Imam Ibn Ajrum: Ulama Maroko di balik Kitab Jurumiyah


Imam Ibn Ajrum adalah salah satu sosok keajaiban ilmu yang ada di tanah Maghrib (Maroko). Bagaimana tidak? tentu karena kitab adikaryanya dalam bidang ilmu nahwu yang bernama kitab al-Muqaddimah al-Jurumiyah. Di mana hampir di seluruh penjuru dunia para santri dan santriwati terus menerus mengkajinya sebagai pondasi dasar untuk memahami ilmu nahwu .
Tentu menarik bila menyimak bagaimana perjalanan dan laku hidupnya? Saya menuliskannya untuk tuan dan puan sekalian. Semoga bermanfaat.
Nama lengkapnya adalah al-Imam Abu Abdulllah Muhammad bin Muhammad bin Daud as-Shanhajiy. Dikenal juga dengan sebutan Imam as-Shanhajiy. Dilahirkan di kota Fez, Maroko pada tahun 672 H atau 1273 M.
Sebagaimana disebutkan oleh Imam Zubaid dalam kitab Taj al- ‘Arus, tahun lahir beliau tepat bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Jamaluddin ibn Malik at-Thaaiy pengarang kitab Alfiyah. Sehingga dari peristiwa itu tenar dengan adagium “Tuwufiya Nahwiyu wa Wulida Nahwiyu” (telah meninggal ahli nahwu dan lahir ahli nahwu yang lainnya).
Beliau masyhur dengan sebutan Ibn Ajrum. Nama itu diambil dari bahasa berber yang artinya al-Faqir as-Shufiy, orang yang meninggalkan kemewahan dan memilih laku sufi. Dan sematan ini  digelari pertama kali oleh  kakek beliau sendiri, Kiai Daud as-Shanhajiy.
Asal Usul
Kota Fez yang dijuluki sebagai ‘Madinatul Ilmi’ (kota ilmu) menjadi langkah awal perjuangan bagi Imam Ibn Ajrum. Kota itu menjadi tempat kelahiran sekaligus tempatnya menimba ilmu.
Imam ibn Ajrum lahir dari lingkungan keluarga yang berpendidikan.  Ayahnya yang bernama Kiai Muhammad bin Daud as-Shanhajiy merupakan seorang ulama di kampung halaman nya. Orang tuanya mencukupi kehidupan sehari-hari dengan jalan berniaga.
Bermula dari hanya belajar di kota Fez bersama ulama-ulama yang ada di Maroko, lambat laun akhirnya beliau bertolak ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji.
Apabila kita selesai menunaikan ibadah haji dan umrah biasa dilanjutkan dengan kegiatan berburu oleh-oleh atau plesir ke Turkey hingga Dubai. Lain lagi dengan Imam ibn Ajrum, ketika perjalanan pulang beliau mampir dulu ke Kairo guna menimba ilmu kepada Syaikh Abu Hayyan–ulama pengarang kitab al-Bahrul al-Muhith. Tidak sebatas mencecap manisnya ilmu dari Syaikh Abu Hayyan beliau juga turut mendapatkan sanad yang muttasil darinya.
Selain Syeikh Abu Hayyan yang menjadi guru Imam ibn Ajrum dalam bidang bahasa dan sastra, ada beberapa nama masyhur lainnya yang disebutkan dalam kitab Faraidh al-Ma’aniy, karya beliau sendiri. Di antara nama-nama itu ada al-Imam ibn Qassab Abu Abdullah, guru setoran Qiraah Sab’ah Imam ibn Ajrum. Lalu ada Syeikh Muhammad ibn Abdirrahman ibn at-Thayyib abu al-Qasim al-Qaysi, seorang yang ahli dalam melantunkan Al-Qur’an, dan terakhir Syeikh Abdul Malik ibn Musa Abu Marwan.
Imam ibn Ajrum adalah sosok ulama yang giat dalam menuntut ilmu, sehingga hampir semua ilmu dilahapnya. Beliau termasuk ulama yang mutabahhir bil ulum (jago di setiap fan-fan ilmu), jadi sangat wajar bila ada yang menjulukinya dengan sebutan al-Ustaziyah–dalam bahasa Faris bermakna seseorang yang mengetahui segala ilmu–bahkan dalam kitab al-Futuhat al-Qudsiyah buah karya Imam Ibnu Ajibah menyebutkan julukan beliau dengan sebutan as-Syurrah bil Fiqhi al-Imam As-Shufi as-Sholeh al-Barakah.
Tidak hanya di tanah Maghrib saja, mata dunia juga mengakuinya sebagai ulama yang karismatik, bersahaja, dan memiliki kredibilitas tinggi. Tentang Imam ibn Ajrum, Al-Imam as-Suyuthi  dalam kitabnya ‘Bughyat al-Wi’ah’ juga menjelaskan bahwa  beliau adalah ahli fikih, sastrawan, dan ahli matematika, di samping itu beliau juga menggeluti ilmu seni lukis, kaligrafi dan tajwid.
Karena alasan itulah banyak ulama kesohor yang lahir dari rahim didikan dan sentuhan tangan dingin nya. Ambil lah contoh seperti Ibnu Hikam, Syeikh Ahmad ibn Muhammad ibn Syu’ab Ibn Abbas al-Khaznaiy at-Thabib, Syeikh Muhammad ibn Ibrahim ibn Ishaq Abu Abdullah al-Qadhi al-Hadramiy, dan masih banyak lagi.
Kehandalan beliau pun tak hanya mandeg sampai capaian itu belaka, acap kali kurang rasanya jika seorang ulama sampai tidak mempunyai karangan dan sebuah mahakarya di sepanjan hidupnya. Berikut beberapa daftar karangan beliau selain kitab Muqaddimah al-Jurumiyah.
1. Faraidhul Ma’aniy fi Syarhi Hirzi al-Amaniy wa Wajhu at-Tihaniy
2. Arjuzatu al-Bari’ fi Ashli Muqrii Imam Nafi’
3. Ulfaatu al-Washli
4. Rawdhu al-Manafi’
5. Al-Istidrak ‘ala Hadiyatil Burtab
6. Tabshir fi Nazmi at-Taysir
Empat karangan pertama dan masterpiece beliau berbentuk kitab, sedangkan dua karya terakhir berbentuk nazham.
Kisah Penulisan Muqaddimah al-Jurumiyah
Nahwu bukanlah ilmu yang bisa dipelajari sesuka hati dan seenak kehendak–satu bab rampung dibaca lalu melompat ke bab yang lain. Tidak lah demikian. Ilmu Nahwu hanya bisa dipahami secara bertahap, berjenjang dan sudah barang tentu secara terstruktur mulai dari yang paling dasar sampai babakan yang paling kompleks .
Muqaddimah al-Jurumiyah datang menjadi suluh untuk menerangi para santri pemula. Perlu mafhum bersama kalau pada zaman itu belum ada kitab  sepadat, sejelas, dan seringkas seperti karangan beliau, bahkan sampai sekarang. Tak berlebihan bila mana dikatakan kitab al-Muqadimah al-Jurumiyah adalah kitab yang tak ada duanya. Bukan karena lebih ringkas, padat, dan lebih jelas dari yang lainya. Melainkan sebab catatan kisah sejarah indah dalam penyusunan kitab ini.
Kitab ini ditulis empat tahun sebelum wafatnya Imam Ibn Ajrum tahun 723 H. Beliau memulai penyusunan kitab ini di sisi ka’bah. Kisah menarik nan istimewa terjadi setelah beberapa waktu kitab ini dirampungkan. Imam ibnu Ajrum membuang kitabnya ke laut sambil berkata:
”Kalau memang kitab ini ku tulis ikhlash karena Allah, niscaya ia tidak akan basah.” Ternyata kitab tersebut kembali ke pantai tanpa basah sedikit pun.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan, ketika Imam ibnu Ajrum telah rampung menulis dengan menggunakan botol tinta, ia berniat meletakkan kitabnya tersebut di dalam air sambil berkata dalam hati “Ya Allah, jika saja karyaku ini akan bermanfaat jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak akan luntur.” Ternyata dengan kuasa Allah tinta tersebut tidak luntur sedikitpun.
Dan kali riwayat lain juga dituturkan, setelah menuntaskan karya tulisnya ini beliau bermaksud menenggelamkan kitabnya ke dalam air yang mengalir. Jika kitab tersebut terbawa arus berarti kitab tersebut kurang manfaat, sedangkan jika ia tetap–tidak terbawa arus–maka ia akan tetap dikaji banyak orang dan akan besar manfaatnya. Sambil meletakkan kitab tersebut kedalam air berliau berujar:
Jurru Miyah! Jurru Miyah” (Mengalirlah wahai air!). Anehnya setelah diletakkan dalam air kitab tersebut tetap bertahan dan tidak terbawa oleh arus. Masyhurlah kitab tersebut dengan sebutan Jurmiyah. Subhanallah.
Beliau menulis kitab bukan berharap kemasyhuran. Beliau tulus dan ikhlas menuliskannya untuk Allah dan kemanfaatan umat. Lantaran keihklasannya itulah Allah kekalkan dan jaga kitab Jurumiyah. Air keikhlasan dan keberkahan nya akan senantiasa memancarkan cahaya sampai detik ini bagi siapapun yang mempelajarinya.
Antara Kelompok Kufah dan Bashrah
Terkait klasifikasi antara kelompok Kufah dan Bashrah, di antara mereka–para ahli nahwu–banyak yang bersilang pendapat tentang sosok Imam ibn Ajrum ini. Sebagian besar ada yang menyatakan bahwa Imam Ibnu Ajrum adalah penganut Mazhab Nahwu Kuffiyun–Nahwu yang datang dari daerah Kuffah, bukan Bishiriyun–Nahwu yang datang dari daerah Bashrah. Hal ini ditandai dari beberapa hal, diantaranya pengistilahan kasrah yang beliau tulis di dalam kitabnya dengan sebutan khafadh, sedang ahli Bahsrah menyebut istilah kasrah dengan Jar. Perkara lain nya yakni menyoal  istilah Asmaul Khamsah yang terdiri dari dzu, fuu, hamu, abu, dan akhu. Sedangkan Ahli Bashrah menyebutnya dengan istilah Asmaus Sittah dengan menambahkan Hanu.
Sementara Imam Al-Ashufi Ibnu Ajibah menekankan pandangan nya dalam kitab al-Futuhat al-Qudsiyah bahwa beliau tidak condong Ke Kuffah atau Basrah, beliau memilah-milah mana yang baginya paling benar dan sesuai dengan jalan kaidah Nahwu.
Berkat ketulusan hati dan kemurnian niat Imam Ibnu Ajrum dalam menuliskan kitab tersebut menjadikan sebab keridhaan Allah.Ssampai saat ini sudah ratusan kitab yang melanjutkan karya beliau baik yang dijadikan nazham atau yang men-syarahnya. Eksistensi Kitab Jurumiyah akan tetap berlanjut. Tidak ada henti-hentinya, digumuli dan digunakan sampai pelosok-pelosok dunia Islam.
Adapun beberapa kitab syarahan dari kitab Jurumiyah, berikut  daftarnya:
1. Al Mustaqil bil Mafhum fi Syarh Al-Fadh al-Ajrum, karangan Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Maliki (w 853 H/1449 M)
2. At Tuhfatu as-Saniyah bi Syarh Al-Muqaddimah Al-Ajurrumiyah, karya Syeikh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid.
3. Al-Kharidah Al-Bahiyah fi I`rabi Al-Fadh Al-Ajurrumiyah karya Al `Ujami.
4. Mukhatshar Jiddan karya Syeikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, yang kemudian di beri komentar (hasyiah) oleh seorang ulama Indonesia, KH. Muhammad Ma`shum bin Salim as-Samarany dengan kitabnya Tasywiqul Khalan.
5. Al-Kafrawi fi I`rabi Al-Fadhi Al-Ajurrumiyah. Karya Syeikh Al Kafrawy
6. Syarah Syeikh Khaled yang kemudian di beri komentar oleh Syeikh Abi an-Naja.
7. Syarah Al-Muqaddimah Al-Ajurrumiyah karya seorang gembong Wahaby Arab Saudi, Syeikh Ustaimin.
8. Khulasah Syarah Ibnu `Ajibah `ala matan Ajurrumiyah Syeikh Abdul Qadir Al-Kauhairy.
9. Nur As-Sajiyah fi Hill Al-Fadh Ajurrumiyah, karangan Syeikh Ahmad Khatib Syarbaini.
10. Taqrirat Al-Bahiyyah `ala Matni Ajurrumiyah karangan Syeikh Qadhi Muhammad Risyad Al Baity As Saqqaf.
11. Al-Futuhat Al-Qayyumiyah fi Hill Wafki Ma`any wa Mabany Matni Ajurrumiyah, karangan Syeikh Muhammad Amin al-Harrary.
12. Ad-Durar Al-Bahiyyah fi I`rab Amstilah Ajurrumiyah wa Fakk Ma`any karangan Syeikh Muhammad Amin al-Harrary.
13. Al-Bakurah Al-Janiyyah min Quthaf I`rab Ajurrumiyah karya Syeikh Muhammad Amin al-Harrary.
14. Syarah Ajurrumiyyah fi Ilmi Arabiyah karangan Syeikh Ali Abdullah Abdurrahman as-Sanhury.
15. Syarah Al-Halawy karangan Syeikh Al Halawy.
Kitab ini juga pernah disadur menjadi sebuah nadham oleh Al `Imrithy yang disyarah oleh beberapa ulama lainnya.
Imam ibnu Ajrum wafat pada hari Ahad setelah tergelincirnya matahari, di bulan Shafar tahun 723 H/1323 M. Beliau wafat di usia 51 tahun. Dimakamkan keesokan harinya di kota kelahirnya Fez, di Bab al-Hamra sebelah kanan Bab al-Futuuh.
Nafa’anaa bihi wa bi’uluumihi fi daarayni. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kesuwun pun mampir

Cek Ongkir/pengiriman

Jam

Tanggal

cek