihat pada saat shalat berlangsung, apakah hal tersebut dapat membatalkan shalatnya?

Menurut mazhab Syafi’i, bagian aurat yang terlihat pada saat shalat, baik yang terlihat adalah sedikit ataupun banyak—termasuk sedikit rambut perempuan—adalah hal yang membatalkan shalat. Sehingga ia wajib untuk mengulang kembali shalatnya, sebab shalat yang ia lakukan pada saat terbuka auratnya dianggap shalat yang tidak sah. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitabHawasyi as-Syarwani:

قول المتن: (ما سوى الوجه والكفين) أي حتى شعر رأسها وباطن قدميها ويكفي ستره بالأرض في حال الوقوف فإن ظهر منه شئ عند سجودها أو ظهر عقبها عند ركوعها أو سجودها بطلت صلاتها

“Wajib menutup seluruh tubuh saat shalat bagi perempuan kecuali wajah dan dua telapak tangan. Maksudnya, juga mencakup rambut dari perempuan dan bagian dalam telapak kaki perempuan. Menutup telapak kaki dengan tanah dianggap cukup dalam keadaan berdiri. Jika tampak sedikit dari telapak kaki perempuan saat sujud, atau tumitnya terlihat saat ruku’ atau sujud, maka shalatnya menjadi batal.” (Syekh Abdul Hamid as-Syarwani, Hawasyi as-Syarwani, juz 2, hal. 112)

Berbeda halnya menurut mazhab selain Syafi’i, seperti halnya dalam mazhab Hanbali (mazhab Ahmad ibnu Hanbal) atau mazhab Hanafi, yang membedakan antara aurat yang terlihat sedikit atau banyak. Jika aurat yang terlihat hanya sedikit, maka shalatnya tidak batal. Namun jika aurat yang terlihat cukup banyak, maka shalatnya menjadi batal. Seperti yang  dijelaskan oleh Ibnu Qudamah:

ـ (فصل) فان انكشف من العورة يسير لم تبطل صلاته نص عليه أحمد وبه قال أبو حنيفة وقال الشافعي تبطل لانه حكم تعلق بالعورة فاستوى قليله وكثيره كالنظرة

“Pasal. Jika sedikit aurat terbuka saat shalat, maka shalatnya tidak batal. Hukum ini dijelaskan oleh Imam Ahmad, dan Imam Abu Hanifah juga berpendapat demikian. Sedangkan Imam Syafi’i berpandangan bahwa shalatnya menjadi batal, sebab permasalahan ini berhubungan dengan aurat, maka sedikit atau banyak menempati hukum yang sama, seperti halnya dalam permasalahan memandang aurat.” (Syekh Ibnu Qudamah,Al-Mughni, juz 2, hal. 280)

Aurat yang sedikit pada referensi di atas berlaku secara umum, sehingga juga berlaku pada bagian rambut bagi perempuan, maka ketika terlihat sedikit dari bagian rambut mereka, shalatnya tetap sah alias tidak wajib diulang dalam pandangan mazhab Hanbali dan Hanafi. Seperti yang ditegaskan oleh salah satu ulama terkemuka mazhab Hanbali, Syekh Taqiyuddin bin Taimiyah:

مسألة : سئل عن المرأة إذا ظهر شيء من شعرها في الصلاة هل تبطل صلاتها أم لا ؟ 
 أجاب : إذا انكشف شيء يسير من شعرها وبدنها لم يكن عليها الإعادة عند أكثر العلماء وهو مذهب أبي حنيفة وأحمد . وإن انكشف شيء كثير أعادت الصلاة في الوقت عند عامة العلماء الأئمة الأربعة وغيرهم والله أعلم

“Soal: Syekh Taqiyuddin ditanyai tentang perempuan yang tampak sedikit dari rambutnya saat shalat, apakah batal atau tidak?”

Beliau menjawab: “Jika sedikit dari rambut perempuan atau bagian tubuhnya terbuka saat shalat maka tidak perlu baginya untuk mengulang kembali shalatnya menurut mayoritas ulama yang meliputi mazhab Abu Hanifah dan Ahmad. Namun jika yang terbuka adalah bagian yang cukup banyak maka wajib mengulang shalat pada waktu shalat tersebut masih ada, menurut para ulama secara umum yaitu mazhab empat dan mazhab yang lain.Waalahu a’lam.” (Syekh Taqiyuddin bin Taimiyah, al-Fatawa al-Kubra, Juz 2, Hal. 56)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam menyikapi persoalan status shalat perempuan yang terlihat rambutnya, terjadi perbedaan antar-mazhab. Yaitu mazhab Syafi’i yang berpendapat batal dan mazhab ahmad serta mazhab Hanafi yang berpendapat tetap sah ketika rambut terlihat hanya sedikit.

Perbedaan tersebut sama-sama mu’tabar dan diakui secara fiqih. Namun dalam ranah pengamalan, sebaiknya kita mengikuti mazhab Syafi’i seperti yang biasa dianut oleh mayoritas masyarakat Muslim Indonesia. Sebab jika kita dalam permasalahan ini mengikuti pandangan mazhab Ahmad misalnya, yang berpandangan tidak batal, maka dalam persoalan shalat secara utuh kita juga wajib melaksanakannya berdasarkan pandangan  mazhab Ahmad, agar terhindar dari talfiq (pencampuran beberapa mazhab dalam satu qadiyyah) yang dilarang  oleh syara’.

Segala penjelasan di atas adalah dalam kasus terlihatnya rambut perempuan dari awal shalat dan dianggap oleh yang bersangkutan sebagai bukan hal yang bermasalah, seperti yang sering terjadi pada umumnya wanita awam. 

Berbeda halnya ketika perempuan yang melaksanakan shalat sudah menutup auratnya secara keseluruhan, namun ternyata di pertengahan shalatnya tiba-tiba auratnya terbuka (dalam hal ini sebagian rambutnya terlihat) karena faktor tertiup angin. Dalam keadaan demikian wajib baginya seketika itu juga menutup aurat yang terlihat tersebut agar shalatnya tidak dihukumi batal. Jika aurat yang terlihat tidak segera ia tutup, sekiranya melebihi waktu minimal thuma’ninah dalam shalat (dengan kadar waktu mengucapkan lafadz subhanallah) maka shalatnya menjadi batal. 

Jika penyebab terbukanya aurat bukan karena faktor tertiup angin, seperti karena terkena gesekan gerakan tubuhnya sendiri atau penyebab terbukanya aurat tersebut tanpa diketahui oleh dirinya atau sebab-sebab yang lain, maka dalam keadaan demikian terjadi perbedaan pendapat di antara ulama: sebagian berpendapat shalatnya langsung dihukumi batal, sedangkan ulama yang lain berpandangan bahwa hukumnya sama dengan permasalahan terbukanya aurat karena tertiup angin, sehingga harus segera ditutup auratnya dan shalatnya tetap sah. Namun pendapat yang kuat (mu’tamad) adalah pendapat yang mengatakan bahwa shalatnya wanita yang terbuka auratnya bukan karena faktor tertiup angin adalah langsung dihukumi batal, sehingga wajib baginya untuk mengulang kembali shalatnya (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib, juz 4, hal. 446). Wallahu a’lam

MENGENAL KELUARGA (AHLUL BAIT) DAN KETURUNAN (DZURRIYYAH) NABI MUHAMMAD SAW





*بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم*ِ


Rosululloh SAW. bersabda :

ﻓَﺎﻃِﻤَﺔُﺑِﻀْﻌَﺔٌﻣِﻨِّﻲْ ﻳُﺒْﻐِﻀُﻨِﻲْ ﻣَﺎﻳُﺒْﻐِﻀُﻬَﺎ , ﻭَﻳُﺒْﺴِﻈُﻨِﻲْ ﻣَﺎﻳُﺒْﺴِﻄُﻬَﺎ , ﻭًﺇِﻥَّ ﺍْﻻَﺳْﺒَﺎﺏَ ﻳَﻨْﻘَﻄِﻊُ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِِﻴَﺎﻣَﺔِﻏَﻴْﺮَﻧَﺴَﺒِﻲْ ﻭَﺳَﺒَﺒِﻲْ ﻭَﺻِﻬْﺮِﻱْ

“Fatimah adalah Bagian dariku. Siapa yang membuatnya Marah, akan membuatku Marah. Dan Siapa yang menyenangkan dan melegakannya, akan menyenangkan dan melegakanku. Sesungguhnyalah Semua Nasab akan Terputus pada Hari Kiamat Kecuali Nasab dan Sababku”.

(📚Kitab Musnad Imam Ahmad dan Kitab Mustadrak Imam Al Hakim)

Rosululloh SAW. bersabda :

ﻛُﻞُ ﺇِﺑْﻦِِ ﺃُﻧْﺜَﻰ ﻳَﻨْﺘَﻤُﻮْﻥَ ﺇِﻟَﻰ ﻋَﺼَﺒَﺘِﻬِﻢْ ﺇِﻻَّﻓَﺎﻃِﻤَﺔُ , ﻓَﺈِﻧِﻲْ ﺃَﻧَﺎﻭَﻟِﻴُﻬُﻢْ ﻭَﺃَﺑَﺎﻋَﺼَﺒْﺘُﻬُﻢْ ﻭَﺃﺑُﻮْﻫُﻢْ .

“Semua Anak yang dilahirkan oleh Ibunya, Bernasab kepada Ayah Mereka. Kecuali Anak-anak Fatimah. Akulah Wali Mereka. Akulah Nasab Mereka. Dan Akulah Ayah Mereka”.

(Hadits Riwayat Imam Ahmad, dalam Kitab Jami' Al Kabir Karya Imam As Suyuthi)

Rosululloh SAW. berkata kepada Ali bin Abi Tholib, Fatimah, dan Al-Hasan serta Al-Husein :

ﺃَﻧَﺎﺣَﺮْﺏٌ ﻟِﻤَﻨْﺤَﺎﺭَﺑْﺘُﻢْ ﻭَﺳِﻠْﻢٌ ﻟِﻤَﻦْ ﺳَﺎﻟَﻤْﺘُﻢْ .

“Aku memerangi Siapapun yang memerangi Kalian. Dan Aku akan menyelamatkan Siapapun yang menyelamatkan Kalian”.

(Hadits Riwayat Imam At Tirmidzi, Imam Ahmad, dan Imam Al Hakim)

📖Alloh berfirman :
“Sesungguhnya Alloh hendak menghilangkan Kotoran dari Kalian Wahai Ahlul-Bait. Dan mensucikan Kalian sesuci-sucinya”.
(QS. Al Ahzab : 33)

Ketika turun Ayat ini kepada Rosululloh SAW. di Rumah Ummu Salamah (Istri Beliau), Rosululloh SAW kemudian memanggil 👳Al-Hasan, 👳Al-Husein, dan ❤Fatimah.
Lalu Ketiganya diminta Duduk di depan Beliau.
Kemudian memanggil ❤Ali bin Abi Tholib, dan diminta Duduk di belakang Beliau.

Setelah itu Rosululloh SAW. menyelimuti Diri bersama Mereka dengan Kisa’ (Kain Selimut Besar dan Tebal) seraya bersabda :

ﺍَﻟﻠﻬُﻢَّ ﻫَﺆُﻵﺀِ ﺃَﻫْﻞُ ﺑَﻴْﺘِﻲ ﻓَﺎَﺫْﻫِﺐْ ﻋَﻨْﻬُﻢُ ﺍﻟﺮِّﺟْﺲَ ﻭَﻃَﻬِّﺮْﻫُﻢْ ﺗَﻄْﻬِﻴْﺮًﺍ .

“Ya Alloh.....Mereka adalah Ahlul-baitku.
Maka Hilangkanlah Kotoran Mereka, dan Sucikanlah Mereka sesuci-sucinya”.

(📚Kitab Shohih Muslim, Juz Ke-2)

Sahabat Nabi Zaid bin Arqom berkata :

Rosululloh SAW. mengucapkan Khutbah.
Setelah memanjatkan Puji Syukur ke Hadirat Alloh SWT, dan memberi Nasihat-nasihat serta Peringatan, Beliau lalu bersabda :

ﺃَﻣَّﺎﺑَﻌْﺪُ , ﺃَﻳُّﻬَﺎﺍﻟﻨَّﺎﺱُ , ﺃِﻧَّﻤَﺎﺃَﻧَﺎﺑَﺸَﺮٌﻳُﻮْﺷَﻚُ ﺃَﻥْ ﻳﺄْﺗِﻲَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺭَﺑِّﻲْ ﻓَﺄُﺟِﻴْﺒُﻪُ , ﺃَﻧَﺎﺗَﺎﺭِﻙٌ ﻓِﻜُﻢُ ﺍﻟْﺜَّﻘَﻠَﻴْﻦِ , ﺃَﻭَّﻟُﻬُﻤَﺎ : ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓِﻴْﻪِ ﺍﻟْﻬُﺪَﻯ ﻭَﺍﻟْﻨُّﻮْﺭُﻓَﺨُﺬُﻭْﺃﺑِﻜِﺘَﺎﺏِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﺳْﺘَﻤْﺴِﻜُﻮْﺍﺑِﻪِ . ﻭَﺍَﻫْﻞُ ﺑَﻴْﺘِﻲْ ﺃُﺫَﻛِّﺮُﻛُﻢُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓِﻲْ ﺃَﻫْﻞِ ﺑَﻴْﺘِﻲْ , ﺃُﺫَﻛِّﺮُﻛُﻢُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓِﻲْ ﺍَﻫْﻞِ ﺑَﻴْﺘِﻲْ , ﻗَﺎﻟَﻬَﺎﺛَﻼَﺛًﺎ .

“Sesungguhnya Aku adalah Manusia. Hampir tiba Ajal mendatangiku, dan Aku pun akan menerimanya. Aku tinggalkan pada Kalian 2 (dua) Bekal.

Yang Pertama ialah : 📖“Kitabullah“.
Di dalamnya terdapat Petunjuk dan Cahaya Terang. Ambillah Kitabullah itu, dan berpegang teguh padanya.

Dan Kedua : 👳“Ahlul-Baitku”.

Aku ingatkan Kalian kepada Alloh mengenai Ahlul-Baitku (Beliau mengulanginya 3x).
(📚Hadits Riwayat Imam Muslim)

Rosululloh SAW. bersabda :

ﺍﻟﻨُّﺤﻮْﻡُ ﺃَﻣَﺎﻥٌ ﻷَِﻫْﻞِ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ , ﻭَﺃَﻫْﻞُ ﺑَﻴْﺘِﻲْ ﺃَﻣَﺎﻥٌ ﻷُِﻣَّﺘِﻲْ -, ﻭَﻓِﻲْ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔٍ - ﺃَﻣَﺎﻥٌ ﻷَِﻫْﻞِ ﺍْﻷَﺭْﺽِِ , ﻓَﺈِﺫَﺍﻫَﻠَﻚَ ﺃَﻫْﻞُ ﺑَﻴْﺘِﻲْ ﺟَﺎﺀَﺃَﻫْﻞُ ﺍْﻷَﺭْﺽِ ﻣِﻦَ ﺍْﻷَﻳَﺎﺕِ ﻣَﺎﻛَﺎﻧُﻮْﺍﻳُﻮْﻋَﺪُﻭﻥْ .

“Bintang-bintang adalah Keselamatan bagi Penghuni Langit. Sedangkan Ahlul-Bait adalah Keselamatan bagi Penghuni Bumi. Manakala Ahlul-Baitku Lenyap (Binasa), maka yang dijanjikan dalam Ayat Al-Qur’an akan Tiba (Yaitu Bencana)”.

Diriwayatkan oleh :
✔ Imam Al Hakim
✔ Imam Bukhari
✔ Imam Muslim
✔ Imam Ahmad

Sahabat Nabi Abdullah Ibnu Abbas RA. mengatakan : Setelah Turun Ayat Al Qur'an :

ﻗُﻞْ ﻵَﺃَﺳْﺄَﻟُﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﺟْﺮًﺍﺇﻻَّﺍﻟْﻤَﻮَﺩَّﺓَﻓِﻰ ﺍﻟْﻘُﺮْﺑَﻰ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَّﻘْﺘَﺮِﻑْ ﺣَﺴَﻨَﺔًﻧَﺰِﺩْﻟَﻪ ‘ ﻓِﻴْﻬَﺎﺣُﺴْﻨًﺎﺇﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻏَﻔُﺮٌﺷَﻜُﻮْﺭٌ

“Katakanlah (Wahai Muhammad) :
Aku tidak meminta Upah Apapun juga atas Seruanku, kecuali Kasih Sayang dalam Kekeluargaan.  Barangsiapa berbuat Kebaikan, baginya Kami tambahkan pada Kebaikan itu.
Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun, lagi Maha Berterimakasih”.

(QS. Asy Syura : 23)

Para Sahabat Nabi bertanya :
Ya Rosululloh, Siapakah Kerabat Anda yang Wajib Kita berkasih sayang kepada Mereka?

Rosululloh SAW menjawab :

ﻋَﻠِﻲٌّ , ﻭَﻓَﺎﻃِﻤَّﺔُﻭَﺍﺑْﻨَﺎﻫُﻤَﺎ .

“❤Ali, ❤Fatimah, dan Kedua Orang Anak Mereka (👳Hasan dan 👳Husein)”.
Diriwayatkan oleh :
✔ Imam Ahmad
✔ Imam Ath Thabrani
✔ Imam Al Hakim

Rosululloh SAW. bersabda :
“Sesungguhnya bagi Alloh ada 3 “Hurumat”
(Perkara yang tidak boleh Dilanggar).
Barangsiapa menjaga 3 Perkara tersebut, Niscaya Alloh SWT akan menjaga Urusan Agama (Akhirat), dan Urusan Dunianya.

Barangsiapa tidak menjaga 3 Perkara tersebut, maka tidak ada apapun baginya untuk mendapat Perlindungan Alloh.

3 Hurumat itu adalah :

❤1. Hurumatul Islam
Yaitu Kewajiban terhadap Islam

❤2. Hurumatku
Yaitu Kewajiban terhadap Rosululloh SAW.

❤3. Hurumat Rahimku
Yaitu Kewajiban terhadap Ahlul-Bait Rosululloh SAW.

Diriwayatkan dalam :
-📚 Kitab Mu'jam Al Kabir, Karya Imam Ath Thabrani
-📚 Kitab Ashwa'iqul Muhriqah, Karya Imam Ibnu Hajar

🌻Keturunan Rosululloh SAW. dari Kedua Cucunya, yaitu 👳Hasan dan 👳Husein, hingga kini masih ada.

Sebagian Kecil PARA PEMBENCI KELUARGA Ahlulbait menafi'kan (menganggap tidak ada) Dzurriyah (Keturunan) Rosululloh SAW. ( GOLONGAN KHOWARIJ )

Sebagaimana juga Kelompok lain menafi'kan (menganggap tidak ada) tentang Keabsahan Sahabat Rosululloh Rodhiyallohu 'Anhum, yang berjumlah 60 Ribu Orang. ( GOLONGAN SYI'AH)

Maka Golongan itu mengatakan, bahwa Seluruh Sahabat Nabi itu Sesat, kecuali Beberapa Orang saja.

✔Cucu Nabi Hasan bin Ali tidak Wafat di Kejadian Karbala.

✔Hasan bin Ali Wafat diracun sebelum Kejadian Karbala.

✔Hasan bin Ali meninggalkan Anak 11 Putra dan 6 Putri. Keturunannya adalah dari 👳Hasan Mutsanna dan 👳Zaid Rodhiyalloohu 'Anhuma.

✔Husein bin Ali Wafat di Karbala.
Husein mempunyai Anak 6 Lelaki dan 3 Wanita, yaitu :
- 👳Ali Akbar,
- 👳Ali Awsath,
- 👳Ali Ashghar,
- 👳Abdullah,
- 👳Muhammad,
- 👳Ja'far,
- 💝Zainab,
- 💝Sakinah, dan
- 💝Fathimah.

Putera Husein bin Ali Keseluruhannya Wafat, terkecuali 👳Ali Al Awsath, yang dikenal dengan Nama Ali Zainal ‘Abidin.

👳Ali Zainal Abidin mempunyai Putra bernama Muhammad Al Baqir, yang mempunyai Putra bernama Ja'far Ash Shadiq.

👳Ja'far Ash Shadiq adalah Guru dari Imam Hanafi.
✔Kemudian Imam Hanafi bermuridkan Imam Maliki.
✔Lalu Imam Maliki bermuridkan Imam Syafi’i.
✔Dan Imam Syafi’i bermuridkan Imam Ahmad bin Hanbal.

👍Seluruh Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mengakui Keabsahan Keturunan Rosululloh SAW. dari Ali Zainal Abidin Putra Husein.

👳Ali Zainal Abidin dilahirkan pada Hari Kamis, 5 Sya’ban Tahun 38 Hijriyah, dimasa Hidup Kakeknya yaitu Sahabat Nabi Ali bin Abi Thalib.

📔Diriwayatkan oleh Syaikh Abu Hamzah Al Yamani, bahwa Ali Zainal Abidin mengamalkan Ibadah 1000 Raka’at Tahajjud setiap Malamnya.
🎓Demikian pula Imam Al Ghozali banyak mengaguminya.

Salah Satu Riwayat yang dikatakan oleh Seorang 🎓Ulama Thabi'in, yaitu Imam Thowus Rohimahulloh :

“Ketika Aku memasuki Hijir Isma’il (dekat Ka'bah) di tengah Malam yang Gelap, ternyata Ali Zainal Abidin Putra Husein sedang Sujud.
Alangkah lama Sujudnya, lalu Kepalanya terangkat, dan Kedua Tangannya Terangkat bermunajat dengan Suara Lirih :

“Hamba-Mu di Hadapan Pintu-Mu.
Si Miskin ini di Hadapan Pintu-Mu.
Si Fakir ini di Hadapan Pintu-Mu.”

👳Ali Zainal Abidin Wafat pada Tahun 93 Hijriyah, ada juga Pendapat Tahun 94 Hijriyah.
Dimakamkan di Kuburan Baqi’ (Madinah Al Munawwaroh).

Di Pusara yang Sama dengan Pamannya, yaitu 👳Hasan bin Ali.

👳Ali Zainal Abidin Rohimahulloh meninggalkan 15 Anak, yang sulung adalah 👳Muhammad Al Baqir.

(📚Kitab Al Ghuror, Karya 👳Imam Al Muhaddits Muhammad bin Ali Al Khird, Wafat Tahun 960 Hijriyah)

📚Kitab ini merupakan Salah Satu Kitab Induk yang menjelaskan Silsilah Keturunan Rosululloh SAW.

❤❤Sesungguhnya Cinta kepada Ahlul Bait merupakan SALAH SATU FONDASI DARI KEIMANAN SEORANG MUSLIM.💝💝

Sebagaimana telah dinyatakan dalam Banyak Periwayatan berdasarkan Nash Al-Qur`an dan Sunnah Nabi SAW.

Berikut ini Beberapa Ayat Al-Qur`an dan Sunnah Nabi SAW. tentang Kewajiban Umat Islam untuk menanamkan Kecintaan, dan mengokohkan Kasih Sayang kepada Ahlul Bait.

📖Alloh SWT. berfirman :

Katakanlah :
"Aku tidak Meminta Kepadamu suatu Upah pun atas Seruanku, kecuali Kasih Sayang dalam Kekeluargaan".
(QS. Asy Syura : 23)

Sahabat Nabi Abdullah bin Abbas berkata :
Ketika Turun Ayat ini, Para Sahabat Nabi bertanya kepada Rosululloh SAW :

Ya Rosululloh....Siapa Kerabatmu yang diwajibkan atas Kami untuk mencintainya ?

Rosululloh SAW. menjawab :
"Ali, Fathimah dan Kedua Anak Mereka".

(📚Kitab Ad-Dur al-Manshur 6/7, Karya Imam As Suyuthi)

Rosulloh SAW. bersabda :

ﻓﺎﻃﻤﺔ ﺑﻀﻌﺔ ﻣﻨﻲ , ﻳﺆﺫﻳﻨﻲ ﻣﺎ ﻳﺆﺫﻳﻬﺎ ﻭﻳﻐﻀﺒﻨﻲ ﻣﺎ ﻳﻐﻀﺒﻬﺎ

"Fathimah adalah Darah Dagingku. Apa yang mengganggunya, sama dengan mengganggu Diriku. Apa yang membuatnya Marah, sama dengan membuatku Marah".

Begitu pula dengan Kecintaan Rosululloh SAW. kepada Ali, Hasan dan Husein.
Hal ini merupakan Sunnah Rosululloh yang diperintahkan untuk diikuti oleh Umatnya.
📖Sebagaimana Ayat Al Quran :

 ﻭﺍﺗّﺒﻌﻮﻩ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﻬﺘﺪﻭﻥ

"Dan ikutilah Dia, supaya Kamu mendapat Petunjuk".
(QS. Al-A’raf : 158)

📖Dan Ayat Al Qur`an :

 ﻓﻠﻴﺤﺬﺭ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺨﺎﻟﻔﻮﻥ ﻋﻦ ﺃﻣﺮﻩ

"Maka berhati-hatilah bagi Orang-orang yang Menyalahi Perintah-Nya".
(QS. An Nur : 63)

🎓Imam Syafi'i dalam Syairnya menyatakan :

ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺭﻓﻀﺎ ﺣﺐ ﺁﻝ ﻣﺤﻤﺪ # ﻓﻠﻴﺸﻬﺪ ﺍﻟﺜﻘﻼﻥ ﺃﻧﻲ ﺭﺍﻓﻀﻲ

Jika Aku dituduh sebagai Syi'ah Rafidhah, karena Mencintai Keluarga Nabi Muhammad.
Maka Al-Qur`an dan Sunnah menjadi Saksi, Aku ini adalah Syi'ah Rafidhoh.

(📚Kitab Diwan Imam Syafi'i)

🎓Imam Syafi'i juga Bersyair :

ﻳﺎ ﺁﻝ ﺑﻴﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺣﺒﻜﻢ ﻓﺮﺽ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺃﻧﺰﻟﻪ

Wahai Ahlul Bait Rosululloh.
Mencintaimu adalah Suatu Kewajiban,
yang Allah turunkan dalam Al-Qur`an.
(📚Kitab Nur al-Abshor : 127)

👳Diriwayatkan oleh Imam Ali Zainal Abidin :

Ketika Kholifah Ali bin Abi Tholib Terbunuh, 👳Imam Hasan bin Ali berkhutbah di tengah Keramaian Manusia.

Beliau mengucapkan Pujian kepada Alloh kemudian berkata :

Saya adalah Ahlul Bait yang Alloh SWT. Wajibkan kepada Setiap Muslim untuk Mencintai Mereka.

📖Alloh SWT. berfirman :
Katakanlah :
“Aku tidak meminta Kepadamu suatu Upah pun atas Seruanku, kecuali Kasih Sayang dalam Kekeluargaan. Siapa yang mengerjakan Kebaikan, akan Kami Tambahkan baginya Kebaikan pada Kebaikannya itu."
(QS. Asy Syura : 23)

👳Hasan bin Ali berkata :
Salah satu Kebaikan tersebut adalah Mencintai Kami Ahlul Bait.
(📚Kitab Ash-Showaiq al-Muhriqah : 170)

📖Allah SWT. berfirman :
"Sesungguhnya Orang-orang yang Beriman dan Beramal Sholeh, Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam Hati Mereka Rasa Kasih Sayang".
(QS. Maryam : 96)

Rosululloh SAW. berkata kepada Ali bin Abi Tholib :  Wahai Ali, katakanlah :

" Ya Alloh, Kabulkanlah Permintaanku agar di setiap Hati Kaum Muslimin terdapat Rasa Kasih Sayang,.………
Ya Alloh, jadikanlah Hal ini bagiku suatu Ikatan di Sisi-Mu.…
Ya Alloh, jadikanlah bagiku Rasa Kasih Sayang di Sisi-Mu."

Maka turunlah Ayat ini (Al-Qur`an Surat Maryam Ayat 96).

Dan tidak akan bertemu Seorang Mu’min dan Mu’minat, kecuali di dalam Hatinya terdapat Rasa Kasih Sayang terhadap Ahlul Bait.
(📚Kitab Syawahid at-Tanzil 1 : 464, Karya Al-Hafizh al-Hakim al-Hiskani)

📖Alloh SWT. berfirman :

ﻣﻦ ﺟﺎﺀ ﺑﺎﻟﺤﺴﻨﺔ ﻓﻠﻪ ﺧﻴﺮ ﻣﻨﻬﺎ

"Barangsiapa yang datang dengan membawa Kebaikan, maka baginya Pahala yang lebih Baik daripada Kebaikannya itu".
(QS. Al-Qashas : 84)

👳Imam Muhammad al-Baqir berkata :
Abu Abdillah al-Jadali mendatangi Kholifah Ali bin Abi Tholib, dan berkata kepadanya :
Wahai Abu Abdillah, maukah Engkau Aku Kabari akan Firman Allah yang berbunyi :

 ﻣﻦ ﺟﺎﺀ ﺑﺎﻟﺤﺴﻨﺔ ﻓﻠﻪ ﺧﻴﺮ ﻣﻨﻬﺎ

(QS. Al Qashash : 84)

Berkata Abu Abdillah : Ya, Silakan.
👳Berkata Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib :
"Kebaikan adalah Mencintai Kami Ahlul Bait, dan Kejahatan adalah Membenci Kami Ahlul Bait."

Kemudian Kholifah Ali bin Abi Tholib membaca kembali Ayat tersebut.
(📚Kitab Kasyaf al-Ghummah 1/321, Karya As-Sayyid Muhammad bin Alawy al-Maliki al-Hasani)

📖Alloh SWT. berfirman :
"Orang-orang yang Beriman, dan Hati Mereka menjadi Tenteram dengan mengingat Alloh.
Ingatlah, hanya dengan mengingat Alloh-lah Hati menjadi Tenteram.
(QS. Ar-Ra'd : 28)

Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib berkata :
Sesungguhnya Rosululloh SAW. ketika turun Ayat ini berkata :

"Ayat ini diturunkan bagi Siapa saja yang Mencintai Alloh, Rosul-Nya, dan Ahlul Baitku dengan Benar dan Jujur tanpa ada Kebohongan.

Serta mencintai Orang-orang Mu’min dalam Keadaan Hadir dan tidak Hadir.
Maka dengan Dzikir kepada Alloh, Kecintaan itu Timbul".

Diriwayatkan dalam :
-📚 Kitab Ad-Dur al-Mansur 4/58, Karya Imam As Suyuthi - Kitab Kanzu al-Ummal 1/250, Karya Imam Alauddin Al Muttaqi Al Hindi

*۞اَللّٰهُـــــمَّ صَلِّ عَلَی سَيِّـــــدِنَا مُحَمَّـــــدٍ وَعَلَی آلِ سَيِّـــــدِنَا مُحَمَّـــــدٍ۞*


Memahami Amar Ma’ruf Nahi Munkar secara Benar



Memahami Amar Ma’ruf Nahi Munkar secara Benar

Pada hakikatnya amar ma’ruf nahi munkar merupakan bagian dari upaya menegakkan agama dan kemaslahatan di tengah-tengah umat. Secara spesifik amar ma’ruf nahi munkar lebih dititiktekankan dalam mengantisipasi maupun menghilangkan kemunkaran, dengan tujuan utamanya menjauhkan setiap hal negatif di tengah masyarakat tanpa menimbulkan dampak negatif yang lebih besar.

Menerapkan amar ma’ruf mungkin mudah dalam batas tertentu tetapi akan sangat sulit apabila sudah terkait dengan konteks bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar harus mengerti betul terhadap perkara yang akan ia tindak, agar tidak salah dan keliru dalam bertindak.

Syekh an-Nawawi Banten di dalam kitab beliau, Tafsir Munir berkata, “Amar ma’ruf nahi munkar termasuk fardlu kifayah. Amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh dilakukan kecuali oleh orang yang tahu betul keadaan dan siasat bermasyarakat agar ia tidak tambah menjerumuskan orang yang diperintah atau orang yang dilarang dalam perbuatan dosa yang lebih parah. Karena sesungguhnya orang yang bodoh terkadang malah mengajak kepada perkara yang batil, memerintahkan perkara yang munkar, melarang perkara yang ma’ruf, terkadang bersikap keras di tempat yang seharusnya bersikap halus dan bersikap halus di dalam tempat yang seharusnya bersikap keras.” (Syekh an-Nawawi al-Jawi, Tafsir Munir, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005, cetakan ketiga,  jilid II, halaman 59)

Terlebih dalam persoalan yang berpotensi menimbulkan problematika sosial keamanan yang lebih besar. Dalam kemungkaran seperti ini kewenangan amar ma’ruf nahi mungkar tidak diserahkan pada perseorangan ataupun kelompok, akan tetapi hanya diserahkan kepada pemerintah. Dan pemerintah harus menerapkan kebijakan atas dasar prinsip maslahat dengan tetap dilandasi nilai-nilai agama yang benar.

Tahapan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Selain itu, beberapa tahapan atau prosedur harus dilakukan dalam realisasi pelaksanaan amar ma’ruf. Tidak semudah kita menaiki tangga, akan tetapi harus melalui tahapan yang paling ringan, baru kemudian melangkah pada hal yang agak berat. 

Baginda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallambersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِّهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

“Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia menghilangkannya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Orang yang tidak mampu _dengan lisannya_, maka dengan hatinya. Dan dengan hati ini adalah lemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Maksud dari hadits ini bukanlah seperti yang banyak disalahpahami oleh orang-orang yang beranggapan bahwa kalau mampu menghilangkan dengan tangan maka harus langsung dengan tangan. Anggapan seperti ini salah besar dan bertentangan dengan nilai rahmat (belas kasih) di dalam Islam. Akan tetapi pemahaman yang benar dari hadits di atas adalah, seseorang yang melihat kemunkaran dan ia mampu menghilangkan dengan tangan, maka ia tidak boleh berhenti dengan lisan jika kemungkaran tidak berhenti dengan lisan, dan orang yang mampu dengan lisan, maka ia tidak boleh berhenti hanya dengan hati. 

Imam Muhyiddin an-Nawawi berkata di dalam kitabRaudlatut Thâlibîn

ولا يكفي الوعظ لمن أمكنه إزالته باليد، ولا تكفي كراهة القلب لمن قدر على النهي باللسان

“Tidak cukup memberi nasihat bagi orang yang mampu menghilangkan kemunkaran dengan tangan. Dan tidak cukup ingkar di dalam hati bagi orang yang mampu mencegah kemunkaran dengan lisan.” (Muhyiddin Abu Zakariya an-Nawawi, Raudlatut Thâlibîn, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005, cetakan kelima, jilid V, halamann 123). 

Dalam proses amar ma’ruf nahi munkar, tetap harus mendahulukan tindakan yang paling ringan sebelum bertindak yang lebih berat. Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani berkata di dalam kitabnya, Hasyiyah asy-Syarwani:

والواجب على الآمر والناهي أن يأمر وينهى بالأخف ثم الأخف. فإذا حصل التغيير بالكلام اللين فليس له التكلم بالكلام الخشن وهكذا كما قاله العلماء

“Wajib bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar untuk bertindak yang paling ringan dulu kemudian yang agak berat. Sehingga, ketika kemungkaran sudah bisa hilang dengan ucapan yang halus, maka tidak boleh dengan ucapan yang kasar. Dan begitu seterusnya).” (Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani, Hasyiyah asy-Syarwani ala Tuhfahtil Muhtaj, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003 cetakan keempat, jilid 7, halaman 217)

Dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar, seseorang harus lebih arif dan bijak karena terkadang dalam menghasilkan tujuan amar ma’ruf nahi mungkar, seseorang harus menghilangkannya sedikit demi sedikit, tidak memaksakan harus hilang seluruhnya dalam waktu seketika itu. Sayyid Abdullah ibn Husain ibn Tohir berkata:

ينبغي لمن أمر بمعروف أو نهى عن منكر أن يكون برفق وشفقة على الخلق يأخذهم بالتدريج فإذا رآهم تاركين لأشياء من الواجبات فليأمرهم بالأهم ثم الأهم فإذا فعلوا ما أمرهم به انتقل إلى غيره وأمرهم وخوفهم برفق وشفقة مع عدم النظر منه لمدحهم وذمهم وعطاءهم ومنعهم وإلا وقعت المداهنة وكذا إذا ارتكبوا منهيات كثيرة ولم ينتهوا بنهيه عنها كلها فليكلمهم في بعضها حتى ينتهوا ثم يتكلم في بعضها حتى ينتهوا ثم يتكلم في غيرها وهكذا.

“Bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar harus bersikap lembut dan belas kasih kepada manusia, ia harus bertindak pada mereka dengan bertahap. Ketika ia melihat mereka meninggalkan beberapa kewajiban, maka hendaknya ia memerintahkan pada mereka dengan perkara wajib yang paling penting kemudian perkara yang agak penting. Kemudian ketika mereka telah melaksanakan apa yang ia perintahkan, maka ia berpindah pada perkara wajib lainnya. Hendaknya ia memerintahkan pada mereka dan menakut-nakuti mereka dengan lembut dan belas kasih... begitu juga ketika mereka melakukan larangan-larangan agama yang banyak dan mereka tidak bisa meninggalkan semuanya, maka hendaknya ia berbicara kepada mereka di dalam sebagiannya saja hingga mereka menghentikannya kemudian baru berbicara sebagian yang lain, begitu seterusnya.” (al-Habib Zain bin Sumith, al-Minhaj as-Sawi, Jeddah, Dar al-Minhaj, 2006 cetakan ketiga, halaman 316-317) 

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa:

  • Amar ma’ruf nahi munkar hukumnya fardlu kifayah.
  • Pada kemunkaran tingkat tertentu, hak amar ma’ruf hanya bisa dimiliki pemerintah bukan perseorangan atau kelompok.
  • Dilakukan semampunya tanpa memaksakan di atas kemampuan.
  • Pelaksanaannya harus bertahap dari hal yang paling ringan kemudian hal yang agak berat, dan seterusnya.
  • Tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar bagi diri maupun orang lain.
Ketika kita lihat amar ma’ruf yang ada di Indonesia, mayoritas persyaratan tidak bisa terpenuhi dengan baik. Karena terkadang pelaksanaan yang seharusnya menjadi tugas pemerintah, secara sewenang-wenang dilakukan oleh oknum individu maupun kelompok. Belum cukup sampai di situ, cara, sasaran maupun media yang digunakan tidak mencerminkan amar ma’ruf yang beretika Islam. Dengan realita seperti ini, amar ma’ruf tidak akan menjadi kemashlahatan, namun justru menimbulkan dampak negatif yang lebih besar dan menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat.

Wallahu a’lam.

Suami Memperkosa Istri Dalam Pandangan Islam


Hukum asal hubungan antara dua insan adalah tidak boleh saling menyakiti atau melukai. Setiap ada unsur perbuatan yang menyebabkan luka terhadap orang lain, maka tindakan itu sudah termasuk kategori tindakan melanggar (i'tidâ) dan melampaui batas (israf). Dan hampir pasti bahwa setiap tindakan yang melampaui batas dan pelanggaran, selalu berbuah menerjang hak orang lain, dan dicela. 

Contoh yang paling mudah adalah bekerja. Selagi bekerja masih masuk dalam kerangka mencari nafkah, maka pekerjaan tersebut masuk unsur dibenarkan oleh syariat. Namun, bila bekerja itu masuk dalam rangka bermegah-megahan (takâtsur), maka pekerjaan yang dilakukannya sudah masuk kategori yang dicela oleh syariat. Tidak hanya berhenti sampai di sini, kadang syariat juga menetapkan atas sanksinya.

Ada hak dari buah pekerjaan, dan ada kewajiban dan anjuran yang timbul dari perolehan hasil bekerja, seperti sedekah, zakat, infaq, dengan orientasi membangun rumah akhirat. Itulah sebabnya Allah subhanahu wata’alaberfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada ahlinya.” (QS an-Nisa: 58)

إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS al-A’raf: 31)

Dalam kehidupan sehari-hari, relasi dua orang insan atau lebih hakikatnya adalah mewujudkan kehidupan yang damai. Dalam rumah tangga, relasi antara dua orang suami-istri adalah dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sakinah (damai), mawaddah (penuh rasa cinta) danrahmah (kasih sayang). 

Bila dari kedua relasi ini ternyata kemudian timbul ada yang merasa tersakiti, maka dilihat dari unsur penderitanya, rasa sakit itu terjadi karena beberapa faktor. Faktor utamanya mungkin adalah karena adanya pelanggaran hak atas salah satu pihak. Mungkin karena ada yang harus ridha dengan rasa sakit, mungkin harus sama-sama ridha, namun ada kalanya juga yang tanpa keridhaan. Sekilas jika dipetakan akan tampak sebagaimana uraian berikut:
 
1. Sakit yang diridhai oleh si sakit. Misalnya: cubitan suami terhadap pipi istrinya. Sakit, tapi si istri ridha. Akibat yang lahir dari “menyakiti” seperti ini justru timbulnya hubb (rasa cinta), bahkan bisa berefek peluang menambah keturunan.

2. Sakit yang setengah diridhai tapi dengan tebusan. Misalnya adalah sakit disebabkan karena bedahnya selaput dara sang istri. Apakah tidak sakit? Jelas sakit. Karena ada darah yang keluar. Tapi istri ridha. Buktinya ridha adalah diterimanya shidaq/mahar. Padahal bedahnya dara keperawanan (ifdla') memungkinkan akibat beberapa sebab. 

Pertama, mungkin hal itu disebabkan oleh persenggamaan (jima') yang halal. Kedua, mungkin sebab jari atau benda lain. Padahal dari kedua hal di atas, pelakunya adalah sama-sama suami itu sendiri. 

Berangkat dari sebab ifdla' dengan jalan yang kedua, terjadi ikhtilaf di kalangan ulama. Sebagian ulama menyebutkan bahwa bagi suami wajib mengeluarkan arsyul bikârah(tebusan keperawanan). Illat yang dipergunakan oleh ulama ini adalah karena: 

a. Bedahnya dara keperawanan tidak menggunakan organ sebagaimana seharusnya hal tersebut dilakukan. 

b. Ridhanya istri merasakan sakit akibat bedahnya keperawanan adalah dengan jalan persenggamaan untuk tujuan li al-istimta' (mencari kenikmatan dengan jalan persenggamaan), sebagaimana hal ini merupakan asal daripada disyariatkannya mahar. 

Sebagian lagi ulama menyatakan bahwa ifdla' yang dilakukan dengan cara apa pun juga, asalkan itu dilakukan oleh suami sendiri, maka suami tidak perlu mengeluarkanarsyu al-bikârah. Illat yang dipergunakan adalah sebagai berikut: 

a. Tujuan utama menikah adalah halalnya hubungan persenggamaan dan istimta' dengan sang belahan hati yang diikat oleh lafadh/akad ijab dan qabul.

b. Mahar merupakan bagian yang sunnah dibayarkan sehingga tidak berpengaruh terhadap status ridha atau tidak ridhanya istri.

c. Keridhaan istri untuk merasakan sakit akibat bedahnya perawan adalah ditandai oleh kemauannya dalam berkhalwah dengan suaminya.

Dari kedua pendapat ulama yang ikhtilaf ini, dalam timbangan penulis, pada hakikatnya sama-sama menghendaki ketiadaan keterpaksaan sang istri. Hanya saja, kedua pendapat di atas dibedakan oleh batasan keridhaan. Pendapat yang pertama dibatasi oleh shidaq/mahar. Sementara pendapat kedua dibatasi oleh tempat khalwah.

3. Sakit yang tidak diridhai. Sakit yang tidak diridhai umumnya lahir karena adanya unsur ikrah/pemaksaan. Misalnya tindakan yang disertai dengan penganiayaan atau ancaman sehingga melahirkan efek traumatik. Ada banyak contoh yang bisa menggambarkan hal ini. Sudah pasti sanksi untuk kasus ini sifatnya berjenjang dan tidak bisa disamaratakan. Illat penjelasnya adalah ikrah.

Sanksi dalam syariat terkait masalah yang ketiga ini bisa dikelompokkan dalam beberapa macam, yaitu:
 
a. Hukuman mati

Hukuman mati tetap berlaku meskipun yang melakukan adalah suami sendiri, akan tetapi dapat dibuktikan karena tindakannya sampai menghilangkan nyawa korban yang masih istri sendiri. Misalnya kasus suami yang maniac sex abusement (kelainan seksual). Meskipun tindakannya ada di kamar sendiri, namun dapat menghilangkan nyawa sang istri akibat penyimpangan yang ia lakukan. Tidak syak wasangka lagi, bahwa tindakan tersebut masuk unsur kekerasan (harrasment).

b. Hukuman penjara dan qishash. Hukuman ini umumnya bisa dilakukan terhadap suami akibat kekerasan yang ia lakukan karena telah membenturkan istri, mendorongnya sehingga mengalami luka

c. Hukuman dengan kapasitas sebagai arsyun(kompensasi) diakibatkan hilangnya beberapa fungsi panca indera atau rusaknya organ persenggamaan sehingga menghilangkan nikmatnya berjima'. Sebenarnya contoh kasus ini bisa naik menjadi pasal penganiayaan bila sampai timbul luka dan traumatik.

d. Hukuman dengan kapasitas sebagai ta'zir. Hukuman ini misalnya bisa diterapkan pada pelaku sodomi atau pemerkosaan oleh suami terhadap istri. Contoh tindakan pemerkosaan ini misalnya adalah: suami istri tengah dalam kasus sengketa rumah tangga dan diujung perceraian atau bahkan mungkin sudah berlangsung sidang di pengadilan, namun belum diputus oleh hakim. Sudah terjadi pisah ranjang selama beberapa waktu antara keduanya. Dan tiba-tiba suami mendatangi istri yang tengah berseteru kemudian memaksanya melakukan persenggamaan dengan harapan bila dia hamil, maka perceraian menjadi urung terjadi. 

Lantas apa hikmah di balik hukum ini semua?

Sebenarnya banyak sekali hikmah yang bisa diambil. Inti dari maqashid syariat adalah tercapainya kemaslahatan bagi semua pihak dengan tidak menghilangkan hak masing-masing individu di hadapan hukum syariat. 

إن الله فرض فرائض فلا تضيعوها وحد حدودا فلا تعتدوها وحرم أشياء فلا تنتهكوها وسكت عن أشياء رحمة لكم غير نسيان فلا تبحثوا عنها حديث حسن رواه الدارقطني وغيره

Artinya: "Allah subhanahu wata’ala sesungguhnya telah menetapkan bagian-bagian, maka jangan kalian sia-siakan. Dia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan kalian melanggarnya. Dia juga telah mengharamkan beberapa perkara maka jangan kalian menerjangnya. Dia pula telah mendiamkan beberapa perkara lain sebagai bentuk kasih sayang bagi kalian yang tiada pernah lupa maka jangan membahas-bahasnya. Hadits Hasan Riwayat al Dâraquthni dan yang lainnya." (Ibnu Rajab al Hanbali, Jâmi'u al Ulum wa al-Hukm, Kairo: Muassasah al-Risâlah, 2001: 150).

Segala sesuatu ada batasannya. Dari kesekian batasan itu, syariat menetapkan agar jangan melanggarnya. Makan adalah boleh. Namun batasan kebolehan makan perkara halal adalah tidak boleh melampaui israf (berlebih-lebihan). Ini hanya qiyas yang bersifat iluatratif semata. 

Jadi, intinya bahwa tidak setiap sesuatu yang dipandang halal sifatnya menjadi boleh secara mutlak, melainkan ada ketetapan yang tidak boleh dilanggar. Demikian pula dalam kasus rumah tangga. Semua ada batasan syara' yang tidak boleh dilanggar oleh semua pihak. 

Walhasil, ada perbedaan besar antara makna ikrah (pemaksaan) sebagai dasar kekerasan yang merupakan fondasi kejahatan atau kriminal (jinâyah) dengan makna ketundukan atau ketaatan. Ada banyak catatan yang harus diperhatikan di dalamnya. Dan catatan ini biasanya adalah "pemaksaan suami terhadap istrinya dalam berhubungan seksual adalah termasuk ikrah bila disertai ancaman atau berefek traumatik. Wallahu a'lam bi al-shawab

Hukum Kencing Berdiri Menurut Islam


Salah satu adab dalam buang hajat adalah melakukannya dengan cara duduk, baik ketika membuang air kecil ataupun air besar. Buang hajat dengan cara berdiri adalah pekerti yang tidak baik dan tidak dibenarkan oleh syariat. Dalam hal ini Sayyidah ‘Aisyah menjelaskan:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوْهُ مَا كَانَ يَبُوْلُ إِلَّا جَالِسًا

“Diriwayatkan dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha beliau berkata, ‘Barangsiapa yang berkata bahwa Rasulullah kencing dengan berdiri, maka jangan kalian benarkan. Rasulullah tidak pernah kencing kecuali dengan duduk’.” (HR. An-Nasa’i)

Dalam hadits yang lain, Rasulullah secara tegas melarang kencing dengan cara berdiri. Larangan tersebut seperti yang tercantum dalam hadits riwayat Sahabat Jabir bin Abdillah:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يَبُولَ الرَّجُلُ قَائِمًا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing dengan berdiri,” (HR Baihaqi).

Lantas apakah larangan dalam hadits di atas mengarah pada hukum haramnya kencing dengan cara berdiri? Atau hanya sebatas dimakruhkan?

Para ulama menghukumi kencing dengan cara berdiri sebagai perbuatan yang makruh selama tidak ada uzur (kendala). Sehingga pelakunya tidak sampai terkena dosa, meski perbuatan itu sebaiknya tetap dihindari. Hukum makruh ini akan hilang tatkala seseorang memiliki uzur, seperti terdapat penyakit atau luka yang menyebabkan dirinya terasa berat (masyaqqah) ketika kencing dilakukan dengan duduk. Perincian hukum demikian, seperti yang dijelaskan oleh Syekh Sulaiman al-Bujairami:

ويكره أن يبول قائما من غير عذر لما روي عن عمر رضي الله عنه أنه قال : ما بلت قائما منذ أسلمت ، ولا يكره ذلك للعذر لما روى {النبي صلى الله عليه وسلم أتى سباطة قوم فبال قائما لعذر} ـ

“Makruh kencing dengan berdiri tanpa adanya uzur, hal ini berdasarkan perkataan Sahabat Umar radliyallahu ‘anhu: ‘Aku tidak pernah kencing dengan berdiri sejak aku masuk Islam’. Namun kencing dengan berdiri tidak dimakruhkan tatkala terdapat uzur, berdasarkan hadits ‘Nabi Muhammad mendatangi tempat pembuangan kotoran (milik) sekelompok kaum, lalu kencing dengan berdiri karena adanya uzur,” (Syekh Sulaiman al-Bujairami,Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib, juz 2, hal. 158).

Hadits yang menjadi pijakan tidak makruhnya kencing dengan cara berdiri dalam referensi di atas, seolah-olah kontradiktif dengan hadits ‘Aisyah yang disebutkan di awal, yang tidak membenarkan bahwa Rasulullah pernah kencing dengan berdiri. 

Dalam menyikapi hal ini, tidak ada penjelasan yang lebih tegas dari apa yang disampaikan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam karya monumentalnya, Fath al-Bari:

والصواب أنه غير منسوخ والجواب عن حديث عائشة أنه مستند إلى علمها فيحمل على ما وقع منه في البيوت وأما في غير البيوت فلم تطلع هي عليه

“Hal yang benar bahwa kedua hadits yang kontradiktif di atas tidaklah di-naskh (tidak diberlakukan salah satunya). Dalam menjawab hadits ‘Aisyah, bahwa beliau melandaskan perkataannya berdasarkan pengetahuan beliau semata (tentang cara kencing Rasulullah SAW). Maka hadits ‘Aisyah diarahkan atas apa yang terjadi di rumah, adapun di selain rumah, Sayyidah ‘Aisyah tidak mengetahui secara pasti,” (Ibnu Hajar al-Haitami, Fath al-Bari, juz 1, hal. 330).

Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum kencing dengan cara berdiri adalah perbuatan yang dimakruhkan, selama hal tersebut tidak dilakukan karena terdapat uzur yang menyebabkan seseorang merasa kesulitan (masyaqqah) ketika kencing dilakukan dengan cara berdiri. 

Berdasarkan kesimpulan ini, maka sebaiknya sebisa mungkin bagi kita untuk menghindari kencing dengan cara berdiri selain karena uzur, meskipun realitas saat ini banyak sekali ditemukan tempat kencing yang menuntut seseorang melakukan kencing dengan cara berdiri. Tersedianya urinoir di berbagai tempat fasilitas umum dan sudah menjadi mode bagi toilet-toilet kekinian adalah di antara contohnya. Jika masih memungkinkan mencari toilet lain untuk kencing dengan cara duduk itu lebih baik. Bila tidak memungkinkan maka kondisi tersebut masuk kategori uzur. Betapapun, kita dianjurkan untuk senantiasa menetapi syariat yang terbaik dan tetap selektif termasuk dalam menyikapi berbagai tren masa kini. Wallahu a’lam. 

Perbedaan Ibadah Mahdoh Dan Goiru Mahdoh


Jenis ibadah sejatinya terbagi menjadi berbagai macam pembagian yang variatif, tergantung dari aspek apa kita menilainya. Ada sebagian pandangan yang mengelompokkan ibadah berdasarkan bentuknya dalam dua kategori, yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.

Arti kata mahdhah sendiri adalah murni atau tak bercampur. Sedangkan ghairu mahdhah berarti tidak murni atau bercampur hal lain. Lantas sebenarnya apakah perbedaan di antara keduanya dalam tinjauan fiqih? Sudah benarkah pembagian ibadah dalam dua kategori tersebut?

Dalam literatur kitab salaf, khususnya dalam madzhab syafi’i, pembagian ibadah dari aspek bolehnya diwakilkan pada orang lain atau tidak, terbagi menjadi tiga macam. Pertama, ibadah badaniyah mahdhah, maksudnya adalah ibadah yang murni berupa gerakan fisik, tanpa dicampuri dengan komponen lainnya, seperti shalat dan puasa. Maka jenis ibadah demikian, tidak boleh untuk diwakilkan pada orang lain kecuali dalam satu permasalahan, yakni shalat sunnah thawaf, yang boleh diwakilkan pada orang lain, atas jalan mengikut (tab’an) pada ibadah haji, yang boleh diwakilkan.

Kedua, ibadah maliyah mahdhah. Maksudnya adalah Ibadah yang murni hanya menyangkut urusan harta, seperti sedekah dan zakat. Dalam ibadah jenis ini, para ulama menghukumi boleh mewakilkan pada orang lain dalam pelaksanaannya.

Ketiga, ibadah maliyah ghairu mahdhah, maksudnya adalah Ibadah-ibadah yang terdapat kaitannya dengan harta, namun juga terkandung gerakan-gerakan fisik (badaniyah) di dalamnya.

Contoh ibadah jenis ketiga ini seperti haji dan umrah, yang dalam pelaksanaannya membutuhkan biaya dan terdapat ketentuan-ketentuan khusus yang melibatkan gerakan fisik dalam melakukannya.

Ibadah jenis ketiga ini boleh untuk diwakilkan, namun dengan syarat-syarat tertentu yang dijelaskan dalam literatur fiqih, seperti tidak mampu melaksanakan haji karena lumpuh, orang yang diwakili sudah pernah melakukan haji dan syarat-syarat lainnya. Maka ibadah jenis ketiga ini tidak seluas dan sebebas ibadah jenis kedua dalam hal bolehnya mewakilkan pada orang lain.

Pembagian ibadah dalam tiga kelompok ini, tercantum dalam Kitab Hasyiyah ‘Ianatut Thalibin berikut:

والحاصل أن العبادة على ثلاثة أقسام إما أن تكون بدنية محضة فيمتنع التوكيل فيها إلا ركعتي الطواف تبعا وإما أن تكون مالية محضة فيجوز التوكيل فيها مطلقا وإما أن تكون مالية غير محضة كنسك فيجوز التوكيل فيها بالشرط المار

Artinya, “Simpulannya, ibadah terbagi atas tiga macam, ada kalanya berupa ibadah badaniyah mahdhah, maka jenis ibadah demikian tidak bisa diwakilkan pada orang lain, kecuali shalat sunnah tawaf dengan cara mewakilkan pula pelaksanaan tawaf. Ada kalanya ibadah maliyah mahdhah, ibadah jenis ini boleh untuk diwakilkan pada orang lain secara mutlak. Ada kalanya ibadah maliyah ghairu mahdhah, seperti ibadah haji, maka ibadah jenis ini boleh untuk diwakilkan pada orang lain dengan syarat-syarat yang telah dijelaskan,” (Lihat Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha, Hasyiyah ‘Ianatut Thalibin, juz III, halaman 87).

Meski begitu, sebenarnya pembagian ibadah dalam tiga kategori di atas dapat dikerucutkan menjadi dua kategori yakni ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang secara umum tidak dapat diwakilkan, dalam hal ini adalah ibadah badaniyah mahdhah.

Adapun ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang secara umum dapat diwakilkan oleh orang lain, yang meliputi ibadah maliyah mahdhah dan ibadah maliyah ghairu mahdhah.

Ibnu Rusydi, Ulama kenamaan Madzhab Maliki, memiliki sudut pandang lain dalam menilai ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Menurutnya, ibadah mahdhah adalah ibadah yang maksud penerapannya tidak dapat dijangkau oleh akal manusia, misalnya seperti shalat.

Bagi Ibnu Rusyd, manusia tidak dapat memahami maksud di balik kewajiban melaksanakan ibadah shalat oleh syariat. Maka dari itu, pensyariatan shalat dimaksudkan murni untuk mendekatkan diri (qurbah) pada Allah subhanahu wa wa’ala. Selain dikenal dengan ibadah mahdhah, ibadah yang masuk dalam kategori ini dikenal pula dengan nama ta’abbudi. Ibadah mahdhah ini, menurut Ibnu Rusydi pasti membutuhkan niat dalam pelaksanaannya.

Sedangkan ibadah ghairu mahdhah, adalah ibadah yang maksud penerapannya dapat dijangkau oleh akal. Seperti mensucikan sesuatu yang terkena najis sebelum melaksanakan ibadah shalat, tujuan diwajibkannya hal tersebut dapat dijangkau oleh akal manusia. Sebab menghadap pada manusia saja alangkah baiknya jika berada dalam kondisi yang bersih dan suci tubuh dan pakaiannya, termasuk dari kotoran najis. Terlebih ketika menghadap pada Allah SWT saat melaksanakan ibadah shalat. Ibadah jenis ini juga dikenal dengan sebutan ta’aqquli atau ma’qulatul ma’na.

Ibadah ghairu mahdhah ini, tidak membutuhkan niat dalam pelaksanaanya, cukup dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh syariat.

Selain dua pembagian di atas, Ibnu Rusydi juga menyelipkan satu jenis ibadah lain, yakni ibadah yang memiliki keserupaan dengan ibadah mahdhah dan Ibadah ghairu mahdhah. Ibadah yang termasuk dari kategori ini adalah wudhu. Dalam wudhu terdapat keserupaan apakah lebih dominan nilai ibadah saja sehingga termasuk ibadah mahdhah atau justru dalam wudhu lebih dominan nilai membersihkan sebagian anggota tubuh, sehingga termasuk ibadah ghairu mahdhah.  Karena keserupaan inilah, menurut Ibnu Rusyd, ulama madzahibul arba’ah berbeda pendapat terkait wajibnya melakukan niat dalam melaksanakan wudhu.

Pandangan Ibnu Rusyd di atas dijelaskan dalam salah satu karyanya, Bidayatul Mujtahid:

وسبب اختلافهم تردد الوضوء بين أن يكون عبادة محضة: أعني غير معقولة المعنى وإنما يقصد بها القربة له فقط كالصلاة وغيرها وبين أن يكون عبادة معقولة المعنى كغسل النجاسة فإنهم لا يختلفون أن العبادة المحضة مفتقرة إلى النية والعبادة المفهومة المعنى غير مفتقرة إلى النية والوضوء فيه شبه من العبادتين ولذلك وقع الخلاف فيه وذلك أنه يجمع عبادة ونظافة والفقه أن ينظر بأيهما هو أقوى شبها فيلحق به

Artinya, “Sebab perbedaan para ulama (Perihal niat dalam wudhu) adalah terkait kebimbangan menstatuskan wudhu sebagai ibadah mahdhah, yakni ibadah yang tidak dijangkau maksudnya oleh akal. Ibadah mahdhah ini hanya ditujukan untuk mendekatkan diri pada Allah, seperti shalat dan ibadah lainnya. Atau distatuskan sebagai ibadah ma’qulatul ma’na (Ibadah yang dapat dijangkau akal maksud pensyariatannya) seperti menghilangkan najis.

Mereka (para ulama) tidak berbeda pendapat bahwa Ibadah Mahdhah ini butuh terhadap niat dan Ibadah yang al-mafhumatul ma’na tidak butuh terhadap niat. Sedangkan wudhu terdapat keserupaan diantara dua jenis ibadah tersebut. Atas dasar inilah ulama’ berbeda pendapat dalam hal wajib tidaknya niat dalam wudhu. Hal ini dikarenakan di dalam wudhu sejatinya terkumpul makna ibadah dan makna membersihkan (tubuh), sedangkan fiqih lebih memandang makna mana yang lebih kuat di antara keduanya, lalu wudhu disamakan dengan makna tersebut,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz I, halaman 8).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam menjelaskan perbedaan ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah, sebagian ulama (Syafi’iyah) mengarahkan pada bentuk pelaksanaan ibadahnya. Jika bentuk ibadah hubungannya hanya dengan gerakan tubuh tanpa ada kaitannya dengan harta benda, maka disebut ibadah mahdhah. Jika terdapat kaitannya dengan harta benda maka disebut ibadah ghairu mahdhah.

Adapun Ibnu Rusyd lebih mengarahkan perbedaan antara ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah pada aspek dapat dijangkau oleh akal atau tidak maksud pensyariatan suatu ibadah. Jika tidak dapat dijangkau oleh akal, maka disebut ibadah mahdhah. Sedangkan jika dapat dijangkau oleh akal, maka disebut ibadah ghairu mahdhah. Wallahu a’lam.

Cek Ongkir/pengiriman

Arsip kank achonk

Jam

Tanggal

cek