Jenis ibadah sejatinya terbagi menjadi berbagai macam pembagian yang variatif, tergantung dari aspek apa kita menilainya. Ada sebagian pandangan yang mengelompokkan ibadah berdasarkan bentuknya dalam dua kategori, yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.
Arti kata mahdhah sendiri adalah murni atau tak bercampur. Sedangkan ghairu mahdhah berarti tidak murni atau bercampur hal lain. Lantas sebenarnya apakah perbedaan di antara keduanya dalam tinjauan fiqih? Sudah benarkah pembagian ibadah dalam dua kategori tersebut?
Dalam literatur kitab salaf, khususnya dalam madzhab syafi’i, pembagian ibadah dari aspek bolehnya diwakilkan pada orang lain atau tidak, terbagi menjadi tiga macam. Pertama, ibadah badaniyah mahdhah, maksudnya adalah ibadah yang murni berupa gerakan fisik, tanpa dicampuri dengan komponen lainnya, seperti shalat dan puasa. Maka jenis ibadah demikian, tidak boleh untuk diwakilkan pada orang lain kecuali dalam satu permasalahan, yakni shalat sunnah thawaf, yang boleh diwakilkan pada orang lain, atas jalan mengikut (tab’an) pada ibadah haji, yang boleh diwakilkan.
Kedua, ibadah maliyah mahdhah. Maksudnya adalah Ibadah yang murni hanya menyangkut urusan harta, seperti sedekah dan zakat. Dalam ibadah jenis ini, para ulama menghukumi boleh mewakilkan pada orang lain dalam pelaksanaannya.
Ketiga, ibadah maliyah ghairu mahdhah, maksudnya adalah Ibadah-ibadah yang terdapat kaitannya dengan harta, namun juga terkandung gerakan-gerakan fisik (badaniyah) di dalamnya.
Contoh ibadah jenis ketiga ini seperti haji dan umrah, yang dalam pelaksanaannya membutuhkan biaya dan terdapat ketentuan-ketentuan khusus yang melibatkan gerakan fisik dalam melakukannya.
Ibadah jenis ketiga ini boleh untuk diwakilkan, namun dengan syarat-syarat tertentu yang dijelaskan dalam literatur fiqih, seperti tidak mampu melaksanakan haji karena lumpuh, orang yang diwakili sudah pernah melakukan haji dan syarat-syarat lainnya. Maka ibadah jenis ketiga ini tidak seluas dan sebebas ibadah jenis kedua dalam hal bolehnya mewakilkan pada orang lain.
Pembagian ibadah dalam tiga kelompok ini, tercantum dalam Kitab Hasyiyah ‘Ianatut Thalibin berikut:
والحاصل أن العبادة على ثلاثة أقسام إما أن تكون بدنية محضة فيمتنع التوكيل فيها إلا ركعتي الطواف تبعا وإما أن تكون مالية محضة فيجوز التوكيل فيها مطلقا وإما أن تكون مالية غير محضة كنسك فيجوز التوكيل فيها بالشرط المار
Artinya, “Simpulannya, ibadah terbagi atas tiga macam, ada kalanya berupa ibadah badaniyah mahdhah, maka jenis ibadah demikian tidak bisa diwakilkan pada orang lain, kecuali shalat sunnah tawaf dengan cara mewakilkan pula pelaksanaan tawaf. Ada kalanya ibadah maliyah mahdhah, ibadah jenis ini boleh untuk diwakilkan pada orang lain secara mutlak. Ada kalanya ibadah maliyah ghairu mahdhah, seperti ibadah haji, maka ibadah jenis ini boleh untuk diwakilkan pada orang lain dengan syarat-syarat yang telah dijelaskan,” (Lihat Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha, Hasyiyah ‘Ianatut Thalibin, juz III, halaman 87).
Meski begitu, sebenarnya pembagian ibadah dalam tiga kategori di atas dapat dikerucutkan menjadi dua kategori yakni ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang secara umum tidak dapat diwakilkan, dalam hal ini adalah ibadah badaniyah mahdhah.
Adapun ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang secara umum dapat diwakilkan oleh orang lain, yang meliputi ibadah maliyah mahdhah dan ibadah maliyah ghairu mahdhah.
Ibnu Rusydi, Ulama kenamaan Madzhab Maliki, memiliki sudut pandang lain dalam menilai ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Menurutnya, ibadah mahdhah adalah ibadah yang maksud penerapannya tidak dapat dijangkau oleh akal manusia, misalnya seperti shalat.
Bagi Ibnu Rusyd, manusia tidak dapat memahami maksud di balik kewajiban melaksanakan ibadah shalat oleh syariat. Maka dari itu, pensyariatan shalat dimaksudkan murni untuk mendekatkan diri (qurbah) pada Allah subhanahu wa wa’ala. Selain dikenal dengan ibadah mahdhah, ibadah yang masuk dalam kategori ini dikenal pula dengan nama ta’abbudi. Ibadah mahdhah ini, menurut Ibnu Rusydi pasti membutuhkan niat dalam pelaksanaannya.
Sedangkan ibadah ghairu mahdhah, adalah ibadah yang maksud penerapannya dapat dijangkau oleh akal. Seperti mensucikan sesuatu yang terkena najis sebelum melaksanakan ibadah shalat, tujuan diwajibkannya hal tersebut dapat dijangkau oleh akal manusia. Sebab menghadap pada manusia saja alangkah baiknya jika berada dalam kondisi yang bersih dan suci tubuh dan pakaiannya, termasuk dari kotoran najis. Terlebih ketika menghadap pada Allah SWT saat melaksanakan ibadah shalat. Ibadah jenis ini juga dikenal dengan sebutan ta’aqquli atau ma’qulatul ma’na.
Ibadah ghairu mahdhah ini, tidak membutuhkan niat dalam pelaksanaanya, cukup dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh syariat.
Selain dua pembagian di atas, Ibnu Rusydi juga menyelipkan satu jenis ibadah lain, yakni ibadah yang memiliki keserupaan dengan ibadah mahdhah dan Ibadah ghairu mahdhah. Ibadah yang termasuk dari kategori ini adalah wudhu. Dalam wudhu terdapat keserupaan apakah lebih dominan nilai ibadah saja sehingga termasuk ibadah mahdhah atau justru dalam wudhu lebih dominan nilai membersihkan sebagian anggota tubuh, sehingga termasuk ibadah ghairu mahdhah. Karena keserupaan inilah, menurut Ibnu Rusyd, ulama madzahibul arba’ah berbeda pendapat terkait wajibnya melakukan niat dalam melaksanakan wudhu.
Pandangan Ibnu Rusyd di atas dijelaskan dalam salah satu karyanya, Bidayatul Mujtahid:
وسبب اختلافهم تردد الوضوء بين أن يكون عبادة محضة: أعني غير معقولة المعنى وإنما يقصد بها القربة له فقط كالصلاة وغيرها وبين أن يكون عبادة معقولة المعنى كغسل النجاسة فإنهم لا يختلفون أن العبادة المحضة مفتقرة إلى النية والعبادة المفهومة المعنى غير مفتقرة إلى النية والوضوء فيه شبه من العبادتين ولذلك وقع الخلاف فيه وذلك أنه يجمع عبادة ونظافة والفقه أن ينظر بأيهما هو أقوى شبها فيلحق به
Artinya, “Sebab perbedaan para ulama (Perihal niat dalam wudhu) adalah terkait kebimbangan menstatuskan wudhu sebagai ibadah mahdhah, yakni ibadah yang tidak dijangkau maksudnya oleh akal. Ibadah mahdhah ini hanya ditujukan untuk mendekatkan diri pada Allah, seperti shalat dan ibadah lainnya. Atau distatuskan sebagai ibadah ma’qulatul ma’na (Ibadah yang dapat dijangkau akal maksud pensyariatannya) seperti menghilangkan najis.
Mereka (para ulama) tidak berbeda pendapat bahwa Ibadah Mahdhah ini butuh terhadap niat dan Ibadah yang al-mafhumatul ma’na tidak butuh terhadap niat. Sedangkan wudhu terdapat keserupaan diantara dua jenis ibadah tersebut. Atas dasar inilah ulama’ berbeda pendapat dalam hal wajib tidaknya niat dalam wudhu. Hal ini dikarenakan di dalam wudhu sejatinya terkumpul makna ibadah dan makna membersihkan (tubuh), sedangkan fiqih lebih memandang makna mana yang lebih kuat di antara keduanya, lalu wudhu disamakan dengan makna tersebut,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz I, halaman 8).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam menjelaskan perbedaan ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah, sebagian ulama (Syafi’iyah) mengarahkan pada bentuk pelaksanaan ibadahnya. Jika bentuk ibadah hubungannya hanya dengan gerakan tubuh tanpa ada kaitannya dengan harta benda, maka disebut ibadah mahdhah. Jika terdapat kaitannya dengan harta benda maka disebut ibadah ghairu mahdhah.
Adapun Ibnu Rusyd lebih mengarahkan perbedaan antara ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah pada aspek dapat dijangkau oleh akal atau tidak maksud pensyariatan suatu ibadah. Jika tidak dapat dijangkau oleh akal, maka disebut ibadah mahdhah. Sedangkan jika dapat dijangkau oleh akal, maka disebut ibadah ghairu mahdhah. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kesuwun pun mampir