Makna Yang Tersirat Dalam Kitab Al-Amsilatutasrifiyah


Berbicara tentang morfologi bahasa Arab atau yang lebih dikenal dengan ilmu sharaf, tak lengkap rasanya bila tidak menyebut kitab Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah.
Buah karya Kiai Haji Ma’shum Ali tersebut sangat populer di kalangan pembelajar bahasa Arab, terlebih bagi mereka yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Hampir tiap hari, para santri mendaras bait-bait tashrifan yang terkandung dalam kitab tipis yang jumlah halamannya saja tidak lebih banyak dari buku Iqra’ jilid 1-6 .
Tidak hanya kaum “sarungan”, pembelajar bahasa Arab di jenjang formalpun, baik di tingkat sekolah menengah maupun perguruan tinggi, lazim mengambil faidah dari kitab Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah. Yang lebih mengesankan, kitab ini banyak dikaji oleh para pelajar mancanegara alias sudah go international. Fenomena ini membuat Kitab “Amtsilah at-Tashrifiyyah” seakan-akan sudah menjadi buku induk morfologi bahasa arab Internasional.
Salah satu faktor popularitas kitab ini adalah metode pembahasan yang disusun secara sistematis. Setiap bab disusun secara ringkas, terstruktur dan terperinci dalam contoh, pola, dan tabel yang memanjakan memori pembacanya. Perubahan bentuk forma dari verba perfektum (fi’l madhy), verba imperfektum (fi’l mudhari’), nomina deverbal (ism mashdar), nomina agentif (ism fa’il), nomina objektif (Ism Maf’ul), verba imperatif (Fi’l Amr-Nahy) hingga nomina adverbial (Ism Makan Zaman dan Alat) disajikan secara runtut dan sistematis dengan menyertakan contoh kata dasar yang lazim digunakan sehari-hari.
Lebih lanjut lagi, materi yang terkandung di dalamnya kompatibel untuk dikemas dalam lagu atau syair yang berkesan. Sebagai contoh:
Fa’ala fa’alaa fa’aluu, fa’alat fa’alata fa’alna, fa’alta fa’altuma fa’altum, fa’alti fa’altuma fa’altunna, fa’altu fa’alna” adalah sebagian deret pola verba perfektif (fi’il madhi) yang sering dilantunkan dalam irama ala pondok pesantren. Pola-pola seperti ini sangat memudahkan pelajar dalam memahami gramatika Arab, terutama morfologinya.
Di antara karakteristik penyajian materi, ada salah satu pola yang unik, yaitu penyajian ragam kata ganti atau dhamir. Bila kita menelaah kitab pada bagian Tashrif Lughawy, kita akan menemukan pola penyajian verba atau kata kerja berdasarkan kata gantinya dari atas ke bawah. Yang menarik, kata ganti tersebut tidak disusun dari kata ganti orang pertama (mutakallim)seperti saya atau kami, melainkan dari kata ganti orang ketiga (ghaib) seperti dia, keduanya dan mereka.
Bila diurutkan dari atas, susunan kata ganti yang digunakan adalah sebagai berikut : هُوَ (dia laki-laki tunggal), هُمَا (mereka laki-laki / perempuan berdua), هُمْ (mereka laki-laki jamak), هِيَ (dia perempuan tunggal), هُمَا (Dia laki-laki / perempuan berdua), هُنَّ (mereka perempuan jamak), أَنْتَ (Kamu laki-laki tunggal), أَنْتُمَا (Kalian laki-laki berdua), أَنْتُمْ (Kalian laki-laki jamak), أَنْتِ (Kamu perempuan tunggal), أَنْتُمَا (Kalian perempuan berdua), أَنْتُنَّ (Kalian perempuan jamak), أَنَا (saya tunggal), نَحْنُ (Kami/kita jamak).
Bila ditelaah dari susunan dhamir tersebut, Kiai Ma’shum Ali memulai dari penyebutan kata ganti orang ketiga, disusul kata ganti orang kedua dan terakhir baru menyebut kata ganti orang pertama. Dari pola tersebut, bisa ditemukan filosofi “Yang jauh mendekat lebih baik daripada yang dekat menjauh”.
Konsep ini merepresentasikan konsep ta’aruf sebagaimana yang diajarkan dalam Al-Quran surah Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)
Artinya : “Wahai sekalian manusia, Sesungguhnya kami menciptakanmu dari laki-laki dan perempuan dan telah jadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha teliti.”
Selaras dengan ayat di atas, penyajian dhamir dalam kitab Al-Amtsilah Tashrifiyyah juga mendorong manusia untuk berta’aruf dalam rangka membina rumah tangga. Susunan kata ganti dimulai dari kata ganti orang ketiga lelaki (dhamir lilghaib) berupa : هُوَ, هُمَا, هُمْ. هُوَ bisa merepresentasikan calon suami, هُمَا bisa merepresentasikan orang tua laki-laki atau calon mertua dari suami, dan هُمْ bisa mewakili lingkaran pergaulan dari suami, baik itu kerabat ataupun teman-temannya. Status mereka masih ghaib karena belum hadir dan terlibat dalam kehidupan meskipun sudah sering dibicarakan.
Begitu juga dengan هِيَ, هُمَا dan هُنَّ yang termasuk kata ganti orang ketiga perempuan atau dhamir lilghaibah. هِيَ mewakili calon istri, هُمَا merepresentasikan calon mertua (orang tua istri) dan هُنَّ merepresentasikan lingkaran pergaulan calon Istri. Mereka belum hadir di kehidupan suami namun bisa jadi sudah sering dibicarakan. Maka ketika calon suami dan calon istri bertemu, merekapun mengobrol untuk saling berkenalan. Muncullah kata ganti orang kedua (mukhathab) yang kemudian dilanjut dan dipungkaskan dengan kata ganti orang pertama (mutakallim).
Calon suami dipanggil “أَنْتَ”, sebagaimana calon istri dipanggil “أَنْتِ”.  Calon mertua disapa “أَنْتُمَا” dan masing-masing rekan-rekan dalam lingkaran pergaulan disebut “أَنْتُمْ” dan “أَنْتُنَّ”. Akhirnya dalam obrolan itu, masing-masing memperkenalkan diri dengan “أَنَا”. Setelah semuanya saling mengenal, akhirnya mereka bersepakat untuk bersatu dalam sebuah keluarga dan terbentuklah kata ganti pertama jamak (dhamir mutakallim lil jam’) yaitu “نَحْنُ” alias kita, keluarga kita.
Demikianlah, pesan tersirat dari Kiai Ma’shum Ali untuk para pengkaji kitabnya yang masih lajang adalah agar segera menyingkap sosok هُوَ atau هِيَ untuk diperjuangkan menjadi “نحن”. Wallahu a’lam bish shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kesuwun pun mampir

Cek Ongkir/pengiriman

Jam

Tanggal

cek