TERJEMAH SAFINATUNNAJA BAGIAN 1


TERJEMAH SAFINATUN NAJAH
( بِسْمِ الله الرحمَنِ الحيمِ )
SAFINATUN NAJAH
۞ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ ۞
Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Penulis kitab safinah adalah seorang ulama besar yang sangat terkemuka yaitu Syekh Salim bin Abdullah bin Saad bin Sumair Al hadhrami. Beliau adalah seorang ahli fiqh dan tasawwuf yang bermadzhab Syafi’i. Selain itu, beliau adalah seorang pendidik yang dikenal sangat ikhlas dan penyabar, seorang qodhi yang adil dan zuhud kepada dunia, bahkan beliau juga seorang politikus dan pengamat militer negara­-negara Islam. Beliau dilahirkan di desa Dziasbuh, yaitu sebuah desa di daerah Hadramaut Yaman, yang dikenal sebagai pusat lahirnya para ulama besar dalam berbagai bidang ilmu ke­agamaan.
Sebagaimana para ulama besar lainnya, Syekh Salim me­mulai pendidikannya dengan bidang Al-Qur’an di bawah peng­awasan ayahandanya yang juga merupakan ulama besar, yaitu Syekh Abdullah bin Sa’ad bin Sumair. Dalam waktu yang singkat Syekh Salim mampu menyelesaikan belajarnya dalam bidang Al-Qur’an tersebut, bahkan beliau meraih hasil yang baik dan prestasi yang tinggi. Beliau juga mempelajari bidang­-bidang lainnya seperti halnya ilmu bahasa arab, ilmu fiqih, ilmu ushul, ilmu tafsir, ilmu tasawuf, dan ilmu taktik militer Islam. Ilmu-ilmu tersebut beliau pelajari dari para ulama besar yang sangat terkemuka pada abad ke-13 H di daerah Hadhramaut, Yaman.
Tercatat di antara nama-nama gurunya adalah:
Syekh Abdullah bin Sa’ad bin Sumair
Syekh Abdullah bin Ahmad Basudan
Setelah mendalami berbagai ilmu agama, di hadapan para ulama dan para gurunya yang terkemuka, beliau memulai langkah dakwahnya dengan berprofesi sebagai Syekh Al Qur’an. Di desanya, pagi dan sore, tak henti-hentinya beliau mengajar para santrinya dan karena keikhlasan serta kesa­barannya, maka beliau berhasil mencetak para ulama ahli Al-Qur’an di zamannya. Beberapa tahun berikutnya para santri semakin bertambah banyak, mereka berdatangan dari luar kota dan daerah-daerah yang jauh sehingga beliau merasa perlu untuk menambah bidang-bidang ilmu yang hendak diajar­kannya seperti: ilmu bahasa arab, ilmu fiqih, ilmu ushul, ilmu tafsir, ilmu tasawuf, dan ilmu taktik militer Islam. Syekh Salim telah berhasil mencetak para ulama yang terkemuka di zamannya, tercatat di antara mereka adalah:
Habib Abdullah bin Toha Al-Haddar Al-Haddad.
Syekh Al Faqih Ali bin Umar Baghuzah.
Selain sebagai seorang pendidik yang hebat, Syekh Salim juga seorang pengamat politik Islam yang sangat disegani, beliau banyak memiliki gagasan dan sumbangan pemikiran yang menjembatani persatuan umat Islam dan membangkitkan mereka dari ketertinggalan. Di samping itu beliau juga banyak memberikan dorongan kepada umat Islam agar melawan para penjajah yang ingin merebut daerah-daerah Islam.
Pada suatu ketika Syekh Salim diminta oleh kerajaan Kasiriyyah yang terletak di daerah Yaman agar membeli per­alatan perang tercanggih pada saat itu, maka beliau berangkat ke Singapura dan India untuk keperluan tersebut. Pekerjaan beliau ini dinilai sangat sukses oleh pihak kerajpaan yang kemudian mengangkat beliau sebagai staf ahli dalam bidang militer kerajaan. Dalam masa pengabdiannya kepada umat melalui jalur birokrasi beliau tidak terpengaruh dengan cara­-cara dan unsur kedholiman yang merajalela di kalangan me­reka, bahkan beliau banyak memberikan nasehat, kecaman dan kritikan yang konstruktif kepada mereka.
Pada tahun-tahun berikutnya Syekh Salim diangkat men­jadi penasehat khusus Sultan Abdullah bin Muhsin. Sultan tersebut pada awalnya sangat patuh dan tunduk dengan segala saran, arahan dan nasehat beliau. Namun sayang, pada tahun­-tahun berikutnya ia tidak lagi menuruti saran dan nasehat beliau, bahkan cenderung meremehkan dan menghina, kon­disi tersebut semakin memburuk karena tidak ada pihak-pihak yang mampu mendamaikan keduanya, sehingga pada puncaknya hal itu menyebabkan keretakan hubungan antara keduanya. Dengan kejadian tersebut, apalagi melihat sikap sultan yang tidak sportif, maka Syekh Salim memutuskan untuk pergi meninggalkan Yaman. Dalam situasi yang kurang kondusif akhirnya beliau meninggalkan kerajaan Kasiriyyah dan hijrah menuju India. Periode ini tidak jelas berapa lama beliau berada di India, karena dalam waktu berikutnya, beliau hijrah ke negara Indonesia, tepatnya di Batavia atau Jakarta.
Sebagai seorang ulama terpandang yang segala tindakan­nya menjadi perhatian para pengikutnya, maka perpindahan Syekh Salim ke pulau Jawa tersebar secara luas dengan cepat, mereka datang berduyun-duyun kepada Syekh Salim untuk menimba ilmu atau meminta do’a darinya. Melihat hal itu maka Syekh Salim mendirikan berbagai majlis ilmu dan majlis dakwah, hampir dalam setiap hari beliau menghadiri majlis-­majlis tersebut, sehingga akhirnya semakin menguatkan posisi beliau di Batavia, pada masa itu. Syekh Salim bin Sumair dikenal sangat tegas di dalam mempertahankan kebenaran, apa pun resiko yang harus diha­dapinya. Beliau juga tidak menyukai jika para ulama mende­kat, bergaul, apalagi menjadi budak para pejabat. Seringkali beliau memberi nasihat dan kritikan tajam kepada para ulama dan para kiai yang gemar mondar-mandir kepada para pejabat pemerintah Belanda. Martin van Bruinessen dalam tulisan­nya tentang kitab kuning (tidak semua tulisannya kita sepakati) juga sempat memberikan komentar yang menarik terhadap tokoh kita ini.
Dalam beberapa alenia dia menceritakan per­bedaan pandangan dan pendirian yang terjadi antara dua orang ulama besar, yaitu Sayyid Usman bin Yahya dan Syekh Salim bin Sumair yang telah menjadi perdebatan di kalangan umum. Pada saat itu, tampaknya Syekh Salim kurang setuju dengan pendirian Sayyid Usman bin Yahya yang loyal kepada pemerintah kolonial Belanda. Sayyid Usman bin Yahya sendiri pada waktu itu, sebagai Mufti Batavia yang diangkat dan disetujui oleh kolonial Belanda, sedang berusaha menjem­batani jurang pemisah antara `Alawiyyin (Habaib) dengan pemerintah Belanda, sehingga beliau merasa perlu untuk mengambil hati para pejabatnya.
Oleh karena itu, beliau mem­berikan fatwa-fatwa hukum yang seakan-akan mendukung program dan rencana mereka. Hal itulah yang kemudian menyebabkan Syekh Salim terlibat dalam polemik panjang dengan Sayyid Usman yang beliau anggap tidak konsisten di dalam mempertahankan kebenaran. Setelah berdua bertemu dan berdiskusi langsung mendapat penjelasan yang jitu dan mantap atas siasat dan strategi Sayyid Utsman bin Yahya maka Syaekh Salim taslim dan paham atas segala tindakan Habib Utsman bin Yahya yang terjadi pada waktu itu, yang jelas cerita tersebut cukup kuat untuk menggambarkan kepada kita tentang sikap dan pendirian Syekh Salim bin Sumair yang sangat anti de­ngan pemerintahan yang dholim, apalagi para penjajah dari kaum kuffar.
Walaupun Syekh Salim seorang yang sangat sibuk dalam berbagai kegiatan dan jabatan, namun beliau adalah seorang yang sangat banyak berdzikir kepada Allah SWT dan juga dikenal sebagai orang yang ahli membaca Al Qur’an. Salah satu temannya yaitu Syekh Ahmad Al-Hadhrawi dari Mekkah mengatakan: “Aku pernah melihat dan mendengar Syekh Salim menghatamkan Al Qur’an hanya dalam keadaan Thawaf di Ka’bah”. Syekh Salim meninggal dunia di Batavia pada tahun 1271 H (1855 M).
Beliau telah meninggalkan beberapa karya ilmiah di antaranya Kitab Safinah yaitu kitab yang sudah kita terjemahkan ini. Al-Fawaid AI-Jaliyyah. Sebuah kitab yang mengecam sistem perbankan konfensional dalam kaca mata syari’at
۞ Sekilas Tentang Kitab Safinah ۞
Kitab Safinah memiliki nama lengkap “Safinatun Najah Fiima Yajibu `ala Abdi Ii Maulah” (perahu keselamatan di dalam mempelajari kewajiban seorang hamba kepada Tu­hannya). Kitab ini walaupun kecil bentuknya akan tetapi sa­ngatlah besar manfaatnya. Di setiap kampung, kota dan negara hampir semua orang mempelajari dan bahkan menghafalkan­nya, baik secara individu maupun kolektif. Di berbagai negara, kitab ini dapat diperoleh dengan mudah di berbagai lembaga pendidikan. Karena baik para santri maupun para ulama sangatlah gemar mempelajarinya dengan teliti dan seksama.Hal ini terjadi karena beberapa faktor, di antaranya:
Kitab ini mencakup pokok-pokok agama secara ter­padu, lengkap dan utuh, dimulai dengan bab dasar­dasar syari’at, kemudian bab bersuci, bab shalat, bab zakat, bab puasa dan bab haji yang ditambahkan oleh para ulama lainnya.
Kitab ini disajikan dengan bahasa yang mudah, susunan yang ringan dan redaksi yang gampang untuk dipahami serta dihafal. Seseorang yang serius dan memiliki ke­mauan tinggi akan mampu menghafalkan seluruh isinya hanya dalam masa dua atau tiga bulan atau mungkin lebih cepat.
Kitab ini ditulis oleh seorang ulama yang terkemuka dalam berbagai bidang ilmu keagamaan, terutama fiqh dan tasawwuf. Yang sangat menarik, orang lebih menge­nal nama kitabnya dari pada nama penulisnya. Hal yang demikian itu mungkin saja berkat keikhlasan dan ke­tulusan penulis.
Kitab ini menjadi acuan para ulama dalam memberikan pengetahuan dasar agama bagi para pemula. Di Hadramaut Yaman, Madinah, Mekkah dan kota lainnya,para ulama me
Kitab ini membicarakan hal-hal yang selalu menjadi ke­butuhan seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari, sehingga semua orang merasa perlu untuk mempelajari­nya.
Kitab Safinah ini dengan izin Allah SWT. dan atas kehendak-Nya telah tersebar secara luas di kalangan para pecinta ilmu fiqih terutama yang menganut Madzhab Imam Syafi’i ra. Kitab ini dikenal di berbagai negara baik Arab maupun Ajam seperti Yaman, Mekkah, Madinah, Jeddah, Somalia, Ethiopia, Tanzania, Kenya, Zanjibar, dan di berbagai belahan negara-negara Afrika.Namun demikian perhatian yang paling besar terhadap kitab ini telah diberikan oleh para ulama dan pecinta ilmu, yang hidup di semenanjung Melayu termasuk Indonesia, Malaysia, Singapura, dan negara-negara lainnya.
Kitab ini juga telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa asing seperti Indonesia, Melayu, Sunda, India, Cina, dan lainnya.
Dengan perhatian khusus dan antusias tinggi para ulama telah berkhidmah (mengabdi) kepada kitab Safinah sesuai dengan kemampuan dan keahlian mereka masing-masing. Banyak di antara mereka yang menulis syarah (buku pen­jelasan) kitab Safinah, di antara nama-nama kitab tersebut adalah:
Kitab Kasyifatus Saja ala Safinatin Naja (menyingkap tabir kegelapan dengan syarah kitab safinah). Kitab syarah ini adalah yang terbesar dan terluas dari yang lainnya, dipenuhi dengan masalah-masalah fiqih yang pokok dan mendasar. Kitab ini ditulis oleh seorang ulama dari Jawa Barat yaitu Syekh Nawawi Banten. Beliau dilahirkan pada tahun 1230 H (1815M) dan berangkat ke Mekkah untuk mencari ilmu ketika masih kecil. Setelah mendalami ilmu agama, di kota suci Mekkah, beliau juga belajar dari para ulama di kota suci Madinah, Syiria, dan Mesir. Beliau mengajar di Masjidil Haram Mekkah selama puluhan tahun sampai meninggal dunia pada tahun 1314 H (1897 M)
Kitab Durrotu Tsaminah Hasyiyah ala Safinah (Permata yang mahal dalam keterangan safinah). Kitab ini sangat penting untuk dimiliki oleh para pecinta ilmu, karena dilengkapi dengan dalil-dalil yang bersumber dari Al­Qur’an dan Hadis Nabsaw. Kitab ini ditulis oleh Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Hadrawi, seorang ulama dari Mekkah. Kitab ini ditulis pada awalnya di kota Musowwi’ Ethiopia, atas petunjuk gurunya yaitu Syekh Muhammad Asy-Syadzili Maroko dan diselesai­kan di kota Thaif. Penulis syarah ini dilahirkan di Iskandariah Mesir pada tahun 1252 H (1837 M) dan me­ninggal dunia di Mekkah pada tahun 1327 H (1909 M).
Kitab Nailur Raja Syarah Safinah Naja (Meraih harapan dengan syarah safinah), Syarah ini sangat dipenuhi de­ngan ilmu, hampir menjadi kebutuhan setiap pengajar yang akan menerangkan kitab Safinah. Kitab ini ditulis oleh seorang ulama besar dari Hadramaut Yaman, yaitu Sayyid Al-Habib Ahmad bin Umar Asy-Syatiri. Beliali dilahirkan di kota Tarim Hadramaut pada tahun 1312 H (1895 M), dan di sana pula beliau mempelajari ilmu agama sehingga tumbuh berkembang menjadi ulama yang terkemuka. Beliau sangat dicintai gurunya yaitu Syaikhul Islam, Sayyid Abdullah bin Umar Asy-Syatiri, ulama besar di zamannya. Penulis syarah in’ meninggal dunia pada usia yang masih muda, yaitu sebelum beliau berumur 50 tahun.
Kitab Nasiimul Hayah Syarah Safinall Najah. Syarah ini hampir sama dengan syarah yang ditulis oleh Syekh Nawawi Banten, tetapi memiliki tambahan dengan ba­nyaknya dalil dan perincian yang teliti. Kitab ini ditulis oleh Syekh Al-Faqih Al-Qodhi Abdullah bin Awad bin Mubarok Bukair, seorang ulama kenamaan yang ahli dalam bidang fiqih di Hadramaut Yaman. Beliau di­lahirkan di desa Ghail Bawazir tahun 1314 H (1897 M). Sejak kecil beliau sangat gemar mendalami ilmu syari’at dari berbagai ulama di antaranya adalah Al-Imam Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Syekh Umar bin Mubarok Badubbah, Syekh Umar bin Salim Bawazir dan lain-lain. Setelah tersebar keilmuannya, beliau menjadi qodhi di Mukalla sejak tahun 1351 H (1933 M) sampai tahun 1386 H (1967 M). Syekh Abdullah meninggal dunia pada tahun 1399 H (1979 M) di kota Mukalla setelah memberikan pengabdiannya yang tulus kepada umat Islam
Kitab Innarotut Duja Bitanwiril Hija Syarah Safinah Naja. Salah satu syarah yang sangat otentik dan terpercaya karena dipenuhi dengan argumentasi dari Al-Qur’an dan had’s. Yang unik, syarah ini ditulis oleh salah satu ulama dari Madzhab Maliki yaitu Syekh Muhammad bin Ali bin Husein Al-Maliki, seorang ulama yang sangat ahli dalam berbagai ilmu agama, Beliau juga sangat ter­pandang dalam bidang ilmu bahasa dan sastra Arab. Beliau dilahirkan di Mekkah tahun 1287 H 0 870 M) dan meninggal dunia tahun 1368 H (1949 M). Puncak kemasyhurannya adalah ketika beliau diangkat sebagai Mufti Madzhab Maliki di kota suci Mekkah A1-Mu­karromah. Tokoh kita ini juga sangat produktif, koleksi karyanya lebih dari 30 kitab, di antaranya adalah syarah safinah tersebut.
Dari kalangan para ulama ada pula yang tertarik men­jadikan kitab safinah ini dalam bentuk syair-syair yang di­gubah dengan mudah dan indah, tercatat di antara nama-nama mereka adalah:
Sayyid Habib Abdullah bin Ali bin Hasan Al-Haddad.
Sayyid Habib Muhammad bin Ahmad bin Alawy Ba’agil.
Kyai Syekh Shiddiq bin Abdullah, Lasem.
Syekh Muharnrnad bin All Zakin Bahanan.
Sayyid Habib Ahmad Masyhur bin Thoha Al-Haddad.
Dari tulisan di atas, kiranya kita telah mampu memahami betapa penting kitab safinah ini, untuk menjadi pijakan bag] para pemula dalam mempelajari ilmu agama, sebagaimana namanya, yaitu safinah yang berarti “perahu” dia akan me­nyelamatkan para pecintanya dari gelombang kebodohan dan kesalahan dalam beribadah kepada Allah SWT. Amin.
Dikutip Dari :TERJEMAHAN KITAB SYAFINATUN NAJAH, Fiqh Ibadah Praktis Dan Mudah Terjemahan Dan Penjelasan
Penulis : KH. Ust, Yahya Wahid Dahlan
۞ Pendahuluan Kitab ۞
Safinah An-Najah
Karangan Syaikh Salim bin Abdullah bin Sa’ad bin Sumair al-Hadhromi
Madzhab Syafi’i
Pembuka
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين ، وبه نستعين على أمور الدنيا والدين ،وصلى الله وسلم على سيدنا محمد خاتم النبيين ،واله وصحبه أجمعين ، ولاحول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم ،
Bismillaahirrohmaanirrohiim . Alhamdulillaahi Robbil ‘Aalamin . Wabihii Nasta’iinu ‘Alaa Umuuriddunyaa Waddiini . Washollallaahu ‘Alaa Sayyidinaa Muhammadin Khootamannabiyyiina Wa Aalihii Washohbihii Ajma’iina . Walaa Hawla Walaa Quwwata Illaa Billaahil’aliyyil ‘Azhiim . 
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang . Segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam . Dan dengannya kami mohon pertolongan atas segala urusan dunia dan agama . Dan Allah bersholawat atas junjungan kita Muhammad penutup para Nabi dan atas keluarganya dan sahabatnya semua . Dan tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi Maha Agung .
Macam-macam Hukum Islam
Alhamdulillah segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan berbagai nikmat yang tidak kita dapatkan selain dari sisi-Nya. Shalawat serta salam kita hanturkan kepada Nabi Muhammad saw dan kepada seluruh Nabi Allah serta para Rasul-Nya.
Syari’at Islam mempunyai 2 sumber hukum dalam menetapkan undang-undangnya, yaitu: Al-Qur’an dan Hadits, walaupun sebagain ‘ulama’ memasukkan ijma’ dan qiyas sebagai sumber hukum syari’at Islam. Segala ketetapan di dalam agama Islam yang bersifat perintah, anjuran, larangan, pemberian pilihan atau yang sejenisnya dinamakan sebagai hukum-hukum syara’ atau hukum-hukum syari’at atau hukum-hukum agama.
Hukum syara’ adalah seruan Syari’ (pembuat hukum) yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia) berupa tuntutan, penetapan dan pemberian pilihan. Dikatakan Syari’ tanpa menyebutkan Allah swt sebagai pembuat hukum karena agar sunnah Nabi Muhammad saw termasuk didalamnya. Dikatakan pula “aktivitas hamba”, tidak menggunakan mukallaf (orang yang dibebani hukum), agar hukum itu mencakup anak kecil dan orang gila.
Secara garis besar ada 5 macam hukum syara’ yang mesti diketahui oleh kita:
1. Wajib
2. Sunnah
3. Haram
4. Makruh
5. Mubah
1. Wajib:
para ‘ulama’ memberikan banyak pengertian mengenainya, antara lain:
“Suatu ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau tidak berdosa“. Atau “Suatu ketentuan jika ditinggalkan mendapat adzab“
Contoh: makan atau minum dengan menggunakan tangan kanan adalah wajib hukumnya, jika seorang Muslim memakai tangan kiri untuk makan atau minum, maka berdosalah dia.
Contoh lain, Shalat subuh hukumnya wajib, yakni suatu ketentuan dari agama yang harus dikerjakan, jika tidak berdosalah ia.
Alasan yang dipakai untuk menetapkan pengertian diatas adalah atas dasar firman Allah swt:
(فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (النور:63
“….Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Dari ayat diatas telah jelas bahwa setiap orang yang melanggar perintah agama maka akan ditimpa musibah atau adzab, dan orang yang ditimpa adzab itu tidak lain melainkan mereka yang menyalahi aturan yang telah ditetapkan.
Wajib atau fardhu itu dibagi menjadi dua bagian :
a. Wajib ‘ain :
Wajib ‘ain Yaitu kewajiban yang di bebankan kepada setiap orang mukallaf, seperti shalat lima waktu, puasa dan sebagainya.
b. Wajib kifâyah :
Wajib kifâyah yaitu suatu kewajiban yang sudah dianggap cukup apabila telah dikerjakan oleh sebagian orang mukallaf, dan seluruhnya akan berdosa jika tidak seorangpun dari mereka yang mengerjakanya, seperti menyolati mayit dan menguburkanya.
2. Sunnah:
“Suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak berdosa“. Atau bisa anda katakan : “Suatu perbuatan yang diminta oleh syari’ tetapi tidak wajib, dan meninggalkannya tidak berdosa“
Contoh: Nabi saw bersabda:
-صُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا. -رواه البخاري و مسلم
Artinya: “Shaumlah sehari dan berbukalah sehari“. Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Dalam hadits ini ada perintah -صُمْ- “shaumlah”, jika perintah ini dianggap wajib, maka menyalahi sabda Nabi saw yang berkenaan dengan orang Arab gunung, bahwa kewajiban shaum itu hanya ada di bulan Ramadhan.
..مَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصِّيَامِ؟ فَقَالَ شَهْرَ رَمَضَانَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا….
“….apa yang Allah wajibkan kepadaku dari shaum? Beliau bersabda: (shaum) bulan ramadhan, kecuali engkau mau bertathauwu’ (melakukan yang sunnah)….” Hadits riwayat Imam Bukhari.
Dari riwayat ini jelas bahwa shaum itu yang wajib hanyalah shaum di bulan ramadhan sedangkan lainnya bukan. Jika lafadz perintah dalam hadits yang pertama “shaumlah” itu bukan wajib, maka ada 2 kemungkian hukum yang bisa diambil:
1. Sunnah
2. Mubah
Shaum adalah suatu amalan yang berkaitan dengan ibadah, maka jika ada perintah yang berhubungan dengan ibadah tetapi tidak wajib, maka hukumnya sunnah. Kalau dikerjakan mendapat pahala jika meninggalkannya tidak berdosa.
Alasan untuk menetapkan hal itu mendapat pahala adalah atas dasar firman Allah swt:
-لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ. -يونس: 26
“Bagi orang-orang yang melakukan kebaikan (akan mendapat) kebaikan dan (disediakan) tambahan (atas kebaikan yang telah diperbuatnya)” –S.Yunus: 26-
Allah swt memberi kabar, bahwasanya siapa saja yang berbuat baik di dunia dengan keimanan (kepada-Nya) maka (balasan) kebaikan di akhirat untuknya, sebagai mana firman Allah:
-هَلْ جَزَاءُ الإِحْسَانِ إِلاّ الإِحْسَانُ. –الرحمن:60
Artinya: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” S. Ar-Rahman: 60.
Kita bisa memahami bahwa orang yang melakukan suatu kebaikan selain mendapatkan balasan atas apa yang telah dia lakukan, terdapat pula tambahan yang disediakan, dan tambahan ini bisa kita sebut sebagai “ganjaran”.
Sunnat di bagi menjadi dua :
a. Sunnat muakkad
Sunnat muakkad yaitu sunnat yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan baik karena merupakan penyempurna ibadah fardlu, atau karena sunnat tersebut seringkali dilakukan oleh Nabi, seperti shalat rawâtib, shalat dua hari raya fithri dan adlha dan sebagainya.
b. Sunnat ghairu muakkad
Sunnat ghairu muakkad yaitu sunnat yang tidak sesuai dengan kriteria di atas, seperti shalat qobliyyah maghrib.
3. Haram:
“Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu“.
Contoh: Nabi saw bersabda:
-لاَتَاْتُوا الكُهَّانَ. –رواه الطبراني
“Janganlah kamu datangi tukang-tukang ramal/dukun“. Hadits riwayat Imam Thabrani.
Mendatangi tukang-tukang ramal/dukun dengan tujuan menyakan sesuatu hal ghaib lalu dipercayainya itu tidak boleh. Kalau orang melakukan hal itu, berdosalah ia.
Alasan untuk pengertian haram ini, diantaranya sama dengan alasan yang dipakai untuk menetapkan pengertian wajib, yaitu Al-Qur’an S.An-Nur: 63.
4. Makruh:
Arti makruh secara bahasa adalah dibenci.
“Suatu ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan dari pada dilakukan“. Atau “meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya“. Kalau dilanggar pelakunya tidak berdosa, dan jika ditinggalkan dia mendapat pahala.
Sebagai contoh: Makan binatang buas. Dalam hadits-hadits memang ada larangannya, dan kita memberi hukum (tentang makan binatang buas) itu makruh.
Begini penjelasannya: binatang yang diharamkan untuk dimakan hanya ada satu saja, lihat Al-Qur’an Al-Baqarah: 173 yang berbunyi:
-إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ… –البقرة: 173
“Tidak lain melainkan yang Allah haramkan adalah bangkai ,darah, daging babi dan binatang yang disembelih bukan karena Allah….”
Kata إِنَّمَا dalam bahasa Arab disebut sebagai “huruf hashr” yaitu huruf yang dipakai untuk membatas sesuatu. Kata ini diterjemahkan dengan arti: hanya, tidak lain melainkan. Salah satu hadits Nabi saw yang menggunakan huruf “innama” ini adalah:
إِنَّمَا أُمِرْتُ بِالْوُضُوْءِ إِذَا قُمْتُ إِلَى الصَّلاَةِ
“Tidak lain melainkan aku diperintah berwudhu’ apabila aku akan mengerjakan shalat“. Hadits riwayat Imam Tirmidzi.
Dengan ini berarti bahwa wudhu hanya diwajibkan ketika akan mengerjakan shalat. Lafazh إِنَّمَا pada ayat ini ia berfungsi membatasi bahwa makanan yang diharamkan itu hanya empat yaitu: bangkai, darah, babi dan binatang yang disembelih bukan karena Allah. Maka kalau larangan makan binatang buas itu kita hukumkan haram juga, berarti sabda Nabi saw yang melarang makan binatang buas itu, menentangi Allah, ini tidak mungkin. Berarti binatang buas itu tidak haram, kalau tidak haram maka hukum itu berhadapan dengan 2 kemungkinan yaitu: mubah atau makruh. Jika dihukumkan mubah tidak tepat, karena Nabi saw melarang bukan memerintah. Jadi larangan dari Nabi itu kita ringankan dan larangan yang ringan itu tidak lain melainkan makruh. Maka kesimpulannya: binatang buas itu makruh.
contoh lainnya : menunda kewajiban tanpa sebab, melakukan sesuatu yang masih diragukan (subhat), dll.
5. Mubah:
Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal.
“Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya” atau “Segala sesuatu yang diidzinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya“
Contoh: dalam Al-Qur’an ada perintah makan, yaitu:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” Al-A’raf: 31
Akan tetapi perintah ini dianggap mubah. Jika kita mewajibkan perintah makan maka anggapan ini tidak tepat, karena urusan makan atau minum ini adalah hal yang pasti dilakukan oleh seluruh manusia baik masih balita atau jompo. Sesuatu yang tidak bisa dielak dan menjadi kemestian bagi manusia tidak perlu memberi hukum wajib, maka perintah Allah dalam ayat diatas bukanlah wajib, jika bukan wajib maka ada 2 kemungkian hukum yang dapat kita ambil, yaitu: sunnah atau mubah. Urusan makan atau minum ini adalah bersifat keduniaan dan tidak dijanjikan ganjarannya jika melakukannya, maka jika suatu amal yang tidak mendapat ganjaran maka hal itu termasuk dalam hukum mubah.
secara ringkasnya dijelaskan dalam kitab Kitab Ri’ayah al-himmah jilid 1 bab fikih
Tanbihun – Melanjutkan pembahasan tentang Definisi Hukum Syara’, Akal dan Adat , diteruskan dengan penjelasan definisi Ahkamul khamsah atau hukum-hukum Islam yang lima ;
Wajib, yaitu :  Suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan mendapatkan siksa. Seperti shalat fardhu, puasa ramadhan, mengeluarkan zakat, haji dan lainnya. Wajib ini menunjukkan perintah yang tetap.
Sunnah, yakni : Suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Seperti shalat tahiyyatul masjid, shalat dhuha, puasa senin-kamis dan lainnya. Sunnah ini menunjukkan perintah yang tidak tetap.
Haram, yaitu ; Suatu perbuatan yang apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan mendapat siksa. Seperti minum arak, berbuat zina, mencuri, dan lain sebagainya. Haram ini menunjukkan larangan yang tetap.
Makruh, yaitu ; Suatu perbuatan yang apabila ditinggalkan mendapat pahala, dan apabila dikerjakan tidak mendapat siksa. Seperti mendahulukan yang kiri atas kanan saat membasuh anggota badan dalam wudhu. makruh ini menunjukkan larangan yang tidak tetap.
Mubah, yaitu ; Suatu perbuatan yang apabila dikerjakan atau ditinggalkan sama saja tidak mendapat pahala atau siksa. Seperti makan, minum. Mubah ini tidak menunjukkan perintah yang tetap atau yang tidak tetap. dan tidak menunjukkan larangan tetap atau laraangan tidak tetap.
WaLLAHU a’lam bis shawaab
۞ Rukun Islam ۞
(فصل) أركان الإسلام خمسة : شهادة أن لاإله إلاالله وأن محمد رسول الله وإقام الصلاة ، وإيتاء الزكاة , و صوم رمضان ، وحج البيت من استطاع إليه سبيلا .
Rukun Islam
Arkaanul Islaami Khomsatun : Syahaadatu An Laa Ilaaha Illallaahu Wa Annna Muhammadan Rosuulullaahi , Wa Iqoomushsholaati , Wa Iitaauzzakaati , Wa Shoumu Romadhoona , Wa Hijjul Baiti Man Istathoo’a Ilaihi Sabiilan . 
Rukun-rukun Islam yaitu 5 : Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah , dan Mendirikan Sholat , dan Memberikan Zakat , dan Puasa Bulan Romadhon , dan Pergi Haji bagi yg mampu kepadanya berjalan .
(Fasal Satu)
Rukun Islam ada lima perkara, yaitu:
1. Bersaksi bahwa tiada ada tuhan yang haq kecuali Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusanNya.
2. Mendirikan sholat (lima waktu).
3. Menunaikan zakat.
4. Puasa Romadhan.
5. Ibadah haji ke baitullah bagi yang telah mampu melaksanakannya
۞ Rukun Iman ۞
(فصل ) أركان الإيمان ستة: أن تؤمن بالله ، وملائكته، وكتبه ، وباليوم الآخر ، وبالقدر خيره وشره من الله تعالى .
Rukun Iman
Arkaanul Iimaani Sittatun : An Tu’mina Billaahi , Wa Malaaikatihii , Wa Kutubihii , Wa Rusulihii , Walyaumil Aakhiri , Wabilqodari Khoyrihi Wasyarrihi Minalaahi Ta’aalaa . 
Rukun-rukun Iman yaitu 6 : Bahwa engkau beriman dengan Allah , dan para Malaikatnya , dan kitab-kitabnya , dan para Rosulnya , dan hari akhir , dan taqdir baiknya dan taqdir buruknya dari Allah Ta’ala .
Rukun iman ada enam, yaitu:
1. Beriman kepada Allah SWT.
2. Beriman kepada sekalian Mala’ikat
3. Beriman dengan segala kitab-kitab suci.
4. Beriman dengan sekalian Rosul-rosul.
5. Beriman dengan hari kiamat.
6. Beriman dengan ketentuan baik dan buruknya dari Allah SWT.
۞ Arti Syahadat ۞
(فصل ) ومعنى لاإله إلاالله : لامعبود بحق في الوجود إلا الله .
Syahadat
Wama’naa Laa Ilaaha Illallaahu Laa Ma’buda Bihaqqin Fil Wujuudi Illallaahu . 
Dan makna kalimat Laa Ilaha Illallahu yaitu tidak ada yang disembah dengan sebenar-benarnya pada keadaan kecuali Allah .
Yang dimaksud dengan ucapan “Laa ilaha illah”, adalah menyatakan dan meyakini bahwa tiada yang wajib disembah dengan haq (Sebenar-benarnya) di alam semesta ini kecuali hanya Allah SWT semata.
۞ Tanda Baligh ۞
(فصل ) علامات البلوغ ثلاث : تمام خمس عشرة سنه في الذكروالأنثى ، والاحتلام في الذكر والأنثى لتسع سنين ، و الحيض في الأنثى لتسع سنين .
Tanda-tanda Baligh
‘Alaamaatul Buluughi Tsalaatsun : Tamaamu Khomsa ‘Asyaro Sanatan Fidzdzakari Wal Untsaa , Wal Ihtilaamu Fidzdzakari Wal Untsaa Litis’i Siniina , Wal Haidhu Fil Untsaa Litis’i Siniina .
Tanda-tanda Baligh yaitu 3 : Sempurna umurnya 15 tahun pada laki-laki dan perempuan , dan mimpi pada laki-laki dan perempuan bagi umur 9 tahun , dan dapat haid pada perempuan bagi umur 9 tahun
Adapun tanda-tanda baligh (mencapai usia remaja) seseorang ada tiga, yaitu:
1. Berumur seorang laki-laki atau perempuan lima belas tahun.
2. Bermimpi (junub) atau keluarnya air sperma terhadap laki-laki dan perempuan ketika melewati sembilan tahun dengan hitungan tanggal Qomariyyah (Hijriyah).
3. Keluar darah haidh sesudah berumur sembilan tahun dengan hitungan tanggal Qomariyyah (Hijriyah).
۞ Syarat Istinja ۞
(فصل) شروط إجزاء الحَجَرْ ثمانية: أن يكون بثلاثة أحجار ، وأن ينقي المحل ، وأن لا يجف النجس ، ولا ينتقل ، ولا يطرأ عليه آخر ، ولا يجاوز صفحته وحشفته ، ولا يصيبه ماء ، وأن تكون الأحجار طاهرة.
Syarat Istinja
Syuruuthul Istinjaai Bilhajari Tsamaaniyatun : An Yakuuna Bitsalaatsati Ahjaarin , Wa An Yunqiya Al-Mahalla , Wa An Laa Yajiffa An-Najisu , Walaa Yantaqila , Walaa Yathroa ‘Alaihi Aakhoru , Walaa Yujaawiza Shofhatahu Wahasyafatahu , Walaa Yushiibahu Maaun , Wa An Laa Takuuna Al-Ahjaaru Thoohirotan . 
Syarat-syarat Istinja dengan batu yaitu 8 : Bahwa adalah orang yg berisitinja itu dengan 3 batu , dan bahwa ia membersihkan tempat keluarnya najis , dan bahwa tidak kering najisnya itu , dan tidak berpindah najisnya itu , dan tidak datang atasnya oleh najis yg lain , dan jangan melampaui najisnya itu akan shofhahnya dan hasyafahnya , dan jangan mengenai najis itu akan ia oleh air , dan bahwa adalah batunya itu suci .
Syarat boleh ‘sahnya’ bersuci dari kencing atau buang air besar menggunakan batu untuk beristinja ada delapan, yaitu:
1. Menggunakan tiga batu.
2. Masing-masing dari ketiga batun tersebut sudah bisa mensucikan/membersihkan tempat keluar najis dengan batu tersebut (dubur atau pun qubul).
3. Najis belum kering. Kalau sudah kering maka harus menggunakan air.
4. Najis tersebut belum berpindah dari tempat keluarnya. kalau sudah pindah harus menggunakan air.
5. Tempat istinja tersebut tidak terkena benda yang lain sekalipun tidak najis, jadi tidak boleh bercampur dengan lainnya, kalau sudah bercampur dengan yang lain maka harus menggunakan air.
6. Najis tersebut tidak berpindah tempat istinja (lubang kemaluan belakang dan kepala kemaluan depan). Tidak melampaui “hasyafah” (bila buang air kecil) dan tidak melampaui “shofhah” (bila buang air besar). Kalau sudah melampui dua batas itu maka harus menggunakan air.
7. Najis tersebut tidak terkena air . kalau terkena air maka harus diteruskan menggunakan air
8. Batu tersebut harus suci.
Perhatian
Yang dimaksud dengan batu disini bukanlah batu yang dalam pengertian umum kita, akan tetapi segala sesuatu yang dapat mencabut/membersihkan kotoran dengan bersih, sperti kayu, kain, tissue atau lainnya.
ada beberapa syarat yang tambahan dalam kitab fiqih besar lainnya, yaitu :
Batu yang digunakan tidak boleh yang musta’mal. (sudah bekas digunakan)
Batu yang digunakan tidaklah sesuatu yang dihormati.
Istinja’ harus dengan sesuatu benda padat yang dapat mencabut kotoran dari tempatnya
۞ Fardhu Wudhu ۞
Fardhu Wudhu
Furuudh Al-Wudhuui Sittatun : Al-Awwalu Anniyyatu , Ats-Tsaani Ghoslu Al-Wajhi , Ats-Tsaalitsu Ghoslu Al-Yadaini Ma’a Al-Mirfaqoini , Ar-Roobi’u Mashu Syaiin Min Ar-Ro’si , Al-Khoomisu Ghoslu Ar-Rijlaini Ilaa Al-Ka’baini , As-Saadisu At-Tartiibu .
Fardhu-fardhu Wudhu yaitu 6 : Yang pertama Niat , yang kedua membasuh wajah ,  yang  ketiga membasuh 2 tangan beserta 2 sikut ,  yang  keempat menyapu sebagian dari kepala ,  yang  kelima membasuh 2 kaki sampai 2 mata kaki ,  yang  keenam tertib
Rukun wudhu ada enam, yaitu:
1. Niat
Disetiap ibadah, kita diharuskan memulai dengan niat, begitu pula wudhu, wudhu’ juga harus dimulai dengan niat.
Sebagaimana sabda Nabi yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam,
« لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ »
“Tidak diterima sholat orang yang berhadats sampai ia berwudhu”.[ HR. Bukhori no. 135, Muslim no. 225 ]
“Sesungguhnya segala amal itu hendaklah dengan niat” (HR Bukhari dan Muslim)
Al-Mawardi mendifinisikan niat dengan qasdu syai’in muqtarinan bifi’lihi. Yaitu menyengaja sesuatu berbarengan dengan pelaksanaannya. Oleh karena itu ber-niat dalam wudhu harus dibarengkan dengan pelaksanaannya yaitu ketika membasuh muka. Karena membasuh muka merupakan hal pertama yang dilakukan dalam berwudhu. Seperti halnya niat sholat yang harus berbarengan dengan pengucapan takbiratul ihram (Allahu Akbar).
Demikian juga dalam juga Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada kita dalam KitabNya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Dan sebagaimana lazim niat wudhu’ orang-orang islam diseluruh dunia, inilah bacaan niat ketika hendak memulai wudhu’ :
نويت الوضوء لرفع الحدث الأصغر لله تعالى
2. Membasuh Wajah
Fardhu yang kedua adalah membasuh wajah, adapun wajah mempunyai batasan, yaitu dari pangkal kening hingga ujung dagu, dan diantara 2 anak telinga. Maka batasan itu harus terkena air saat kita membasuh wajah kita.
Membasuh muka seluruhnya dari batas rambut sampai ke dagu dan dari batas telinga kanan sampai ke telinga kiri.
Allah berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,” al-Maidah,6
Jika seseorang memiliki jenggot yang tebal maka cukup membasuh luarnya saja,  sesuai dengan hadist Rasulullah saw bahwa beliau berwudhu maka beliau mengambil seciduk air lalu membasuh mukanya (HR Bukhari). Satu cidukan air tidak cukup untuk membasuh dagu karena tebalnya jenggot beliau yang mulia.
3. Membasuh tangan hingga siku.
Fardhu  yang  ketiga adalah membasuh kedua tangan kita dimulai dari ujung jari sampai ujung siku, atau sebaliknya tidak masalah,  yang  terpenting adalah tidak ada sesuatu apapun  yang  menghalangi air masuk ke kulit.
4. mengusap sebagian kepala.
Fardhu  yang  ke empat adalah mengusapkan air kekepala, diperbolehkan hanya mengusap Rambut, asalkan rambut Ɣƍ diusap tidak melebih dari bagian kepala, seperti ujung rambut panjang pada wanita.
Allah berfirman: “dan sapulah kepalamu”. Al-Madinah, 6
Sesuai dengan hadist Rasulallah saw: ”bahwa Rasulallah saw berwudhu;lalu mengusap jambul dan atas serbannya” (HR.Muslim)
5. membasuh kaki hingga mata kaki.
Anggota selanjutnya adalah kaki, diwajibkan mengalirkan air dari ujung jari kaki sampai mata kaki atau sebaliknya.
Allah berfirman: “dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. al-Maidah,:6
6. tertib
Dan  yang  terakhir adalah melakukan 5 fardhu-fardhu diatas dgn tertib, tertib disini adalah melakukan fardhu dgn fadhu  yang  lain secara berurutan.
Tertib artinya teratur seperti membasuh muka dahulu baru tangan, tidak boleh sebaliknya sesuai dengan yang diajarkan Allah dalam ayat tersebut di atas dan hadist Rasulallah saw bahwa beliau tidak berwudhu’ kecuali dengan tertib
Maka, jika telah melakukan fardhu-fardhu  yang  disebutkan diatas, maka sah lah wudhu kita, dan kita boleh melakukan sholat, memegang Al-Quran, atau ibadah-ibadah lain yang diharuskan atau disunnahkan berwudhu sebelumnya.
Adapun berkumur-kumur, membasuh hidung, dan lainnya adalah hal sunnah, akan tetapi alangkah baiknya kita melakukan sunnah-sunnahnya, sehingga wudhu kita pun menjadi sempurna.
Diantara sunnah-sunnah wudhu adalah :
1. Memakai siwak atau mengosok gigi sebeulm berwudhu.
Rasulallah saw mengajarkan umatnya dengan sabdanya: “Seandainya aku tidak khawatir akan memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali akan shalat.” (HR Bukhari Muslim).
Sunah ini dilakukan kapan waktu ingin berwudhu kecuali di bulan puasa hukumnya makruh menggunakan siwak setelah waktu dhuhur.
Rasulallah saw bersabda: “Bau mulut orang yang berpuasa bagi Allah lebih wangi dari pada wangi misik” (HR Bukhari Muslim)
2. Membaca bismillah, dimulai dari pertama mencuci kedua telapak tangan.
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw: “berwudhulah kamu dengan bismillah – dengan nama Allah.” (HR al-Baihaqi dengan isnad jayyid)
3. Mencuci kedua telapak tangan.
Ustman dan Ali ra menyipatkan wudhu Rasulallah saw bahwa beliau mencuci tangan tiga kali (HR Bukhari Muslim)
4. Berkumur tiga kali
5. Memasukan air ke hidung dan mengeluarkanya.
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Tidaklah seorang diantara kalian mendekati air wudhunya, lalu dia berkumur, memasukkan air kedalam hidung dan membuangnya, kecuali keluar dosa-dosanya dari rongga hidungnya bersama sama air” (HR Muslim)
6- Mengusap seluruh kepala dari depan ke belakang
Sesuai dengan wudhu Rasulallah saw yang disipatkan oleh Abdullah bin Zeid ra “maka beliau mengusap kepalanya dengan kedua tanganya dari depan ke belakang dan dari belakan ke depan” (HR Bukhari Muslim)
7. Mengusap kedua telinga luar dan dalamnya dengan air baru.
Sesuai dengan wudhu Rasulallah saw: ”sesungguhnya beliau mengusap kepalanya dan kedua telinganya luar dan dalam lalu memasukan kedua jari telunjuknya kedalam lubang lubang telinganya (HR Abu Dawud dan an-Nasai’ – hadist hasan)
8. Membasuh jenggot yang tebal atau memasukan air wudhu ke dalam selah-selah jenggot dengan jari jari tangan.
Hal ini sesuai dengan yang dilakukan Rasulallah saw ketika berwudhu, ”beliau membasuh jenggotnya (dengan jari jari tangan)” (HR at-Tirmidzi)
9. Mecuci selah-selah tangan dan kaki.
Pernah Rasulallah saw bersabda kepada al-Qaith bin Shabrah: “Sempurnahkanlah wudhu’ dan cucilah selah-selah jari-jari” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi dengan isnad shahih)
10. Mendahulukan yang kanan sebelum yang kiri.
Ada sebuah hadist yang diriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata: ”Sesungguhnya Rasulallah saw menyukai yang kanan dalam segala urusanya, dalam berwudhu, dalam berjalan dan dalam memakai sandalnya” (HR Bukhari Muslim)
11. Membasuh dan mengusap semua anggota wudhu tiga kali-tiga kali
Sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Ustman bin Affan ra, ia berkata: ”sesungguhnya Rasulallah saw berwudhu tiga kali-tiga kali.” (HR Muslim)
12. Melebihi pengusapan kepala, begitu pula kedua tangan sampai ke atas siku dan kaki sampai di atas mata kaki.
Rasulallah saw berwasiat kepada umatnya dengan sabdanya: ”Akan datang umatku mereka memiliki cahaya putih di muka, cahaya putih di tangan dan cahaya putih di kaki pada hari kiamat karena penyempurnaan wudhu. Maka barang siapa di antara kalian yang mampu, hendaklah ia memanjangkan cahaya putih tersebut” (HR Bukhari Muslim)
13. Membaca do’a setelah selesai wudhu. Do’anya:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ  أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
”Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagiNya. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertobat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci. Maha Suci Engkau ya Allah, aku memuji kepadaMu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Engkau, aku minta ampun dan bertobat kepadaMu”
Rasulallah saw bersabda “barang siapa berwudhu lalu berkata:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
 ”Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagiNya. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya”, dibukakan baginya delapan pintu pintu surga dan masuk ke dalam pintu yang ia sukai (HR Muslim).
Begitu pula dalam hadist yang lain “Barang siapa bewudhu’ dan setelah selesai dari wudhunya ia berkata:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
”saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagiNya. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertobat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci”,dibukakan baginya pintu pintu surga dan masuk ke dalam pintu yang ia sukai (HR at-Tirmidzi, al-Bazzar dan at-Thabrani)
Dalam hadist lainnya Rasulallah saw bersabda: “Barangsiapa berwudu lalu berdo’a:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ  أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
“Maha suci Engkau Ya Allah, segala pujian untuk-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau, aku senantiasa memohon ampun dan bertaubat pada-Mu”,
maka akan dicatat baginya di kertas dan dicetak sehingga tidak akan rusak hingga hari kiamat.” (HR an-Nasai’, al-Hakim dalam al-Mustadrak)
Dari Humran ra bahwa Utsman ra meminta dibawakan seember air, kemudian beliau mencuci kedua tapak tangannya tiga kali, kemudian berkumur-kumur, kemudian memasukkan air ke hidung, kemudian mengeluarkannya. Lalu beliau membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh tangannya yang kanan hingga siku tiga kali, kemudian tangan yang kiri demikian juga, kemudian mengusap kepalanya, kemudian mencuci kaki kanannya hingga mata kaki tiga kali, kemudian kaki kiri sedemikian juga, kemudian beliau berkata, “Aku telah melihat Rasulullah SAW berwudhu sebagaimana wudhu’-ku ini. (HR Muttafaq ‘alaihi)
Hadits ini menjelaskan tata urutan wudhu’ Utsman bin Affan yang kemudian dikatakan bahwa begitulah Rasulullah SAW bila berwudhu’. Namun hadits ini tidak merinci mana yang merupakan rukun, wajib dan sunnnah wudhu’.
Batas membasuh tangan saat wudhu adalah hingga siku, dengan lafadz “ila” yang bermakna bahw siku ikut juga dibasuh. Ini berbeda dengan batas aurat laki-laki yang antara pusat dan lutut, sehingga lutut dan pusatnya sendiri bukan termasuk aurat.
Hadits ini juga menjelaskan bahwa sunnah membasuh tangan dan kaki tiga kali, dengan cara tangan atau kaki kanan dibasuh tiga kali lebih dulu, baru kemudian tangan atau kaki kiri dibasuh tiga kali setelahnya.
Kalau kita buka kitab-kitab fiqih, kita akan dapati para ulama telah membuat batasan dan klasifikasi hukum wudhu’, mana yang hukumnya wajib dan mana yang hukumnya sunnah.
1. Wudhu’ Yang Hukumnya Fardhu/ Wajib
Hukum wudhu` menjadi fardhu atau wajib manakala seseorang akan melakukan hal-hal berikut ini:
a. Melakukan Shalat
Baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Termasuk juga di dalamnya sujud tilawah. Dalilnya adalah ayat Al-Quran Al-Kariem berikut ini:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki… (QS. Al-Maidah: 6)
Juga hadits Rasulullah SAW berikut ini:
Dari Abi Hurairah ra bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidak ada shalat kecuali dengan wudhu’. Dan tidak ada wudhu’ bagi yang tidak menyebut nama Allah.(HR Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah)
Shalat kalian tidak akan diterima tanpa kesucian (berwudhu`) (HR Bukhari dan Muslim)
b. Untuk Menyentuh Mushaf Al-Quran Al-Kariem
Meskipun tulisan ayat Al-Quran Al-Kariem itu hanya ditulis di atas kertas biasa atau di dinding atau ditulis di pada uang kertas. Ini merupakan pendapat jumhur ulama yang didasarkan kepada ayat Al-Quran Al-Kariem.
Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci. (QS. Al-Waqi`ah: 79)
Serta hadits Rasulullah SAW berikut ini:
Tidaklah menyentuh Al-Quran Al-Kariem kecuali orang yang suci.(HR Ad-Daruquhtny: hadits dhaif namun Ibnu Hajar mengatakan: Laa ba`sa bihi)
c. Saat Ibadah Tawaf di Seputar Ka`bah
Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum berwudhu` untuk tawaf di ka`bah adalah fardhu. Kecuali Al-Hanafiyah. Hal itu didasari oleh hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Tawaf di Ka`bah itu adalah shalat, kecuali Allah telah membolehkannya untuk berbicara saat tawaf. Siapa yang mau bicara saat tawaf, maka bicaralah yang baik-baik.(HR Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Tirmizy)
2. Wudhu’ Yang Hukumnya Sunnah
Sedangkan yang bersifat sunnah adalah bila akan mengerjakan hal-hal berikut ini:
a. Mengulangi wudhu` untuk tiap shalat
Hal itu didasarkan atas hadits Rasulullah SAW yang menyunnahkan setiap akan shalat untuk memperbaharui wudhu` meskipun belum batal wudhu`nya. Dalilnya adalah hadits berikut ini:
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Seandainya tidak memberatkan ummatku, pastilah aku akan perintahkan untuk berwudhu pada tiap mau shalat. Dan wudhu itu dengan bersiwak. (HR Ahmad dengan isnad yang shahih)
Selain itu disunnah bagi tiap muslim untuk selalu tampil dalam keadaan berwudhu` pada setiap kondisinya, bila memungkinkan. Ini bukan keharusan melainkah sunnah yang baik untuk diamalkan.
Dari Tsauban bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Tidaklah menjaga wudhu` kecuali orang yang beriman`. (HR Ibnu Majah, Al-Hakim, Ahmad dan Al-Baihaqi)
c. Ketika Akan Tidur
Disunnahkan untuk berwuhu ketika akan tidur, sehingga seorang muslim tidur dalam keadaan suci. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW:
Dari Al-Barra` bin Azib bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Bila kamu naik ranjang untuk tidur, maka berwudhu`lah sebagaimana kamu berwudhu` untuk shalat. Dan tidurlah dengan posisi di atas sisi kananmu.. (HR Bukhari dan Tirmizy).
d. Sebelum Mandi Janabah
Sebelum mandi janabat disunnahkan untuk berwudhu` terlebih dahulu. Demikian juga disunnahkan berwudhu` bila seorang yang dalam keaaan junub mau makan, minum, tidur atau mengulangi berjimak lagi. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW:
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bila dalam keadaan junub dan ingin makan atau tidur, beliau berwudhu` terlebih dahulu. (HR Ahmad dan Muslim)
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bila ingin tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu` terlebih dahulu seperti wudhu` untuk shalat. (HR Jamaah)
Dan dasar tentang sunnahnya berwuhdu bagi suami isteri yang ingin mengulangi hubungan seksual adalah hadits berikut ini:
Dari Abi Said al-Khudhri bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Bila kamu berhubungan seksual dengan isterimu dan ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah berwuhdu terlebih dahulu.(HR Jamaah kecuali Bukhari)
e. Ketika Marah
Untuk meredakan marah, ada dalil perintah dari Rasulullah SAW untuk meredakannya dengan membasuh muka dan berwudhu`.
Bila kamu marah, hendaklah kamu berwudhu`. (HR Ahmad dalam musnadnya)
f. Ketika Membaca Al-Quran
Hukum berwudhu ketika membaca Al-Quran Al-Kariem adalah sunnah, bukan wajib. Berbeda dengan menyentuh mushaf menurut jumhur. Demikian juga hukumnya sunnah bila akan membaca hadits Rasulullah SAW serta membaca kitab-kitab syariah.
Diriwayatkan bahwa Imam Malik ketika mengimla`kan pelajaran hadits kepada murid-muridnya, beliau selalu berwudhu` terlebih dahulu sebagai takzim kepada hadits Rasulullah SAW.
g. Ketika Melantunkan Azan, Iqamat
Disunnahkan untuk berwudhu’ pada saat seorang muadzdzin melantunkan adzan dan iqamat untuk memanggil orang melakukan shalat.
h. Ziarah Ke Makam Nabi SAW
Dr. Wahbah Az-Zuhaili, seorang ulama kontemporer dari Syiria menyatakan dalam kitabnya bahwa kita disunnahkan untuk berwudhu’ manakala kita datang berziarah ke makam nabi Muhammad SAW di dalam masjid nabawi.
i. Menyentuh Kitab-kitab Syar`iyah
Beliau juga mengatakan bahwa berwudhu’ disunnahkan manakala memegang atau membaca kitab-kitab syariah. Seperti kitab tafsir, hadits, aqidah, fiqih dan lainnya. Namun bila di dalamnya lebih dominan ayat Al-Quran Al-Kariem, maka hukumnya menjadi wajib. (lihat Al-Fiqhul Islami wa adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili jilid 1 hal 362).
Demikian sekilas tentang momen-momen yang dianjurkan kepada kita untuk berwudhu’ di dalamnya. Semoga kita bisa mengamalkannya untuk menambah banyak pahala di akhirat nanti.
Wallahu a’lam bishshawab
۞ Niat ۞
(فصل ) النية : قصد الشيء مقترنا بفعله ، ومحلها القلب والتلفظ بها سنة ، ووقتها عند غسل أول جزء من الوجه ، والترتيب أن لا يقدم عضو على عضو .
Niat Dalam Wudhu
Wanniyyatu Qoshdu Asy-Syaii Muqtarinan Bifi’lihi . Wa Mahalluhaa Al-Qolbu . Wattalaffuzhu Bihaa Sunnatun . Wa Waqtuhaa ‘Inda Ghosli Awwali Juz’in Minal wajhi . Wattartiibu An Laa Tuqoddima ‘Udhwan ‘Alaa ‘Udhwin . 
Dan niat yaitu memaksudkan sesuatau berbarengan dengan perbuatannya . Dan tempat niat adalah hati . Dan melafazkan dengannya adalah sunah . Dan waktunya ketika membasuh awal bagian daripada wajah . Dan tertib yaitu bahwa tidak didahului satu anggota atasa anggota yang lain .
Niat wudhu’ adalah ketetapan di dalam hati seseorang untuk melakukan serangkaian ritual yang bernama wudhu’ sesuai dengan apa yang ajarkan oleh Rasulullah SAW dengan maksud ibadah. Sehingga niat ini membedakan antara seorang yang sedang memperagakan wudhu’ dengan orang yang sedang melakukan wudhu’.
Kalau sekedar memperagakan, tidak ada niat untuk melakukannya sebagai ritual ibadah. Sebaliknya, ketika seorang berwudhu’, dia harus memastikan di dalam hatinya bahwa yang sedang dilakukannya ini adalah ritual ibadah berdasar petunjuk nabi SAW untuk tujuan tertentu.
۞ Air ۞
(فصل ) الماء قليل وكثير : القليل مادون القلتين ، والكثير قلتان فأكثر.
Air Untuk Bersuci
Walmaau Qoliilun Wa Katsiirun . Al-Qoliilu Maa Duunal Qullataini . Walkatsiiru Qullataani Fa Aktsaru 
Dan air itu yaitu sedikit dan banyak . Yang sedikit adalah air yg kurang dari 2 kullah . Dan yang banyak yaitu 2 kullah atau lebih .
القليل يتنجس بوقوع النجاسة فيه وإن لم يتغير .
Al-Qoliilu Yatanajjasu Biwuquu’innajaasati Fiihi Wain Lam Yataghoyyar . 
Dan air yg sedikit menjadi najis ia dengan kejatuhan najis padanya walaupun tidak berubah rasa , warna , dan baunya .
والماء الكثير لا يتنجس إلا إذا تغير طعمه أو لونه أو ريحه.
Walkatsiiru Laa Yatanajjasu Illaa Idzaa Taghoyyaro Tho’muhu , Aw Lawnuhu , Aw Riihuhu . 
Dan air yg banyak tidaklah ia menjadi najis kecuali jika berubah rasa , atau warnanya , atau baunya .
2 Kullah bila diukur dengan liter yaitu 216 liter kurang lebih , bila diukur wadahnya yaitu 60 cm X 60 cm x 60 cm . Air yang kurang dari 2 kullah menjadi musta’mal bila terciprat air bekas bersuci yaitu bila terciprat air basuhan yang pertama karena basuhan yang pertamalah yang wajib. Adapun bila air itu kurang dari 2 kullah maka lebih baik diambil dengan gayung, jangan dimasukkan dengan tangan (dikobok) . Demikianlah jawaban kami , semoga Anda dapat memahaminya . Wallahu Yahdi Ila Sawaissabil 
Macam-macam air dan pembagiannya.
1. Air yang suci dan mensucikan.
Air ini ialah air yang boleh diminum dan dipakai untuk menyucikan(membersihkan) benda yang lain. Yaitu air yang yang masih murni yang jatuh dari langit atau terbit dari bumi dan masih tetap belum berubah keadaannya, seperti; air hujan air laut, air sumur, air es yang sudah hancur kembali, air embun, dan air yang keluar dari mata air.
Allah berfirman dalam QS Al-Anfal ayat 11: “Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu.”
Perubahan air yang tidak menghilangkan keadaan atau sifatnya’suci menyucikan’. Walaupun perubahan itu terjadi salah satu dari semua sifatnya yang tiga(warna,rasa dan baunya) adalah sebagai berikut:
1. Berubah karena tempatnya, seperti air yang tergenang atau mengalir di batu belerang.
2. Berubah karena lama tersimpan, seperti air kolam.
3. Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya, seperti berubah karena ikan atau kiambang.
4. Berubah karena tanah yang suci, begitu juga berubah yang sukar memeliharanya misalnya berubah karena daun-daunan yang jatuh dari poho-pohon yang berdekatan dengan sumur atau tempat-tempat air yang lainnya.
2. Air suci tetapi tidak menyucikan
Zatnya suci tetapi tidak sah dipakai untuk menyucikan sesuatu. Yang termasuk dalam kategori ini ada tiga macam air :
a. air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan sesuatu benda yang suci, selain dari perubahan yang tersebut di atas seperti air teh, air kopi, dan sebagainya.
b. Air sedikit kurang dari dua kulah (tempatnya persegi panjang yang mana panjangnya, lebarnya,dalamnya 1 1/4 hasta.kalau tempatnya bundar maka garis tengahnya 1 hasta, dalam 2 ¼ hasta, dan keliling 3 1/7hasta.) sudah terpakai untuk menghilangkan hadas atau menghilangkan hukum najis. Sedangkan air itu tidak berubah sifatnya dan tidak pula bertambah timbangannya.
c. Air pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dari tekukan pohon kayu(air nira), air kelapa dan sebagainya.
3. Air yang bernajis
Air yang termasuk bagian ini ada dua macam :
a. Sudah berubah salah satu sifatnya oleh najis. Air ini tidak boleh dipakai lagi, baik airnya sedikit atau banyak , sebab hukumnya seperti najis.
b. Air bernajis tetapi tidak berubah salah satu sifatnya. Air ini kalau sedikit- berarti urang dari dua kulah –tidak boleh dipakai lagi, bahkan hukumnya sama dengan najis. Kalau air itu banyak berarti dua kulah atau lebih, hukumnya tetap suci dan menyucikan.
Rasulullah bersabda Saw : Air itu tidak dinajisi sesuatu, kecuali apbila berubah rasa, wana atau baunya.”(Riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi).
Dalam hadist lain Rasul Saw: ‘Apabila air cukup dua kulah, tidaklah dinajisi oleh sesuatu apapun.(Riwayat oleh lima ahli hadist)
4. Air yang makruh
Yaitu air yang terjemur oleh matahari dalam bejana selain bejana emas atau perak. Air ini makruh dipakai untuk badan. Tetapi tidak makruh untuk pakaian; kecuali air yang terjemur di tanah, seperi air sawah, air kolam, dan tempat tempat yang bukan bejana yang mungkin berkarat.
Sabda Rasulullah Saw. Dari Aisyah .Sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari. Maka Rasulullah Saw. Berkata kepadanya , ‘Jangan engkau berbuat demikian, ya Aisyah. Sesungguhnya air yang dijemur itu akan menimbulkan sopak.(penyakit kulit)”(Riwayat Baihaqi).
۞ Mandi Wajib ۞
(فصل ) موجبات الغسل ستة: إيلاج الحشفة في الفرج ، وخروج المنى والحيض والنفاس والولادة والموت .
Tetang Mandi Wajib
Muujibaatul Ghusli Sittatun : Iilaajul Hasyafati Fil Farji , Wakhuruujul Maniyyi , Wal Haidhu , Wannifaasu , Wal Wilaadatu , Wal Mautu . 
Segala yang mewajibkan mandi yaitu 6 : Memasukkan Hasyafah pada Farji , dan keluar mani , dan haidh , dan nifas , dan wiladah , dan mati .
Perkara yang Mewajibkan Mandi ada Enam
Pertama, Memasukkan Hasyafah/penis (alat kelamin laki-laki) ke dalam farji/vagina (alat kelamin perempuan). Hal ini yang diwajibkan mandi adalah kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan yang melakukannya.
Dan istilah ini disebutkan dengan maksud persetubuhan (jima`). Dan para ulama membuat batasan : dengan lenyapnya kemaluan (masuknya) ke dalam faraj wanita atau faraj apapun baik faraj hewan. Termasuk juga bila dimasukkan ke dalam dubur, baik dubur wanita ataupun dubur laki-laki, baik orang dewasa atau anak kecil. Baik dalam keadaan hidup ataupun dalam keadaan mati. Semuanya mewajibkan mandi, di luar larangan perilaku itu.
Hal yang sama berlaku juga untuk wanita, dimana bila farajnya dimasuki oleh kemaluan laki-laki, baik dewasa atau anak kecik, baik kemaluan manusia maupun kemaluan hewan, baik dalam keadaan hidup atau dalam keadaan mati, termasuk juga bila yang dimasuki itu duburnya.Semuanya mewajibkan mandi, di luar masalah larangan perilaku itu.
Semua yang disebutkan di atas termasuk hal-hal yang mewajibkan mandi, meskipun tidak sampai keluar air mani. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :
عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله ِ صلى الله عليه وسلم قال : إذا التقى الختانان أو مس الختان الختان وجب الغسل فعلته أنا ورسول الله فاغتسلنا
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Bila dua kemaluan bertemu atau bila kemaluan menyentuh kemaluan lainnya, maka hal itu mewajibkan mandi janabah. Aku melakukannya bersama Rasulullah SAW dan kami mandi.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  إذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ , ثُمَّ جَهَدهَا , فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ – وَزَادَ مُسْلِمٌ : ” وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ ”
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Bila seseorang duduk di antara empat cabangnya kemudian bersungguh-sungguh (menyetubuhi), maka sudah wajib mandi. (HR. Muttafaqun `alaihi).Dalam riwayat Muslim disebutkan : “Meski pun tidak keluar mani”
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُواْ
“Dan jika kalian junub maka mandilah.” (QS. Al-Maidah: 6)
Kedua, Keluar Mani (Sperma). Baik keluarnya dengan sebab bermimpi dalam keadaan tidur atau keluar dalam keadaan terjaga, tetap mewajibkan mandi. Begitu pun keluar mani tidak disengaja atau disengaja, tetapi wajib mandi.
Ciri-ciri air mani (seperma) yaitu
Baunya bagaikan adonan roti atau seperti manggar kurma,
Warnanya bagaikan warna putih telur,
Keluar dengan menyemburat (muncrat),
Keluarnya terasa nikmat dan enak.
 sabda Rasulullah SAW berikut ini :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله تعالى عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  الْمَاءُ مِنْ الْمَاءِ  رَوَاهُ مُسْلِمٌ , وَأَصْلُهُ فِي الْبُخَارِيِّ
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya air itu (kewajiban mandi) dari sebab air (keluarnya sperma). (HR. Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dari Abu Sa’id berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Mandi diwajibkan dikarenakan keluar air mani.” (HR. Muslim)
Diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Ummu Sulaim berkata,’Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah tidak malu tentang masalah kebenaran, apakah wanita wajib mandi apabila dia bermimpi? Nabi saw menjawab,’Ya, jika dia melihat air.” (HR. Bukhori Muslim dan lainnya)
Ketiga, haidl. Darah haidl/menstruasi adalah darah yang keluar dalam kondisi perempuan sehat, tidak dalam keadaan setelah melahirkan, warna darahnya merah pekat, dan panas.
Allah Ta’ala berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, “Haid itu adalah suatu kotoran (najis)”. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid. Dan janganlah kalian mendekati (melakukan jima’ dengan) mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah bersuci (mandi), maka datangilah (jima’) mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Sabda Rasulullah saw kepada Fatimah binti Abu Hubaisy ra adalah,”Tinggalkan shalat selama hari-hari engkau mendapatkan haid, lalu mandilah dan shalatlah.” (Muttafaq Alaih)
Keempat, Nifas. Darah yang keluar setelah atau bersamaan dengan melahirkannya anak.
Nifas itu mewajibkan mandi janabah, meski bayi yang dilahirkannya itu dalam keadaan mati. Begitu berhenti dari keluarnya darah sesudah persalinan/melahirkan, maka wajib atas wanita itu untuk mandi janabah.
Hukum nifas dalam banyak hal, lebih sering mengikuti hukum haidh. Sehingga seorang yang nifas tidak boleh shalat, puasa, thawaf di baitullah, masuk masjid, membaca Al-Quran, menyentuhnya, bersetubuh dan lain sebagainya.
Kelima, Melahirkan walaupun tidak keluar darah.
Seorang wanita yang melahirkan anak, meski anak itu dalam keadaan mati, maka wajib atasnya untuk melakukan mandi janabah. Bahkan meski saat melahirkan itu tidak ada darah yang keluar. Artinya tidak mengalami nifas, namun tetap wajib atasnya untuk mandi lantaran persalinan yang dialaminya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa `illat atas wajib mandinya wanita yang melahirkan adalah karena anak yang dilahirkan itu pada hakikatnya adalah mani juga, meski sudah berubah wujud menjadi manusia. Dengan dasar itu, maka bila yang lahir bukan bayi tapi janin sekalipun, tetap diwajibkan mandi, lantaran janin itu pun asalnya dari mani.
Keenam, Kematian. Dengan dua syarat, 1). Orang Islam dan 2). Bukan mati syahid. Jika orang kafir atau orang yang mati syahid maka tidak wajib atau tidak boleh memandikannya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda dalam keadaan berihram terhadap seorang yang meninggal terpelanting oleh ontanya,”Mandikan dia dengan air dan daun bidara.” (HR.Bukhori Muslim)
۞ Fardhu Mandi ۞
(فصل ) فروض الغسل اثنان : النية ، وتعميم البدن بالماء .
Furuudhul Ghusli Itsnaani : Anniyyatu , Wata’miimul Badani Bil Maa’i .
Fardhu-fardhu mandi yaitu 2 : Niat , dan meratakan badan dengan air .
Untuk melakukan mandi janabah, maka ada dua hal yang harus dikerjakan karena merupakan rukun/pokok:
1. Niat dan menghilangkan najis dari badan bila ada.
Sabda Nabi SAW: Semua perbuatan itu tergantung dari niatnya. (HR Bukhari dan Muslim)
Niat ini dibaca di dalam hati pada saat mulai membasuh bagian manapun dari tubuh. Adapun lafal niat MANDI adalah:
NAWAITUL GHUSLA LIRAF’IL HADATSIL AKBARI FARDHAN LILLAAHITA’AALAA.
Artinya (“aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar fardhu karena Allah taala”).
2. Meratakan Air Hingga ke Seluruh Badan
Seluruh badan harus rata mendapatkan air, baik kulit maupun rambut dan bulu. Baik akarnya atau pun yang terjuntai. Semua penghalang wajib dilepas dan dihapus, seperti cat, lem, pewarna kuku atau pewarna rambut bila bersifat menghalangi masuknya air. Sedangka pacar kuku (hinna`) dan tato, tidak bersifat menghalangi sampainya air ke kulit, sehingga tetap sah mandinya, lepas dari masalah haramnya membuat tato. 
Menghilangkan najis dari badan sesunguhnya merupakan syarat sahnya mandi janabah. Dengan demikian, bila seorang akan mandi janabah, disyaratkan sebelumnya untuk memastikan tidak ada lagi najis yang masih menempel di badannya. Caranya bisa dengan mencucinya atau dengan mandi biasa dengan sabun atau pembersih lainnya. Adapun bila najisnya tergolong najis berat, maka wajib mensucikannya dulu dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.
Tata Cara Mandi Janabah
Pertama kedua tangan dicuci, kemudian mandi pertama kepala, kemudian terus dari bagian sebelah kanan, kemudian kiri, terakhir cuci kaki.
Adapun urutan-urutan tata cara mandi junub, adalah sebagai berikut
Mencuci kedua tangan dengan tanah atau sabun lalu mencucinya sebelum dimasukan ke wajan tempat air
Menumpahkan air dari tangan kanan ke tangan kiri
Mencuci kemaluan dan dubur.
Najis-nsjis dibersihkan
Berwudhu sebagaimana untuk sholat, dan mnurut jumhur disunnahkan untuk mengakhirkan mencuci kedua kaki
Memasukan jari-jari tangan yang basah dengan air ke sela-sela rambut, sampai ia yakin bahwa kulit kepalanya telah menjadi basah
Menyiram kepala dengan 3 kali siraman
Membersihkan seluruh anggota badan
Mencuci kaki, dalil :
Aisyah RA berkata,`Ketika mandi janabah, Nabi SAW memulainya dengan mencuci kedua tangannya, kemudian ia menumpahkan air dari tangan kanannya ke tangan kiri lalu ia mencuci kemaluannya kemudia berwudku seperti wudhu` orang shalat. Kemudian beliau mengambil air lalu memasukan jari-jari tangannya ke sela-sela rambutnya, dan apabila ia yakin semua kulit kepalanya telah basah beliau menyirami kepalnya 3 kali, kemudia beliau membersihkan seluruh tubhnya dengan air kemudia diakhir beliau mencuci kakinya (HR Bukhari/248 dan Muslim/316)
Sunnah-sunnah Yang Dianjurkan Dalam Mandi Janabah:
Membaca basmalah
Membasuh kedua tangan sebelum memasukkan ke dalam air
Berwudhu` sebelum mandi Aisyah RA berkata,`Ketika mandi janabah, Nabi SAW berwudku seperti wudhu` orang shalat (HR Bukhari dan Muslim)
Menggosokkan tangan ke seluruh anggota tubuh. Hal ini untuk membersihkan seluruh anggota badan.
Mendahulukan anggota kanan dari anggota kiri seperti dalam berwudhu`.
Mandi Janabah Yang Hukumnya Sunnah
Selain untuk `mengangkat` hadats besar, maka mandi janabah ini juga bersifat sunnah -bukan kewajiban-untuk dikerjakan (meski tidak berhadats besar), terutama pada keadaan berikut:
Shalat Jumat
Shalat hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha
Shalat Gerhana Matahari (Kusuf) dan Gerhana Bulan (Khusuf)
Shalat Istisqa`
Sesudah memandikan mayat
Masuk Islam dari kekafiran
Sembuh dari gila
Ketika akan melakukan ihram.
Masuk ke kota Mekkah
Ketika Wukuf di Arafah
Ketika akan Thawaf, menurut Imam Syafi`i itu adalah salah satu sunnah dalam berthawaf
Bagi muslim yang keluar mani sengaja atau tidak, maka dia dalam keadaan junub, sehingga harus disucikan dengan mandi wajib. Jika tidak mandi, maka shalatnya tidak sah.
Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Ketika Mandi Junub :
a. Mendahulukan anggota kanan dari anggota kiri seperti dalam berwudhu`. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan oleh hadits dari Aisyah, ia berkata:
`Rasulullah SAW menyenangi untuk mendahulukan tangan kanannya dalam segala urusannya; memakai sandal, menyisir dan bersuci` (HR Bukhori/5854 dan Muslim/268)
b. Tidak perlu berwudhu lagi setelah mandi. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits dari Aisyah RA, ia berkata:
Rasulullah SAW mandi kemudian sholat dua rakaat dan sholat shubuh, dan saya tidak melihat beliau berwudhu setelah mandi (HR Abu Daud, at-Tirmidzy dan Ibnu Majah)
Mandi Haid
Agar ibadah kita diterima Allah maka dalam melaksanakan salah satu ajaran islam ini, kita harus melaksanakannya sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan Rasulullah telah menyebutkan tata cara mandi haid dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwa Asma’ binti Syakal Radhiyallahu ‘Anha bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang mandi haidh, maka beliau bersabda:
تَأْخُذُإِحْدَا كُنَّ مَائَهَا وَسِدْرَهَا فَتََطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ أوْ تَبْلِغُ فِي الطُّهُورِ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُُهُ دَلْكًا شَدِ يْدًا حَتََّى تَبْلِغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا المَاءَ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطْهُرُ بِهَا قَالَتْ أسْمَاءُ كَيْفَ أتََطَهَّرُبِهَا قَالَ سُبْحَانَ الله ِتَطَهُّرِي بِهَا قَالَتْْ عَائِشَةُ كَأنَّهَا تُخْفِي ذَلِكَ تَتَبَّعِي بِهَا أثَرَالدَّمِ
“Salah seorang di antara kalian (wanita) mengambil air dan sidrahnya (daun pohon bidara, atau boleh juga digunakan pengganti sidr seperti: sabun dan semacamnya-pent) kemudian dia bersuci dan membaguskan bersucinya, kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya lalu menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga air sampai pada kulit kepalanya, kemudian dia menyiramkan air ke seluruh badannya, lalu mengambil sepotong kain atau kapas yang diberi minyak wangi kasturi, kemudian dia bersuci dengannya. Maka Asma’ berkata: “Bagaimana aku bersuci dengannya?” Beliau bersabda: “Maha Suci Allah” maka ‘Aisyah berkata kepada Asma’: “Engkau mengikuti (mengusap) bekas darah (dengan kain/kapas itu).”
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwa seorang wanita bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang mandi dari haid. Maka beliau memerintahkannya tata cara bersuci, beliau bersabda:
تَأْخُذُ فِرْصَةً مِنْ مِسْكٍ فَتَطَهُّرُ بِهَا قَالَتْ كَيْفَ أَتَطَهُّرُ بِهَاقَالَ تَطَهَّرِي بِهَاسُبْحَانَ اللهِ.قَالَتْ عَائِشَةُ وَاجْتَذَبْتُهَا إِلَيَّ فَقُلْتُ تَتَبْعِي بِهَاأَثَرَا لدَّمِ
“Hendaklah dia mengambil sepotong kapas atau kain yang diberi minyak wangi kemudian bersucilah dengannya. Wanita itu berkata: “Bagaimana caranya aku bersuci dengannya?” Beliau bersabda: “Maha Suci Allah bersucilah!” Maka ‘Aisyah menarik wanita itu kemudian berkata: “Ikutilah (usaplah) olehmu bekas darah itu dengannya(potongan kain/kapas).” (HR. Muslim: 332)
An-Nawawi rahimahullah berkata (1/628): “Jumhur ulama berkata (bekas darah) adalah farji (kemaluan).” Beliau berkata (1/627): “Diantara sunah bagi wanita yang mandi dari haid adalah mengambil minyak wangi kemudian menuangkan pada kapas, kain atau semacamnya, lalu memasukkannya ke dalam farjinya setelah selesai mandi, hal ini disukai juga bagi wanita-wanita yang nifas karena nifas adalah haid.” (Dinukil dari Jami’ Ahkaam an-Nisaa’: 117 juz: 1).
Syaikh Mushthafa Al-’Adawy berkata: “Wajib bagi wanita untuk memastikan sampainya air ke pangkal rambutnya pada waktu mandinya dari haidh baik dengan menguraikan jalinan rambut atau tidak.Apabila air tidak dapat sampai pada pangkal rambut kecuali dengan menguraikan jalinan rambut maka dia (wanita tersebut) menguraikannya-bukan karena menguraikan jalinan rambut adalah wajib-tetapi agar air dapat sampai ke pangkal rambutnya, Wallahu A’lam.” (Dinukil dari Jami’ Ahkaam An-Nisaa’ hal: 121-122 juz: 1 cet: Daar As-Sunah).
Maka wajib bagi wanita apabila telah bersih dari haidh untuk mandi dengan membersihkan seluruh anggota badan; minimal dengan menyiramkan air ke seluruh badannya sampai ke pangkal rambutnya; dan yang lebih utama adalah dengan tata cara mandi yang terdapat dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ringkasnya sebagai berikut:
Wanita tersebut mengambil air dan sabunnya, kemudian berwudhu’ dan membaguskan wudhu’nya.
Menyiramkan air ke atas kepalanya lalu menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga air dapat sampai pada tempat tumbuhnya rambut. Dalam hal ini tidak wajib baginya untuk menguraikan jalinan rambut kecuali apabila dengan menguraikan jalinan akan dapat membantu sampainya air ke tempat tumbuhnya rambut (kulit kepala).
Menyiramkan air ke badannya.
Mengambil secarik kain atau kapas(atau semisalnya) lalu diberi minyak wangi kasturi atau semisalnya kemudian mengusap bekas darah (farji) dengannya.
TATA CARA MANDI JUNUB BAGI WANITA
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, beliau berkata:
كُنَّاإِذَأَصَابَتْ إِحْدَانَاجَنَابَةٌأَخَذَتْ بِيَدَيْهَاثَلَاثًافَوْقَ رَأْسَهَا ثُمَََّ تَأْخُذُ بِيَدِهَا عَلَى شِقِّهَاالْأيَْمَنِ وَبِيَدِهَااْلأُخْرَى عََََلَى شِقِّهَااْلأ يْسَرِ
“Kami ( istri-istri Nabi) apabila salah seorang diantara kami junub, maka dia mengambil (air) dengan kedua telapak tangannya tiga kali lalu menyiramkannya di atas kepalanya, kemudian dia mengambil air dengan satu tangannya lalu menyiramkannya ke bagian tubuh kanan dan dengan tangannya yang lain ke bagian tubuh yang kiri.” (Hadits Shahih riwayat Bukhari: 277 dan Abu Dawud: 253)
Seorang wanita tidak wajib menguraikan (melepaskan) jalinan rambutnya ketika mandi karena junub, berdasarkan hadits berikut:
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha berkata:
قُاْتُ ياَرَسُولَ اللهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَرَأْسِي أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ قَالَ:لاَإِنَّمَايَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِيْنَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ مِنْ مَاءٍثُمََّ تُفِيْضِيْنَ عَلَى سَائِرِ جَسَادِكِ الماَءَ فَتَطْهُرِيْن
Aku (Ummu Salamah) berkata: “Wahai Rasulullah, aku adalah seorang wanita, aku menguatkan jalinan rambutku, maka apakah aku harus menguraikannya untuk mandi karena junub?” Beliau bersabda: “Tidak, cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu tiga kali kemudian engkau mengguyurkan air ke badanmu, kemudian engkau bersuci.” (Hadits Shahih riwayat Muslim, Abu Dawud: 251, an-Nasaai: 1/131, Tirmidzi:1/176, hadits: 105 dan dia berkata: “Hadits Hasan shahih,” Ibnu Majah: 603)
Ringkasan tentang mandi junub bagi wanita adalah:
Seorang wanita mengambil airnya, kemudian berwudhu dan membaguskan wudhu’nya (dimulai dengan bagian yang kanan).
Menyiramkan air ke atas kepalanya tiga kali.
Menggosok-gosok kepalanya sehingga air sampai pada pangkal rambutnya.
Mengguyurkan air ke badan dimulai dengan bagian yang kanan kemudian bagian yang kiri.
Tidak wajib membuka jalinan rambut ketika mandi.
Tata cara mandi yang disebutkan itu tidaklah wajib, akan tetapi disukai karena diambil dari sejumlah hadits-hadits Rasululllah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Apabila dia mengurangi tata cara mandi sebagaimana yang disebutkan, dengan syarat air mengenai (menyirami) seluruh badannya, maka hal itu telah mencukupinya. Wallahu A’lam bish-shawab.
۞ Syarat Wudhu ۞
(فصل ) شروط الوضوء عشرة : الإسلام ، والتمييز ، والنقاء ، عن الحيض ، والنفاس ، وعما يمنع وصول الماء إلى البشرة ، وأن لا يكون على العضو ما يغير الماء الطهور ، ودخول الوقت ، والموالاة لدائم الحدث.
Wudhu
Syuruuthul Wudhuui ‘Asyarotun : Al-Islamu , Wattamyiizu , Wannaqoou ‘Anil Haidhi Wannifaasi Wa’an Maa Yamna’u Wushuulal Maai Ilal Basyaroti , Wa An Laa Yakuuna ‘Alal ‘Udhwi Maa Yughoyyirul Maa-a , Wal’ilmu Bifardhiyyatihi , Wa An Laa Ya’taqida Fardhon Min Furuudhihi Sunnatan , Wal Maau Ath-Thohuuru , Wadukhuulul Waqti , Wal Muwaalatu Lidaaimil Hadatsi . 
Syarat-syarat Wudhu  yaitu 10 : Islam ,Tamyiz , dan suci dari haid dan nifas dan dari sesuatu yg mencegah sampainya air kepada kulit , dan bahwa tidak ada atas anggota oleh sesuatu yg mengubah air , dan mengetahui dengan segala fardhunya , dan bahwa ia tidak mengi’tiqodkan akan fardhu daripada fardhu-fardhunya sebagai sunat , dan air yg suci , dan masuk waktu , dan berturut-turut bagi orang yg senantiasa berhadas .
Syarat– Syarat Wudhu` ada sepuluh, yaitu:
1- Islam.
2- Tamyiz (cukup umur dan ber’akal).
3- Suci dari haidh dan nifas.
4- Lepas dari segala hal dan sesuatu yang bisa menghalang sampai air ke kulit.
5- Tidak ada sesuatu disalah satu anggota wudhu` yang merubah keaslian air.
6- Mengetahui bahwa hukum wudhu` tersebut adalah wajib.
7- Tidak boleh beri`tiqad (berkeyakinan) bahwa salah satu dari fardhu–fardhu wudhu` hukumnya sunnah (tidak wajib).
8- Kesucian air wudhu` tersebut.
9- Masuk waktu sholat yang dikerjakan.
10- Muwalat . 
Dua syarat terakhir ini (9-10) khusus untuk da`im al-hadats (orang yang sering berhadast/sering batal)
۞ Batal Wudhu ۞
(فصل ) نوا قض الوضوء أربعة أشياء : (الأول) الخارج من أحد السبيلين من قبل أو دبر ريح أو غيره إلا المنى ، (الثاني ) زوال العقل بنوم أو غيره إلا نوم قاعد ، ممكن مقعده من الأرض ، (الثالث) التقاء بشرتي رجل وامرأة كبيرين من غير حائل ، (الرابع ) مس قبل الآدمي أو حلقة دبره ببطن الراحة أو بطون الأصابع .
Yang Membatalkan Wudhu
Nawaaqidul Wudhuui Arba’atu Asyyaa-a : Al-Awwalu Al-Khooriju Min Ihdassabilaini Minal Qubuli Wadduuri Riihun Aw Ghoyruhu Illal Maniyya , Ats-Tsaani Zawaalul ‘Aqli Binaumin Aw Ghoyrihi Illaa Nauma Qoo’idin Mumakkanin Maq’adahu Minal Ardhi , Ats-Tsaalitsu Iltiqoou Basyarotai Rojulin Wamroatin Kabiiroini Ajnabiyyaini Min Ghoyri Haailin , Ar-Roobi’u Massu Qubulil Aadamiyyi Aw Halqoti Duburihi Bibathnil Kaffi Aw Buthuunil Ashoobi’i . 
Segala yang membatalkan wudhu yaitu 4 perkara : Yang pertama yang keluar daripada salah satu dari 2 jalan daripada kubul dan dubur angin atau selainnya kecuali air mani ,  yang  kedua hilang akal dengan sebab tidur atau selainnya kecuali tidurnya orang  yang  duduk  yang  menetapkan punggungnya daripada bumi ,  yang  ketiga bertemunya 2 kulit laki-laki dan perempuan besar keduanya orang lain keduanya dari tanpa dinding ,  yang  keempat menyentuh kubul manusia atau bulatan duburnya dengan telapak tangan atau perut jari-jari
Yang Membatalkan Wudhu
1. Keluarnya sesuatu dari aurat depan dan belakang
Firman Allah: “dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu” al-Maidah, 6.
Rasulullah saw bersabda “Tidaklah batal wudhu seseorang kecuali keluar suara atau bau (dari aurat belakan) (HR at-Tirmidzi).
Rasulullah  saw bersabda: “tentang mazi, hendaknya ia membasuh kemaluannya lalu berwudhu” (HR Bukhari dan Muslim). Sedang keluar mani hukumnya tidak membatalkan wudhu karena mempunyai kewajiban yang lebih besar yaitu mandi junub.
2. Hilangnya akal karena mabuk, gila, pingsan dan tidur.
Dari Aisyah ra ia berkata: ”sesungguhnya Nabi saw pernah pingsan lalu sadar, maka beliau mandi (HR Bukhari Muslim).
Tidur berat jika dilakukan dengan berbaring membatalkan wudhu. Rasulullah saw. bersabda, “Mata adalah tali dubur, maka barang siapa yang tidur hendaknya berwudu.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Sedangkan tidur sambil duduk (dengan mantap) kemudian bangun, boleh mengerjakan shalat tanpa berwudhu lagi. Menurut Anas bin Mâlik, sahabat-sahabat Nabi pun terkadang tidur sambil duduk sampai kepala mereka tertunduk untuk menanti datangnya shalat Isya. Kemudian mereka mengerjakan shalat tanpa berwudhu lagi. (Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Daud, dan at-Tirmidzi)
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW
من نام فليتوضأ رواه أبو داود وابن ماجة.
Siapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu` (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang membuat hilangnya kesadaran seseorang. Termasuk juga tidur dengan berbaring atau bersandar pada dinding. Sedangkan tidur sambil duduk yang tidak bersandar kecuali pada tubuhnya sendiri, tidak termasuk yang membatalkan wudhu` sebagaimana hadits berikut :
عن أنس رضي الله عنه قال كان أصحاب رسول الله ينامون ثم يصلون ولا يتوضؤن – رواه مسلم – وزاد بو داود : حتى تخفق رؤسهم وكان ذلك على عهد رسول الله
Dari Anas ra berkata bahwa para shahabat Rasulullah SAW tidur kemudian shalat tanpa berwudhu` (HR. Muslim) – Abu Daud menambahkan : Hingga kepala mereka terkulai dan itu terjadi di masa Rasulullah SAW.
3. Bersentuhan kulit laki laki dan perempuan dewasa yang bukan mahram tanpa pembalut hukumnya batal wudhu penyetuh dan yang disentuh karena keduanya merasakan kelezatan sentuhan
Allah berfirman: ”atau menyentuh perempuan” (al-Maidah: 6)
Bersentuhan dengan mahram atau anak kecil hukumnya tidak membatalkan wudhu, begitu pula menyentuh rambut, gigi dan kuku karena tidak merasakan kelezatan sentuhan
Bersentuhan dengan Istri Membatalkan Wudhu Persentuhan kulit laki-laki dewasa dengan wanita dewasa yang bukan mahram (termauk juga istri) tanpa penghalang dapat membatalkan wudhu. Dalam kitab al-Iqna pada Hamisyi albujairimi juz I, halaman 171 sebagai berikut:
..والرابع من نواقض الوضوء لمــــس الرجل ببشرته المرأة الأجنبية أى بشرتها من غير حائل.
…hal keempat membatalkan wudhu adalah bersentuhan kulit laki-laki dewasa dengan perempuan dewasa lain (yang bukan muhrim) tanpa ada penghalang.
Begitu juga yang dijelaskan dalam hadits dari Muadz bin Djabal.
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتاه رجل فقال: يارسول الله ما تقول فى رجل لقي امرأة لايعرفها وليس يأتى الرجل من امرأته شيئا إلاأتاه منها غير أنه لم يجامعها قال فأنزل الله عز وجل هذه الأية أقم الصلاة  طرفي النهار وزلفا من الليل, قال فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم : توضاء ثم صل..! قال معاذ فقلت يارسول الله أله خاصة أم للمؤمنين عامة؟ فقال:بل للمؤمنين عامة (رواه أحمد والدارقطنى
Rasulullah saw. kedatangan seorang lelaki lalu berkata: ya Rasulullah, apa pendapatmu tentang seorang lelaki bertemu dengan perempuan yang tak dikenalnya. Dan mereka bertemu tidak seperti layaknya suimi-istri, tidak juga bersetubuh. Namun, hanya itu saja (bersetubuh) yang tidak dilakukannya. Kata Rawi Maka turunlah ayat       أقم الصلاة طرفي النهار وزلفا من الليل . Rawi bercerita: Maka rasulullah saw bersabda: berwudhulah kamu kemudian sembahyanglah. Muadz berkata ”wahai Rasulullah apakah perintah ini hanya untuk orang ini, atau umum untuk semua orang mu’min? Rasulullah saw menjawab “untuk semua orang mu’min’ (HR. Ahmad Addaruquthni) 
Ada juga hadits lain yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar dari ayahnya:
(قبلة الرجل امرأته وجسه بيده من الملامسة فمن قبل امرأته أوجسها بيده فعليه الوضوء (رواه مالك فى الموطأ والشافعى
Sentuhan tanagn seorang laki-laki terhadap istrinya dan kecupannya termasuk pada bersentuhan (mulamasah). Maka barangsiapa mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangan, wajiblah atasnya berwudhu (HR. Malik dalam Muwattha’ dan as-Syafi’i)
Hadits ini jelas menerangkan bahwa bersentuhan dengan istri itu membatalkan wudhu seperti halnya batalnya wudhu karena mencium istri sendiri.
Seperti yang ditekankan dalam salah satu riwayat Ibnu Haitam, bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata:
اللمس ما دون الجماع
Yang dimaksud dengan sentuh (allamsu) adalah selain jima’.
Ini berarti bersentuhan dengan istri tanpa penghalang baik sengaja atapun tidak membatalkan wudhu. Lebih jelas lagi riwayat atThabrani:
يتوضأ الرجل من المباشرة ومن اللمس بيده ومن القبلة
Berwudhulah lelaki karena berlekatan, bersentuhan dengan tangan dan karena ciuman.
4. Menyentuh aurat (kemaluan) dan dubur belakang dengan telapak tangan.
Sesuai dengan sabda  Rasulullah  saw: “Jika seseorang menyentuh kemaluannya (dengan telapak tangan) maka hendaknya ia berwudhu, dalam riwayat lain: barang siapa menyentuh kemaluannya maka hendaknya ia berwudhu” (HR. Malik, Syafie, Abu Daud dengan isnad shahih).
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
من مس ذكره فليتوضأ – رواه أحمد والترمذي
Dari bisrah binti Shafwan Siapa yang menyentuh kemaluannya maka harus berwudhu (HR. Ahmad)
Al-Bukhari mengomentari hadits ini sebagai hadits yang paling shahih dalam masalah ini. Dan Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih berdasarkan syarat dari Bukhari dan Muslim.
Para ulama kemudian menetapkan dari hadits ini bahwa segala tindakan yang masuk dalam kriteria menyentuh kemaluan mengakibatkan batalnya wudhu. Baik menyentuh kemaluannya sendiri atau pun kemaluan orang lain. Baik kemaluan laki-laki maupun kemaluan wanita. Baik kemaluan manusia yang masih hidup atau pun kemauan manusia yang telah mati (mayat). Baik kemaluan orang dewasa maupun kemaluan anak kecil. Bahkan para ulama memasukkan dubur sebagai bagian dari yang jika tersentuh membatalkan wudhu.
Namun para ulama mengecualikan bila menyentuh kemaluan dengan bagian luar dari telapak tangan, dimana hal itu tidak membatalkan wudhu`.
Hadisth lainya “Jika seseorang menyentuh kemaluanya (dengan telapak tangan) tanpa hijab dan pembalut maka wajib baginya wudhu” (HR Ibnu Hibban, al-Hakim, al-Baihaqi dan at-Thabrani)
Dalil Batalnya Wudhu Karena Menyentuh Wanita
A. Dalil Dalam Al quran
dalilnya adalah QS Annisa 43, dan QS Al Maidah 6.
1.  An Nisa(4):43
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَـٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِى سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغۡتَسِلُواْ‌ۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٌ۬ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآٮِٕطِ أَوۡ لَـٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءً۬ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدً۬ا طَيِّبً۬ا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡ‌ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
Arti An Nisa(4):43 :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari  buang air (al-ghaith) atau kamu telah sentuh-menyentuh perempuan (al-mulamasah), kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Keterangan :
Lihat bagaimana pentafsiran imam Asy-syafei dalam Kitab Al-Umm  bab wuddlu bagian :  “wudlu dari al mulamasah (sentuh-menyentuh) dan air besar (al ghaith)”
….. (An Nisa(4):43 ).
Maka serupalah bahwa Ia (Allah)  mewajibkannya wudlu dari al- ghaith (air besar atu berak) dan Ia (Allah) mewajibkannya dari sentuh -menyentuh ( al -mulamasah).
Allah ta’ala menyebutkan al-mulamasah itu bersambaung dengan al- ghaith, sesudah menyebutkan al-janabah (junub). Maka serupalah al-mulamasah bahwa adalah dia itu sentuhan dengan tangan. Dan Pelukan itu bukan al-janabah.
Dikabarkan kepada kami oleh malik dari ibnu syihab, dari salim bin Abdullah, dari ayahnya, yang mengatakan : “Pelukan lelaki akan isterinya dan menyentuhkannya dengan tangannya itu termasuk al-mulamasah. Mka siapa yang memeluk isterinya atau menyentuhkannya dengan tangannya, maka haruslah ia berwudhu kembali”
Telah sampai kepada kami dari ibnu mas’ud, yang mendekati dengan makana ucapan ibnu umar : ” Apabila seorang lelaki membawa tangannya kepada isterinya atau sebagahian tubuhnya kepada isterinya, yang tiada berlapik di antara dia dan isterinya, dengan nafsu berahi atau tiada dengan nafsu birahi, niscaya wajiblah ia berwudlu dan juga isterinya berwudlu kembali.
Demikian juga, kalau  isterinya menyentuhkannya. Maka wajiblah ia berwudlu kembali dan juga isterinya berwudlu kembali. Samalah pada demikian itu semua.
Artinya :
Mana saja dari badan keduanya tersentuh kepada yang lain, apabila yang lelaki menyentuh kepada kulit yang wanita atau wanita menyentuh kepada kulit lelaki, dengan sesuatu dari kulitnya.
Apabila lelaki menyentuh dengan tangannya kepada rambut wanita dan tidak menyentuh kulitnya, maka tidaklah wudlu atas lelaki itu. Adalah ia dengan nafsu birahi atau tidak dengan nafsu birahi, sebagai mana ia bernafsu kepada isterinya dan ia tidak menyentuhkannya. Maka todak wajib ia berwudlu kembali. Tidak ada makana nafsu birahi itu, karena dia itu didalam hati. Hanya baru bermakna, bila dengan perbuatan. Dan rambut itu berbeda dengan kulit.
Kalau orang itu lebih menjaga, lalu berwudlu kembali apabila ia menyentuh rambut wanita, niscaya adalah yang demikan itu lebih aku sukai (memandangnya sebagai sunat).
Kalau ia menyentuh dengan tangannya, akan apa yang dikehendakinya di atas badan wanita, dari kain yang tipis, yang belum diapa-apakan lagi atau sudah dipotong atau lainnya atau kain yang tebal tenunannya, dengan pmerasa kelazatan atau tidak ada kelazatan dengan sentuhan itu dan diperbuat juga oleh wanita yang demikian, niscaya tiaaklah wajib atas salah seorang daripada keduanya berwudlu kembali. Karena Masing-masing dari keduanya tidak menyentuh temannya. Hanya ia menyentuh kain temannya.
Rabi Berkata : “Aku mendengar Asy-syafi’i berkata : “Menyentuh itu dengan tapak tangan. Tidaklah engkau melihat, bahwa Rasulullah SAW melarang dari al-mulamasah?”.
Berkata Penyair :
Aku sentuhkan tapak tanganku dengan tapak tangannya.
Aku mencari kekayaan.
Aku tidak tahu, bahwa kemurahan dari tapak-tangannya,
adalah mendatangkan kesakitan.
Maka tiadalah aku memperoleh faidah daripadanya.
Dan tiada orang yang kaya itu memberi faidah.
Ia menjangkitkan penyakit kepadaku.
Lalu aku menaburkan, yang ada padaku.
(Kitab Al-umm (kitab induk), Al- imam Asya-syafi’i R.A., Jilid I Halaman 54-55, Penerbit Victory Agencie Kula Lumpur, 1989)
2. Almaidah (5) ayat 6 :
6 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَـٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
” Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni’mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur…..
Keterangan Tafsir ayat diatas :
– ayat itu merupakan dalil bahwa bersentuhan dg kaum nisa mestilah berwudhu atau bertayammum bila tak ada air, cuma para Imam berikhtilaf dalam makna ayat : “jika kalian menyentuh kaum wanita”, :
Imam syafii berpendapat yg dimaksud menyentuh ini ya menyentuh kulitnya,
Imam Ahmad bin hanbal berpendapat yg dimaksud adalah “menyentuh” adalah Jimak,
dan Imam Ahmad bin hanbal berhujjahkan dengan hadits Aisyah ra yg mengatakan bahwa nabi saw mencium diantara istrinya lalu keluar menuju shalat tanpa berwudhu lagi”. (Tapi Hadits ini dhoif, hadis ini didhoifkan oleh Imam Bukhari, dan hadits lainnya yg riwayat Attaimiy adalah mursal, ia telah tertolak untuk dijadikan hujjah.)
– Imam Syafii tetap berpendapat bahwa bersentuhan itu adalah bersentuhan kulit, dan hadits Aisyah ra itu dhoif dan tak bisa dijadikan dalil, pun bila itu dijadikan dalil maka hal itu adalah kekhususan bagi nabi saw.
– Imam Ahmad bin hanbal dan Imam malik berpendapat bahwa bersentuhan dg wanita bukan muhrim bila tanpa syahwat tidak batal wudhu dan menjadikan hadits dhoif diatas sebagai sandaran dalil.
– Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) berpendapat menyentuh wanita tak membatalkan wudhu. (Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maraam Juz 1 hal 129)
B. Hadits Rasululloh SAW yang mendukung pendapat imam Syafi’i, yakni
1) “Dari Ma’qil bin Yasar dari Nabi saw., beliau bersabda: Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”(HR. Thabrani dan Baihaqi)
2) Dari asy-Sya’bi bahwa Nabi saw. ketika membai’at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata, “Aku tidak berjabat dengan wanita.” (HR Abu Daud dalam al-Marasil)
3) Aisyah berkata, “Maka barangsiapa diantara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Aku telah membai’atmu – dengan perkataan saja – dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam bai’at itu; beliau tidak membai’at mereka melainkan dengan mengucapkan, ‘Aku telah membai’atmu tentang hal itu.’
4) Dalil yang terkuat dalam pengharaman sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya adalah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari’ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya. Semua pihak, terutama 4 imam besar, mendukung hal ini tanpa penolakan sedikitpun.
Pada umumnya, yg memegang pendapat ini adalah mazhab Syafei, mazhab Az-Zuhri, ‘Ata’ bin As-Sa’ib, Al-Auza’ie.
C. Hadits-hadits yang berlawanan dengan hadits diatas dan penjelasannya
1) Aisyah istri Nabi saw. berkata, “Saya tidur di depan Rasulullah dengan kedua kakiku berada di arah kiblatnya. Apabila beliau sujud, beliau mendorongku. Lalu, aku menarik kedua kakiku. Apabia beliau berdiri, aku memanjangkan kembali kedua kakiku.” Aisyah menambahkan, “Pada waktu itu tidak ada lampu di rumah.” (Hadits dhoif)
keterangan :
hadits itu dhoif, dan sebagian pendapat menafsirkan bahwa saat itu Rasul saw menyingkirkan kaki Aisyah ra dengan menyentuh bajunya dan bukan kulit terbuka,
2) hadits Aisyah ra yg mengatakan bahwa nabi saw mencium diantara istrinya lalu keluar menuju shalat tanpa berwudhu lagi”. (Tapi Hadits ini dhoif, hadis ini didhoifkan oleh Imam Bukhari, dan hadits lainnya yg riwayat Attaimiy adalah mursal, ia telah tertolak untuk dijadikan hujjah.)
keterangan :
ada pula yang menshahihkan hadits ini mengatakan bahwa Rasul saw mencium istrinya, tetapi penafsiran para Muhaddits berbeda beda, sebagian pendapat mengatakan itu adalah kekhususan Rasul saw sebagaimana beberapa kekhususan Nabi saw yg boleh menikah hingga 9 istri, karena beliau saw ma’shum, dan tidak diizinkan bagi selain beliau saw,
pendapat lainnya bahwa hal itu untuk umum, bersentuhan dengan wanita tidak membatalkan wudhu, pendapat lainnya mengatakan bahwa bersentuhan dengan syahwat membatalkan wudhu jika tidak maka tidak, pendapat lain mengatakan bahwa jika menyentuh maka batal, jika disentuh (bukan kemauannya atau tanpa sengaja) maka tidak batal.
namun Madzhab Syafii mengatakan bersentuhannya pria dan wanita yg bukan muhrimnya dan keduanya dewasa dan sentuhan itu tanpa penghalang berupa kain atau lainnya maka membatalkan wudhu, bersentuhan suami dan istri batal wudhu, demikian dalam madzhab kita.
D. Catatan
– jangankan menyentuh wanita yang halal dinikahi (termasuk istri) tanpa ada pembatas… akan membatalkan wudhu, bahkan menyentuh kemaluan (farji) dan dubur sendiri dengan menggunakan bagian depan telapak tangan (yang berwarna putih) tanpa ada pembatas ………juga membatalkan wudhu (kitab fathul qarib, fiqh madzab  Syafi’i )
– juga menyentuh kemaluan/dubur binatang/anak kecil/mayat manusia menggunakan bagian depan telapak tangan (yang berwarna putih) tanpa ada pembatas ………juga membatalkan wudhu (kitab fthul qarib, fiqh madzab syafei).
– Dalam Madzab Syafi’i, khusus  pada saat haji di masjidil haram menyentuh wanita tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu (pengecualian).
– wanita menyentuh sesama wanita tanpa pembatas, tidak membatalkan wudhu (karena satu jenis) . lelaki menyentuh sesama lelaki tanpa pembatas juga tidak membatalkan wudhu
Masalah Mahram
Sedangkan mahram, Imam an-Nawawi memberi batasan dalam sebuah definisi berikut,
كل من حرم نكاحها على التأبيد بسبب مباح لحرمتها
Setiap wanita yang haram untuk dinikahi selamanya, disebab sesuatu yang mubah, karena statusnya yang haram. (Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 9:105)
Kemudian beliau memberikan keterangan untuk definisi yang beliau sampaikan:
Haram untuk dinikahi selamanya : Artinya ada wanita yang haram dinikahi, namun tidak selamanya. Seperti adik istri atau bibi istri. Mereka tidak boleh dinikahi, tetapi tidak selamanya. Karena jika istri meninggal atau dicerai, suami boleh menikahi adiknya atau bibinya.
Disebabkan sesuatu yang mubah : Artinya ada wanita yang haram untuk dinikahi selamanya dengan sebab yang tidak mubah. Seperti ibu wanita yang pernah disetubuhi karena dikira istrinya, atau karena pernikahan syubhat. Ibu wanita ini haram untuk dinikahi selamanya, namun bukan mahram. Karena menyetubuhi wanita yang bukan istrinya, karena ketidaktahuan bukanlah perbuatan yang mubah.
Karena statusnya yang haram : Karena ada wanita yang haram untuk dinikahi selamanya, namun bukan karena statusnya yang haram tetapi sebagai hukuman. Misalnya, wanita yang melakukan mula’anah dengan suaminya. Setelah saling melaknat diri sendiri karena masalah tuduhan selingkuh, selanjutnya pasangan suami-istri ini dipisahkan selamanya. Meskipun keduanya tidak boleh nikah lagi, namun lelaki mantan suaminya bukanlah mahram bagi si wanita.
Adapun wanita yang tidak boleh dinikahi karena selamanya ada 18 orang ditambah karena faktor persusuan. Tujuh diantaranya, menjadi mahram karena hubungan nasab, dan empat sisanya menjadi mahram karena hubungan pernikahan.
Pertama, tujuh wanita yang tidak boleh dinikahi karena hubungan nasab/keturunan:
Ibu, nenek, buyut perempuan dan seterusnya ke atas.
Anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah.
Saudara perempuan, baik saudari kandung, sebapak, atau seibu.
Keponakan perempuan dari saudara perempuan dan keturunannya ke bawah.
Keponakan perempuan dari saudara laki-laki dan keturunannya ke bawah.
Bibi dari jalur bapak (‘ammaat).
Bibi dari jalur ibu (Khalaat).
Kedua, empat wanita yang tidak boleh dinikahi karena hubungan pernikahan:
Ibu istri (ibu mertua), nenek istri dan seterusnya ke atas, meskipun hanya dengan akad
Anak perempuan istri (anak tiri), jika si lelaki telah melakukan hubungan dengan ibunya
Istri bapak (ibu tiri), istri kakek (nenek tiri), dan seterusnya ke atas
Istri anak (menantu perempuan), istri cucu, dan seterusnya kebawah.
Demikian pula karena sebab persusuan ada tujuh seperti urutan mahram yang disebabkan keturunan, bisa menjadikan mahram sebagaimana nasab. (Taisirul ‘Alam, Syarh Umdatul Ahkam, hal. 569)
Catatan untuk saudara ipar apakah mahram (muhrim):
Saudara ipar bukan termasuk mahram. bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan agar berhati-hati dalam melakukan pergaunlan bersama ipar. Dalilnya: Ada seorang sahabat yang bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana hukum kakak ipar?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saudara ipar adalah kematian.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maksud hadis: Interaksi dengan kakak ipar bisa menjadi sebab timbulnya maksiat dan kehancuran. Karena orang bermudah-mudah untuk bebas bergaul dengan iparnya, tanpa ada pengingkaran dari orang lain. Sehingga interaksinya lebih membahayakan daripada berinteraksi dengan orang lain yang tidak memiliki hubungan keluarga. Kondisi semacam ini akan memudahkan mereka untuk terjerumus ke dalam zina.
bahwa suami-istri telah menjadi mahram setelah pernikahan. Persepsi ini tidak benar, karena jika keduanya telah menjadi mahram, maka pernikahan itu sendiri tidak sah, karena di antara syarat sahnya nikah, tidak terjadi antar sesama mahram.
Begitu pula, antara bapak atau ibu kandung dan bapak atau ibu mertua tidak terjalin ikatan mahram, sehingga persentuhan kulit antara mereka juga dapat membatalkan wudhu.
Dalam perbesanan [al-mush’harah], ikatan mahram hanya terjalin antara person-person berikut:
Istri-istri para orang tua [bapak dan kakek dari bapak atau dari ibu]. Seorang anak dapat bersentuhan dengan istri-istri bapak [ibu tiri] tanpa batal wudhunya. [QS. An-Nisأ¢’ 4:22]
Istri-istri anak keturunan [anak, cucu dan cicit]. Bapak mertua dapat bersentuhan dengan menantunya tanpa batal wudhunya. [QS. An-Nisأ¢’ 4:23].
Para orang tua istri [ibu mertua atau nenek mertua]. Seorang suami dapat bersentuhan dengan ibu mertua atau nenek mertua, baik nenek dari bapak atau dari ibu, tanpa batal wudhunya. [QS. An-Nisأ¢’ 4:23].
Keturunan istri [anak tiri atau cucu tiri]. Seorang suami dapat bersentuhan dengan anak istrinya dari suami yang lain. [QS. An-Nisa أ¢’ 4:23]
Kutipan surat An-Nisa أ¢’ 4:22-23:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh)”. (QS. 4:22)
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);,dan menghimpunkan (dalam perkawinan)dua perempuan yang bersaudara,kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. 4:23)
Wallahu a`lam.
۞ Larangan Bagi Yang Batal Wudhu dan Junub ۞
(فصل ) من انتقض وضوؤه حرم عليه أربعه أشياء : الصلاة والطواف ومس المصحف وحمله.
Larangan Bagi Orang yang Batal Wudhu, Junub, Haid
Man Intaqodho wudhuu-uhu Haruma ‘Alaihi ‘Arba’atu Asyyaaa
: Ash-Sholaatu , Wath-Thowaafu , Wamassul Mush-hafi , Wahamluhu .
Orang yang batal wudhunya haram atasnya 4 perkara : Sholat , dan Thowaf , dan menyentuh AlQur-an , dan membawanya .
ويحرم على الجنب ستة أشياء: الصلاة والطواف ومس المصحف وحمله واللبث في المسجد وقراءة القرآن.
Wayahrumu ‘Alal Junubi Sittatu Asyyaa-a : Ash-Sholaatu , Wath-Thowaafu , Wamassul Mush-hafi , Wahamluhu , Wallubtsu Fil Masjidi , Waqirooatul Qur-aani Biqoshdil Qur-aani .
Dan haram atas orang  yang  junub 6 perkara : Sholat , dan Thowaf , dan menyentuh Al-Quran , dan membawanya , dan berdiam diri di Masjid , dan membaca Al Qur-an dengan maksud baca Al Qur-an
ويحرم بالحيض عشرة أشياء : الصلاة والطواف ومس المصحف وحمله واللبث في المسجد وقراءة القرآن والصوم والطلاق والمرور في المسجد إن خافت تلويثه والاستمتاع بما بين السرة والركبة.
Wayahrumu Bilhaidhi ‘Asyarotu Asyyaa-a : Ash-Sholaatu , Wath-Thowaafu , Wamassul Mush-hafi , Wahamluhu , Wallubtsu Fil Masjidi , Waqirooatul Qur-aani Biqoshdil Qur-aani , Wash-Shoumu , Wath-Tholaaqu , Walmuruuru Fil Masjidi In Khoofat Talwiitsahu , Wal Istimnaa’u Bimaa Bainassurroti Warrukbati
Dan haram dengan sebab haid 10 perkara : Sholat , dan Thowaf , dan menyentuh AlQur-an , dan membawanya , dan berdiam diri di Masjid , dan membaca AlQur-an dengan qoshod Qur-an , dan puasa , dan talak , dan berjalan di dalam Masjid jika ia takut menyamarkannya , dan bersedap-sedap dengan sesuatu yang antara pusat dan lutut
Larangan Bagi Yang Tidak Berwudhu
Dilarang bagi yang tidak ada wudhu melakukan empat perkara:
1. Shalat
Semua yang dinamakan shalat tidak boleh dilakukan tanpa wudhu walaupun sujud tilawah atau shalat janazah, sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci” (HR Muslim)
2. Thawaf
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Thawaf di Baitullah itu sama dengan shalat hanya saja Allah membolehkan dalam thawaf berbicara” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, ad-Dar quthni)
3. Menyentuh Al-Qur’an dan 
4. membawa Al-Qur’an, karena ia adalah kitab suci, maka tidak boleh disentuh atau dibawa kecuali dalam keadaan suci
 Allah berfirman:  “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” (alWaqi’ah:77)
Dibolehkan membawa atau menyentuh al-Qur’an tanpa wudhu berupa barang atau tafsir/terjemahan yang kalimatnya lebih banyak dari isi al-Qur’an.
Barang siapa yang ragu apakah ia masih menyimpan wudhu atau tidak maka hendaknya ia bepegang kepada keyakinnya, sesuai dengan hadist Rasulallah saw dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw., “Apabila seseorang dari kalian merasa sesuatu di dalam perutnya, yaitu ragu-ragu apakah keluar darinya sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid (untuk berwudhu) hingga ia dengar suara atau ia merasakan angin (bau).” (HR Muslim)
Larangan Bagi Orang Junub
1. Shalat
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci” (HR Muslim)
2. Thawaf
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Thawaf di Baitullah itu sama dengan shalat hanya saja Allah membolehkan dalam thawaf berbicara” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, ad-Dar quthni)
3. Menyentuh Al-Qur’an, karena ia adalah kitab suci, maka tidak boleh disentuh atau dibawa kecuali dalam keadaan suci.
 Allah berfirman: “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” (alWaqi’ah:77)
4. Membawa Al-Qur’an. Hal ini dikiyaskan dari menyentuh al-Qur’an
5. Membaca Al-Qur’an
Sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rasulallah saw bersabda “Janganlah orang junub dan wanita haid membaca sesuatu pun dari Al Qur’an (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Baihaqi).
Hadist lainya yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib ra sesungguhnya Rasulallah saw membuang hajatnya kemudian membaca al-Qur’an dan tidak menghalanginya dari pembacaan al-Quran, kemungkinan ia berkata: Bahwasanya menghalangi suatu dari membaca al-Qur’an selain junub (HR Abu Daud, at-Tirmizi, an-Nasai’, hadist hasan shahih)
6. Duduk di Masjid
Allah berfirfman “janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja” an-Nisa’ 43
Larangan Bagi Haid Dan Nifas
Diharam Bagi Wanita Haidh Dan Nifas melakukan:
1. Shalat.
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw kepada Fatimah binti Abi Hubaisy: “Jika datang haid maka tinggalkanlah shalat, dan jika telah pergi maka mandilah dan lakukanlah shalat” (HR Bukhari Muslim).
2. Puasa.
Rasulallah saw bersabda: “Aku tidak melihat kurangnya akal dan agama yang lebih menguasai manusia dari wanita.”.  Beliau bersabda “Wanita bangun malam tanpa mengerjakan shalat dan tidak puasa di bulan Ramadan (karena haid), ini adalah kekurangan pada agama” (HR Bukhari Muslim).
3. Thawaf
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw kepada Aisyah ra (Ketika haji wada’ dan ia mendapatkan haid): “Lakukanlah semua amalan yang dilakukan oleh orang yang melaksanakan haji, hanya saja engkau tidak boleh melakukan thawaf di Baitullah” (HR Bukhari Muslim).
4. Membaca Al-Quran, berkiyas kepada orang yang sedang junub diharamkan membaca al-Qur’an.
Allah berfirman: “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” Al-Waqiah 79
Membaca quran. Artinya melafadzkan dengan lisan baik satu ayat atau lebih. Dengan demikian, perempuan yang haidl diperbolehkan mengingat ayat-ayat al-Quran di dalam hati dengan tanpa melafadzkannya dengan lisan. Ia juga diperbolehkan melihat fisik al-Quran. Dan ulama bersepakat bahwa diperbolehkan bagi perempuan haidl dan orang yang berhadats membaca tahlil, tasbih, tahmidl, takbir, shalawat kepada nabi dan dzikir-dzikir yang lainnya.
5. Menyentuh Al-Qur’an atau membawanya, karena ia adalah kitab suci, maka tidak boleh disentuh atau dibawa kecuali dalam keadaan suci, “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” alWaqi’ah:77
6. Berdiam (I’tikaf) di masjid.
Rasulallah saw bersabda “Tidak halal masjid bagi orang yang junub dan wanita yang sedang haid” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, at-Thabrani, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-Qathan)
7- Masuk ke dalam masjid sekalipun hanya untuk sekedar lewat jika ia takut akan mengotori masjid tersebut.
adanya keharaman itu sebagaimana pendapat menurut jumhur ulama. Mereka umumnya menggunakan dalil qiyas. Yaitu menyamakan orang yang sedang haidh dengan orang yang sedang junub. Sebagaimana kita ketahui bahwa orang yang sedang junub dilarang masuk masjid kecuali sekedar lewat saja. Hal itu telah ditetapkan Allah SWT di dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi…. (QS An-Nisa: 43)
Para ulama mengatakan bahwa makna jangan mendekati shalat adalah mendekati tempat shalat, yaitu masjid. Ayat ini bukan hanya melarang orang yang junub untuk shalat, tetapi menjadi dalil haramnya orang junub masuk ke masjid. Lalu wanita yang haidh diqiyas seperti orang yang junub, sehingga wanita haidh tidak boleh masuk masjid juga.
Di samping itu ada sabda Rasulullah SAW berikut ini.
Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh.” (HR Bukhori, Abu Daud dan Ibnu Khuzaemah)
8- Cerai, karena itu, dilarang suami menceraikan isterinya dalam keadaan haidh.
Diharamkan bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya dalam keadaan haid, berdasarkan firman Allah Ta’ala :
“Wahai Nabi, apabila kalian hendak menceraikan para istri maka ceraikanlah mereka pada saat mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-nya… .” (At Thalaq : 1)
Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya membawakan ucapan Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Ta’ala : “Fathalliquuhunna li ‘iddatihinna”.
“Ibnu Abbas menafsirkan : ((Tidak boleh seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan haid dan tidak boleh pula ketika si istri dalam keadaan suci namun telah disetubuhi dalam masa suci tersebut. Akan tetapi bila ia tetap ingin menceraikan istrinya maka hendaklah ia membiarkannya (menahannya) sampai datang masa haid berikutnya lalu disusul masa suci, setelah itu ia bisa menceraikannya)).” (Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)
Ibnu Katsir rahimahullah selanjutnya mengatakan : “Dari sini fuqaha (para ahli fikih) mengambil hukum-hukum talak. Mereka membagi talak itu kepada talak sunnah dan talak bid’ah. Talak sunnah adalah seseorang mentalak istrinya dalam keadaan suci dan belum disetubuhi (ketika suci tersebut) atau dalam keadaan istrinya telah dipastikan hamil. Sedangkan talak bid’ah adalah seseorang mentalak istrinya ketika sedang haid atau ketika suci namun telah disetubuhi, sehingga tidak diketahui apakah si istri hamil dengan sebab hubungan badan tersebut atau tidak hamil… .” (Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)
Apabila si istri dicerai dalam hari haidnya maka ia tidak dapat segera menghitung masa ‘iddah-nya karena haid yang sedang ia alami tidak terhitung sebagai ‘iddah. Sebagaimana kita ketahui bahwa masa ‘iddah wanita yang dicerai suaminya adalah tiga quru’ (tiga kali haid atau tiga kali suci).
Allah SWT berfirman :
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’… .” (Al Baqarah : 228)
Demikian pula apabila ia dicerai dalam keadaan suci setelah sebelumnya disetubuhi, maka ia juga tidak dapat menghitung ‘iddah-nya secara pasti karena belum diketahui apakah ia hamil dari hubungan itu hingga ia harus ber-’iddah dengan kehamilannya ataukah ia tidak hamil hingga ia dapat ber-’iddah dengan hitungan masa haidnya. Karena ada perbedaan antara ‘iddah-nya wanita yang hamil dengan wanita yang tidak hamil. ‘Iddah wanita yang hamil disebutkan dalam firman Allah Ta’ala :
“Dan wanita-wanita yang hamil masa ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Ath Thalaq : 4)
Dengan demikian apabila tidak terdapat keyakinan kapan masa ‘iddah dapat dihitung maka diharamkan menjatuhkan talak kecuali setelah jelas perkaranya.
Apabila seorang suami menceraikan istrinya yang sedang haid, maka si suami berdosa. Ia wajib bertaubat kepada Allah Ta’ala dan ia kembalikan si istri dalam perlindungannya (rujuk) untuk ia ceraikan dengan cerai yang syar’i sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Setelah ia rujuk, ia biarkan istrinya sampai bersih dari haid tersebut (suci), kemudian ia tahan lagi (jangan dijatuhkan talak) sampai datang haid berikutnya lalu suci. Setelah itu, ia bisa memilih antara menceraikan atau tidak. Namun bila ia ingin menceraikan, maka tidak boleh ia gauli istri tersebut dalam masa sucinya itu (yakni dicerai sebelum digauli).
Dalil dari penjelasan di atas disebutkan oleh Al Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya dengan sanad yang beliau bawakan sampai kepada Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasannya ia menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Maka Umar menanyakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Mendengar hal tersebut Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam marah, kemudian beliau bersabda :
“Perintahkanlah ia (yakni Ibnu Umar) agar merujuk istrinya, kemudian ia tahan hingga istrinya suci dari haid. Kemudian (dia tahan hingga) istrinya haid lagi (datang haid berikutnya) lalu suci. Setelah itu jika ia mau, ia tahan istrinya (tidak diceraikan) dan jika ia mau, ia ceraikan sebelum digauli. Itulah ‘iddah yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk menceraikan wanita (bila ingin dicerai, pent.).” (HR. Bukhari nomor 5251 dan Muslim nomor 1, 2 Kitab Ath Thalaq)
Dalam riwayat Muslim disebutkan : “Perintahkanlah dia agar merujuk istrinya, kemudian hendaklah ia menceraikannya dalam keadaan suci atau (dipastikan) hamil.”
9. Bersetubuh
Allah berfirman: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu” al-Baqarah 222
10. Menikmati dengan membuka antara lutut dan pusar (tanpa busana).
Sesuai dengan firman Allah tersebut diatas, dan hadist Rasulallah saw, beliau bersabda: “Halal bagi laki-laki atas perempuan yang sedang haid, menyentuh apa-apa yang diatas kain (di atas pusar)” (HR Ibnu Majah, al-Baihaqi)
Hukum Wanita Haid Berdiam di Masjid
Jumhur ulama, di antaranya imam madzhab yang empat, sepakat bahwa wanita yang haid tidak boleh berdiam (al-lubts) di dalam masjid, karena ada hadits Nabi Saw yang mengharamkannya.[i] Imam Dawud Azh-Zhahirimembolehkan wanita haid dan orang junub berdiam di masjid.[ii] Namun pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur yang mengharamkannya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw:
“Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” [HR. Abu Dawud].[iii]
Yang dimaksud berdiam (al-lubtsu, atau al-muktsu) artinya berdiam atau tinggal di masjid, misalnya duduk untuk mengisi atau mendengarkan pengajian, atau tidur di dalam masjid. Tidak ada bedanya apakah duduk atau berdiri. Berjalan mondar-mandir (at-taraddud) di dalam masjid, juga tidak dibolehkan bagi wanita haid.[iv]
[i] Muhammad bin Abdurrahman, Rohmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A’immah, hal. 17.
[ii] Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam, I/92.
[iii] Hadits ini shahih menurut Ibn Khuzaimah. Lihat Subulus Salam, I/92. Menurut Ibn al-Qaththan, hadits inihasan, Kifayatul Akhyar, I/80.
[iv] Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/80.
Adapun jika seorang wanita haid sekedar lewat atau melintas (al-murur) di dalam masjid karena suatu keperluan, maka itu tidak apa-apa. Dengan catatan wanita itu tidak merasa khawatir akan mengotori masjid.[i] Dalilnya, Nabi Saw pernah memerintah A’isyah untuk membawa khumrah (semacam sajadah) yang ada di masjid. Lalu A’isyah berkata, “Sesungguhnya aku sedang haid.” Rasul bersabda,”Sesungguhnya haidhmu itu bukan berada di tanganmu.” [HR. Muslim][ii] Selain itu, ada riwayat lain bahwa Maimunah ra pernah berkata, “Salah seorang dari kami pernah membawa sajadah ke masjid lalu membentangkannya, padahal dia sedang haidh.” [HR. an-Nasâ’i).[iii]
Berdasarkan penjelasan di atas, sesungguhnya hukum syara’ dalam masalah ini telah jelas, yaitu wanita haid haram hukumnya berdiam di masjid. Adapun jika sekedar lewat atau melintas, hukumnya boleh dengan syarat tidak ada kekhawatiran akan mengotori masjid. Sebagian ulama memang ada yang membolehkan wanita haid berdiam di masjid asalkan ia merasa aman (tidak khawatir) akan dapat mengotori masjid, misalnya dengan memakai pembalut.[iv] Dalam Syarah al-Bajuri (jld. I, hal. 115), dikatakan, bahwa kalau wanita haid tidak khawatir akan mengotori masjid, atau bahkan merasa aman, maka pada saat itu tidak diharamkan baginya masuk masjid, tetapi hanya makruh saja.[v]
Menurut pemahaman kami, pendapat itu tidak dapat diterima. Sebab pendapat tersebut tidak mempunyai landasan syar’i yang kuat. Pendapat tersebut menjadikan “kekhawatiran mengotori masjid”, sebagai illat (alasan penetapan hukum) bagi haramnya wanita berdiam di masjid. Jadi, jika kekhawatiran itu sudah lenyap (dengan memakai pembalut), maka hukumnya tidak haram lagi. Padahal, hadits yang ada tidak menunjukkan adanya illat bagi haramnya wanita haid untuk berdiam di masjid. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa keharamannya dikarenakan ada kekhawatiran akan menajiskan masjid. Sehingga jika kekhawatiran itu lenyap (dengan memakai pembalut) maka hukumnya tidak haram. Tidak bisa dikatakan demikian, karena nash yang ada tidak menunjukkan adanya illat itu. Nabi Saw hanya mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” Nash ini jelas tidak menunjukkan adanya illat apa pun, baik illat secarasharahah (jelas), dalalah (penunjukan), istinbath, atau qiyas.
Lagi pula nash tersebut bersifat mutlak, bukan muqayyad. Jadi yang diharamkan berdiam di masjid adalah wanita haid, secara mutlak. Baik wanita haid itu akan dapat mengotori masjid, atau tidak akan mengotori masjid. Memakai pembalut atau tidak memakai pembalut. Jadi, selama tidak ada dalil yang memberikan taqyid (batasan atau sifat tertentu) —misalnya yang diharamkan hanya wanita haid yang dapat mengotori masjid— maka dalil hadits tersebut tetap berlaku untuk setiap wanita haid secara mutlak. Hal ini sesuai kaidah ushul fiqh: Al-muthlaqu yajriy ‘ala ithlâqihi mâ lam yarid dalîl at-taqyîd “[Lafazh] mutlak tetap berlaku dalam kemutlakannya selama tidak ada dalil yang menunjukkan adanya taqyid (pemberian batasan/sifat tertentu).”[vi]
Batasan Masjid
Setelah jelas wanita haid tidak boleh berdiam di masjid, maka pertanyaan berikutnya adalah, apa batasan masjid itu? Masjid adalah tempat yang ditetapkan untuk mendirikan sholat jama’ah bagi orang umum.[vii]
Yang dimaksud sholat jama’ah, terutama adalah sholat jama’ah lima waktu dan sholat Jum’at. Namun termasuk juga sholat jama’ah sunnah seperti sholat Tarawih dan sholat Idul Fitri atau Idul Adha. Di Indonesia, jika hanya untuk berjama’ah lima waktu tetapi tidak digunakan sholat Jum’at, tempat itu biasanya tidak disebut masjid, tapi disebut musholla, atau nama yang semisalnya, yaitu langgar (Jawa), surau (Sumatera Barat), atau meunasah (Aceh). Sedang istilah masjid atau masjid jami’, biasanya digunakan untuk tempat yang dipakai sholat Jum’at. Sebenarnya, semua itu termasuk kategori masjid, menurut definisi di atas. Karena yang penting tempat itu digunakan sholat berjama’ah untuk orang umum. Maka, terhadap musholla, atau langgar, surau, atau meunasah, diberlakukan juga hukum-hukum untuk masjid, misalnya wanita haid tidak boleh berdiam di dalamnya. Walaupun tidak dinamakan masjid. Adapun jika sebuah tempat disiapkan untuk sholat jama’ah, tapi hanya untuk orang tertentu (misal penghuni suatu rumah), maka tempat itu tidak dinamakan masjid, dan tidak diterapkan hukum-hukum masjid padanya. Demikian pula jika sebuah tempat hanya digunakan untuk sholat secara sendiri, bukan untuk sholat jama’ah, maka itu juga bukan dinamakan masjid.
Definisi di atas adalah definisi umum, yaitu untuk membedakan masjid dengan bangunan yang bukan masjid. Ada definisi khusus, yaitu masjid dalam pengertian tempat-tempat yang digunakan untuk sholat (mawadhi’ ash-sholat), atau tempat-tempat yang digunakan untuk sujud (mawdhi’ as-sujud).[viii]
Definisi khusus ini untuk membedakan berlakunya hukum masjid bagi sebuah kompleks bangunan masjid yang luas dan terdiri dari beberapa bangunan atau ruang untuk berbagai keperluan. Sebab adakalanya sebuah kompleks masjid itu memiliki banyak ruangan, atau mungkin mempunyai dua lantai, mempunyai kamar khusus untuk penjaga masjid, mempunyai ruang sidang/rapat, toko, teras, tempat parkir, dan sebagainya. Bahkan ada masjid yang lantai dasarnya kadang digunakan untuk acara resepsi pernikahan, pameran, dan sebagainya. Apakah semua ruangan itu disebut masjid dan berlaku hukum-hukum masjid? Menurut pemahaman kami, jawabnya tidak. Dalam keadaan ini, berlakulah definisi khusus masjid, yaitu masjid sebagai mawadhi’ ash-sholat(tempat-tempat sholat).[ix]
Maka dari itu, teras masjid bukanlah masjid, jika teras itu memang tidak digunakan untuk sholat jama’ah. Jika digunakan sholat jama’ah, termasuk masjid. Demikian pula bagian masjid yang lain, misalnya ruang sidang, ruang rapat, kamar penjaga masjid, tempat parkir, dan sebagainya. Semuanya bukan masjid jika tidak digunakan untuk sholat jama’ah. Ringkasnya, semua tempat atau ruang yang tidak digunakan sholat jama’ah, tidak dinamakan masjid, meskipun merupakan bagian dari keseluruhan bangunan masjid.
Bagaimana andaikata suatu tempat di masjid (misalkan teras) kadang digunakan sholat jama’ah dan kadang tidak? Jawabannya adalah sebagai berikut. Yang menjadi patokan adalah apakah suatu tempat itu lebih sering dipakai sholat jama’ah, atau lebih sering tidak dipakai untuk sholat jama’ah. Jika lebih sering dipakai sholat jama’ah, maka dihukumi masjid. Jika lebih sering tidak dipakai, maka tidak dianggap masjid.
Yang demikian itu bertolak dari suatu prinsip bahwa hukum syara’ itu didasarkan pada dugaan kuat (ghalabatuzh zhann). Dan dugaan kuat itu dapat disimpulkan dari kenyataan yang lebih banyak/dominan (aghlabiyah). Ini sebagaimana metode para fuqaha ketika menetapkan pensyariatan Musaqah (akad menyirami pohon) —bukanMuzara’ah (akad bagi hasil pertanian) — di tanah Khaybar. Mengapa? Karena tanah di Khaybar (sebelah utara Madinah) pada masa Nabi Saw sebagian besarnya adalah tanah-tanah yang berpohon kurma. Sedang di sela-sela pohon kurma itu, yang luasnya lebih sedikit, ada tanah-tanah kosong yang bisa ditanami gandum. Hal ini bisa diketahui dari riwayat Ibn Umar, bahwa hasil pertanian Khaybar yang diberikan Nabi kepada para isteri beliau, jumlahnya 100 wasaq, terdiri 80 wasaq buah kurma dan 20 wasaq gandum [HR. Bukhari].[x] Karena yang lebih banyak adalah hasil kurma, bukan gandum, maka akad yang ada di Khaybar sesungguhnya adalahMusaqah, bukan Muzara’ah.
Penjelasan di atas menunjukkan contoh kasus bahwa hukum syara’ itu dapat didasarkan pada kenyataan yang lebih banyak (aghlabiyah). Maka dari itu, ketika kita menghadapi fakta adanya teras masjid yang kadang dipakai sholat dan kadang tidak dipakai sholat jama’ah, kita harus melihat dulu, manakah yang aghlabiyah (yang lebih banyak/sering). Jika lebih sering dipakai sholat jama’ah, maka teras itu dihukumi masjid. Dan jika lebih sering tidak dipakai sholat jama’ah, maka teras itu dianggap bukan masjid. Wallahu a’lam [M. Shiddiq al-Jawi]
Catatan:
1 wasaq = 130,560 kg gandum[xi]
[i] Lihat Imam as-Suyuthi, “Al-Qaul fi Ahkam Al-Masajid”, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, hal. 241, dan “Bab al-Haidh”, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, hal. 247; As-Sayid A’lawi, Bughyatul Mustarsyidin, hal. 14.
[ii] Lihat Dr. Mustopha Diibul Bigha, Fiqih Syafi’i (At-Tahdzib), hal. 76; M. Shalih Al-Utsaimin, Al-Fatawa An-Nisa`iyah (Fatwa-Fatwa Tentang Wanita), hal. 44.
[iii] Lihat Dr. Mustopha Diibul Bigha, Fiqih Syafi’i (At-Tahdzib), hal. 77.
[iv] Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/78.
[v] KH. Moch Anwar, 100 Masail Fiqhiyah: Mengupas Masalah Agama yang Pelik dan Aktual, hal. 51
[vi] Lihat Prof. Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, I/208; Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 164.
[vii] Lihat Prof. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Sholat, hal. 274-275; Koleksi Hadits-Hadits Hukum, III/368; Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam al-Wasith, hal. 416.
[viii] Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam I/92 & 152.
[ix] Ibid.
[x] Lihat Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 319.
[xi] Lihat Syaikh Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hal. 63; Syaikh Abdurahman al-Baghdadi, Serial Hukum Islam, hal. 92.
۞ Sebab Tayamum ۞
(فصل) أسباب التيمم ثلاثة: فقد الماء ، والمرض ، والاحتياج إليه لعطش حيوان محترم .
Tayamum
Asbaabuttayammumi Tsalaatsatun : Faqdul Maa-i , Walmarodhu , Wal Ihtiyaaju Ilaihi Li’athosyi Hayawaanin Muhtaromin .
Sebab-sebab tayammum yaitu 3 : Ketiadaan air , dan sakit , dan berhajat kepadanya untuk minum binatang  yang  dihormati .
غير المحترم ستة : تارك الصلاة والزاني المحصن والمرتد والكافر الحربي والكلب العقور والخنزير .
Waghoyrul Muhtaromi Sittatun : Taarikush-Sholaati , Wazzaanil Muhshonu , Walmurtaddu , Walkaafirul Harbiyyu , Walkalbul ‘Aquuru , Walkhinziiru .
Dan selain yang dihormati yaitu 6 : Orang  yang  meninggalkan sholat , dan pezina muhshon , dan orang  yang  murtad , dan kafir harbi , dan anjing galak , dan babi .
Tayyammum
Tayyammum dalam bahasa Arab artinya menuju dan dalam ilmu fiqih ialah menghapus muka dan kedua tangan dengan tanah yang suci sebagai pengganti wudhu dan mandi besar. Jadi, sekiranya kita tidak dapat berwudhu atau mandi junub dengan air karena sakit atau karena tidak ada air, maka wajib bertayammum. Tayyammum adalah salah satu rukshah (keringanan) dari Allah diberikan kepada umat Islam yang memiliki udzur atau halangan seperti sakit dan ketiadaan air.
Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik; sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun. (QS An-Nisa: 43)
Adapun hadist tentang tayyammum yaitu hadist yang diriwayatkan dari Ammar bin Yasir ra, ia  berkata, “Aku berjunub, lalu aku berguling-guling di atas debu, lalu aku ceritakan hal itu kepada Nabi saw, kemudian ia bersabda, ”Sesungguhnya cukup bagimu hanya berbuat begini”, yaitu Nabi saw menepuk kedua telapak tangannya ke tanah, lalu meniup keduanya, kemudian mengusapkan kedua tangannya itu pada mukanya dan telapak tangannya”. (HR Bukhari dan Muslim)
Bila Dibolehkan Tayammum?
1. Sewaktu tidak ada air
Firman Allah: “ kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)” an-Nisa’ 43.
Sabda Rasulallah saw: “Tanah yang baik (suci) wudhunya seorang muslim jika tidak ada air” (HR Abu Daud, at-Tirmidzi)
Dalam kondisi tidak ada air untuk berwudhu` atau mandi, seseorang bisa melakukan tayammum dengan tanah. Namun ketiadaan air itu harus dipastikan terlebih dahulu dengan cara mengusahakannya. Baik dengan cara mencarinya atau membelinya.
Dan sebagaimana yang telah dibahas pada bab air, ada banyak jenis air yang bisa digunakan untuk bersuci termasuk air hujan, embun, es, mata air, air laut, air sungai dan lain-lainnya. Dan di zaman sekarang ini, ada banyak air kemasan dalam botol yang dijual di pinggir jalan, semua itu membuat ketiadaan air menjadi gugur.
Bila sudah diusahakan dengan berbagai cara untuk mendapatkan semua jenis air itu namun tetap tidak berhasil, barulah tayammum dengan tanah dibolehkan.
Dalil yang menyebutkan bahwa ketiadaan air itu membolehkan tayammum adalah hadits Rasulullah SAW berikut ini:
Dari Imran bin Hushain ra. berkata bahwa kami pernah bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan. Belaiu lalu shalat bersama orang-orang. Tiba-tiba ada seorang yang memencilkan diri (tidak ikut shalat). Belaiu bertanya, “Apa yang menghalangimu shalat?” Orang itu menjawab, “Aku terkena janabah.” Beliau menjawab, “Gunakanlah tanah untuk tayammum dan itu sudah cukup.” (HR Bukhari 344 Muslim 682)
Bahkan ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa selama seseorang tidak mendapatkan air, maka selama itu pula dia boleh tetap bertayammum, meskipun dalam jangka waktu yang lama dan terus menerus.
Dari Abi Dzar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tanah itu mensucikan bagi orang yang tidak mendapatkan air meski selama 10 tahun.” (HR Abu Daud, Tirmizi, Nasa`i, Ahmad).
2. Sewaktu berbahaya memakai air (karena sakit).
Firman Allah “ Dan jika kamu sakit” an-Nisa’ 43
Kondisi yang lainnya yang membolehkan seseorang bertayammum sebagai penggati wudhu` adalah bila seseorang terkena penyakit yang membuatnya tidak boleh terkena air. Baik sakit dalam bentuk luka atau pun jenis penyakit lainnya. Tidak boleh terkena air itu karena ditakutnya akan semakin parah sakitnya atau terlambat kesembuhannya oleh sebab air itu. Baik atas dasar pengalaman pribadi maupun atas advis dari dokter atau ahli dalam masalah penyakit itu. Maka pada saat itu boleh baginya untuk bertayammum.
Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW berikut ini:
Dari Jabir ra. berkata, “Kami dalam perjalanan, tiba-tiba salah seorang dari kami tertimpa batu dan pecah kepalanya. Namun (ketika tidur) dia mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada temannya, “Apakah kalian membolehkan aku bertayammum?” Teman-temannya menjawab, “Kami tidak menemukan keringanan bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan air.” Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati (akibat mandi). Ketika kami sampai kepada Rasulullah SAW dan menceritakan hal itu, bersabdalah beliau, “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah memerangi mereka. Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya. Cukuplah baginya untuk tayammum…” (HR Abu Daud 336, Ad-Daruquthuny 719).
3. Sewaktu adanya air dibutuhkan untuk keselamatan jiwa (manusia atau hewan)
Sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Amru bin al-Ash, ia berkata: ”Ketika kami dalam peperangan Zatu al-Salasil (8H), aku telah mimpi (berjunub) sedangkan ketika itu udara sangat dingin. Aku kuatir jika aku mandi akan binasa (sakit), lalu aku bertayammum dan mengimamkan sholat subuh bersama-sama kawan-kawanku. Ketika kami sampai di sisi Rasulullah saw, kawan-kawanku mengadu hal tersebut kepada beliau. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Wahai Amru! Kamu sholat dengan kawan-kawanmu, sedangkan engkau berjunub?” Saya menjawab: “Saya teringat firman Allah: (Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu). Lalu sayapun bertayammum dan sholat”. Rasulullah saw tidak berkata apa-apa” (HR Bukhari Muslim, Abu Daud, al-Baihaqi, al-Hakim)
Kondisi ini juga tidak mutlak ketiadaan air. Air sebenarnya ada namun jumlahnya tidak mencukupi. Sebab ada kepentingan lain yang jauh lebih harus didahulukan ketimbang untuk wudhu`. Misalnya untuk menyambung hidup dari kehausan yang sangat. Bahkan para ulama mengatakan meski untuk memberi minum seekor anjing yang kehausan, maka harus didahulukan memberi minum anjing dan tidak perlu berwudhu` dengan air. Sebagai gantinya, bisa melakukan tayammum dengan tanah.
۞ Syarat Tayamum ۞
(فصل ) شروط التيمم عشرة: أن يكون بتراب وان يكون التراب طاهرا وأن لا يكون مستعملا ولا يخالطه دقيق ونحوه وأن يقصده وأن يمسح وجهه ويديه بضربتين وأن يزيل النجاسة أولا وأن يجتهد في 
القبلة قبله وأن يكون التيمم بعد دخول الوقت وأن يتيمم لكل فرض .
Syarat Tayamum
Syuruuthu At-Tayammumi ‘Asyarotun : An Yakuuna Bituroobin , Wa An Yakuunatturoobu Thoohiron , Wa An Laa Yakuuna Musta’malan , Wa An Laa Yukhoolithuhu Daqiiqun Wanahwuhu , Wa An Yaqshidahu , Wa An Yamsaha Wajhahu Wayadaihi Bidorbataini , Wa An Yuziilannajaasata Awwalan , Wa An Yajtahida Fil Qiblati Qoblahu , Wa An Yakuunattayammumu Ba’da Dukhuulil Waqti , Wa An Yatayammama Likulli Fardhin .
Syarat-syarat tayammum yaitu 10 : Bahwa adalah ia bertayammum dengan debu , dan bahwa adalah debunya itu suci , dan bahwa tidak adalah debunya itu musta’mal , dan bahwa tidak bercampur debunya itu oleh tepung , dan bahwa ia sengaja bertayammum , dan bahwa ia menyapu mukanya dan dua tangannya dengan 2 kali , dan bahwa ia menghilangkan najis pada permulaannya , dan bahwa ia berijtihad pada kiblat sebelumnya tayammum , dan bahwa adalah tayammumnya itu setelah masuk.
Penjelasan Makna:
Sepuluh Syarat Bagi Sahnya Tayammum;
Pertama, dengan debu. Yang dimaksudkan adalah debu yang murni tanpa terkontaminasi dan tercampur oleh apapun.
Kedua, debu yang suci. Sebagaimana firman Allah ta’ala; “Fatayammamu sha’idan thayyiban” (maka bertayammumlah kalian dengan debu yang suci).
Ketiga, debu yang tidak musta’mal. Artinya debu yang sudah dipakai bertanyammum seseorang maka tidak boleh digunakan kembali oleh orang lain.
Keempat, debu tidak tercampur dengan tepung atau kapur atau sejenisnya.
Kelima, niat. Tempatnya niat adalah di hati. Dihadirkan pada saat pertama kali mengusapkan demi ke anggota yang pertama wajib dibasuh dengan debu, yaitu wajah.
Keenam, mengusapkan debu pada wajah dan dua tangan dengan dua kali usapan. Maksudnya adalah mengusapkan debu pada wajah dengan menggunakan satu pengambilan debu. Disusul dengan mengusapkan debu pada tangan dengan menggunakan debu dalam pengambilan yang kedua. Dengan demikian, tidak diperbolehkan atau tidak sah jika satu kali pengambilan debu untuk mengusap wajah dan tangan sekaligus.
Ketujuh, terlebih dahulu menghilangkan najis yang menempel di badan. Orang yang hendak bertayammum terlebih dahulu harus menghilangkan najis yang ada pada badanya, meski pun bukan anggota tayammum seperti alat kelamin, vagina, dll.. juga harus menghilangkan najis dari baju dan tempatnya seseorang. Berbeda dengan wudlu’. Sebab jika wudlu bertujuan untuk menghilangkan hadats. Sedangkan tayammum bertujum agar diperbolehkannya mengerjakan shalat (li-istibahat as-shalat).
Menurut sebagian ulama, seperti Imam ar-Ramli, mengatakan bahwa seseorang yang bertayamum sebelum menghilangkan najis, maka tayammumnya tidak sah. Sedangkan menurut Imam Ibnu Hajar sebaliknya berpendapat sah.
Kedelapan, Bersungguh-sungguh menghadap kiblat sebelum melakukan tayamum. Namun ternyata syarat ini adalah syarat yang oleh sebagian ulama dianggap sebagai syarat yang lemah. Dengan kata lain, jika seseorang telah melakukan tayammum sebelum bersungguh-sungguh (ijtihad) menghadap kiblat maka sudah dianggap sah.
Kesembilan, Tayamum dilakukan setelah masuk waktu sholat. Dikarenakan tayamum adalah bersuci dalam kondisi darurat, dan tidak ada darurat sebelum masuk wakti sholat, maka tayamum baru dianggap sah setelah masuk waktu.
Kesepuluh, Tayamum dilaksanakan karena hendak melakukan setiap perkara fardlu. Artinya bahwa satu tayamum tidak sah untuk dua kali pekerjaan fardlu, seperti dua shalat fardlu dzuhur dan asar. Sehingga setiap hendak mengerjakan perkara fardlu maka harus bertayamum dengan satu kali, dan perkara fardlu berikutnya pun harus mengerjakan tayamum untuk kedua kalinya.
۞ Fardhu Tayamum ۞
(فصل) فروض التيمم خمسة : الأول : نقل التراب ، الثاني : النية ، الثالث : مسح الوجه ، الرابع : مسح اليدين إلى المرفقين ، الخامس : الترتيب بين المسحتين .
Furuudhuttayammumi Khomsatun : Al-Awwalu Naqlutturoobi , Ats-Tsaani Anniyyatu , Ats-Tsaalitsu Mashul Wajhi , Ar-Roobi’u Mashul Yadaini Ilal Mirfaqoini Al-Khoomisu At-Tartiibu Bainal Mashataini .
Fardhu-fardhu tayammum yaitu 5 : Yang pertama memindahkan debu , yang kedua niat , yang ketiga, menyapu wajah , yang keempat, menyapu 2 tangan sampai 2 sikut , yang kelima tertib di antara 2 sapuan.
Penjelasan Makna:
Fardhu Tayammum ada 5
Pertama, memindahkan debu yang suci dari wajah ke tangan dan seterusnya.
Kedua, niat tayamum. Dengan berniat li-istibahat as-shalat (diperbolehkannya mengerjakan ibadah shalat). Jika hendak mengerjakan shalat fardlu, maka berniat li-istibahat fardl as-shalat(diperbolehkannya mengerjakan shalat fardlu).
Ketiga, membasuh wajah. Namun tidak diwajibkan debu tersebut memasuki celah-celah rambut yang ada di wajah sebagaimana air wudlu. Bahkan tidak dianggap sunnah.
Keempat, mengusap debu yang suci pada kedua tangan sampai kedua sikutnya.
Kelima, tertib di antara kedua usapan. Artinya harus mendahulukan usapan pada anggota yang harus didahulukan dan mengakhirkan usapan pada anggota yang harus diakhirkan.
۞ Pembatal Tayamum ۞
(فصل) مبطلات التيمم أربعة : ما أبطل الوضوء والردة وتوهم الماء إن تيمم لفقده والشك .
Mubthilaatuttayammumi Tsalatsatun : Maa Abtholal Wudhuu-a , Warriddatu , Watawahhumul Maa-i In Yatayammama Lifaqdihi Wasysyak.
Segala yang membatalkan tayammum yaitu 3 : Apa-apa  yang membatalkan wudhu , dan murtad , dan menyangka ia akan ada air jika ia bertayammum karena ketiadaan air .
Penjelasan Makna:
Ada Tiga Sesuatu yang Dapat Membatalkan Tayamum;
Pertama, Segala sesuatu yang bisa membatalkan wudlu dapat membatalkan tayamum. Secara rinci bisa dilihat pada pembahasan tentang sesuatu yang dapat membatalkan wudlu.
Kedua, Murtadl. Jika seseorang yang mendadak mengeluarkan kalimat yang mengarah pada kemurtadlan di tengah-tengah atau setelah mengerjakan tayamum, maka seketika itu pula tayamumnya batal.
Ketiga, Menyangka adanya air. Maksudnya adalah bahwa jika seseorang melihat fatamorgana yang berada mengapung di atas jalanan disangka itu adalah air, atau melihat segolongan rombongan yang sedang berjalan dan dikira membawa air, atau ada mendung tipis menggelayut di atas langit yang diduga akan menjatuhkan air hujan, maka dapat membatalkan tayamum.
۞ Najis Yang Bisa Suci ۞
(فصل ) الذي يظهر من النجاسة ثلاثة : الخمر إذا تخللت بنفسها . وجلد الميتة إذا دبغ وما صارا حيوانا .
Alladzii Yathhuru Minannajaasaati Tsalaatsatun : Al-Khomru Idzaa Takhollalat Binafsiha , Wajildul Maytati Idzaa Dubigho , Wa Maa Shooro Hayawaanan .
Yang menjadi suci padahal awalnya najis adalah tiga jenis: Khomr apabila jadi cuka dengan sendirinya , dan kulit bangkai apabila disamak, dan apa-apa yang jadi binatang.
Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Ada Tiga Perkara Najis yang Bisa Menjadi Suci;
Pertama, Arak ketika menjadi cuka, dengan sendirinya atau secara alamiah. Perubahan dari arak menjadi cuka tanpa ada campuran seperti kimia atau tidak dengan menggunakan alat. Maka jika perubahan dari arak menjadi cuka dengan menggunakan cairan kimia atau dengan menggunakan alat teknologi canggih, maka tetap dianggap tidak suci, alias masih termasuk barang yang najis.
Kedua, Kulit bangkai ketika sudah disamak.
Ketiga, hewan yang muncul dari sesuatu atau daging bagkai, meski dari bangkai hewan yang najis seperti bangkai anjing yang telah membusuk dan mengeluarkan ulat-ulat, maka ulat-ulat tersebut adalah hewan yang suci.
۞ Macam-Macam Najis ۞
(فصل) النجاسة ثلاثه : مغلظة ومخففة ومتوسطة . المغلظة : نجاسة الكلب والخنزير وفرع أحدهما . والمخففة : بول الصبي الذي لم يطعم غير اللبن ولم يبلغ الحولين. والمتوسطة : سائر النجاسات.
Annajaasaatu Tsalaatsun : Mughollazhotun , Wa Mukhoffafatun, Wa Mutawassithotun . Wal Mughollazhotu Najaasatul Kalbi Wal Khinzhiiri Wafar’i Ahadihima . Wal Mukhoffafatu Baulushshobiyyi Alladzii Lam Yath’am hoyrollabani Walam Yablughil Haulaini .wal Mutawassithotu Saairunnajaasaati
Segala najis yaitu 3 : Najis berat , dan najis ringan , dan najis sedang . Dan najis berat yaitu najis anjing dan babi dan anak-anak dari salah satu keduanya . Dan najis ringan yaitu kencing anak kecil yang tidak makan selain air susu dan belum sampai umurnya 2 tahun . Dan najis sedang yaitu semua najis .
Najasah (Najis)
Najis atau najasah dalam bahasa Arab artinya kotoran atau sesuatu yang menjijikan dalam ilmu fiqih ialah kotoran atau sesuatu yang menjijikan yang bisa menghalangi kesempurnaan shalat.
Pembagian Najis
Najis dibagi menjadi Tiga Bagian:
1- Najis Mugholladzoh. (Berat)
Najis yang berat yaitu anjing, babi dan anak yang lahir dari keduanya.
Cara mensucikannya ialah dicuci bersih dengan air 7 kali dan salah satunya wajib dicuci dengan tanah.
Cara ini berdasarkan sabda Rasulallah saw: “Sucinya tempat (perkakas) seseorang diantara kamu apabila telah dijilat oleh anjing, adalah dengan dicuci tujuh kali. Permulaan diantara pencucian itu (harus) dicuci dengan tanah”. (HR. Muslim)
2- Najis Mukhofafah (Ringan)
Ialah najis yang ringan, seperti air kencing anak laki-laki yang usianya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-apa, selain air susu ibunya.
Cara membersihkannya, cukup dengan memercikkan air bersih pada benda yang terkena najis.
Rasulallah saw bersabda: “Barangsiapa yang terkena air kencing anak wanita, harus dicuci. Dan jika terkena air kencing anak laki-laki cukuplah dengan memercikkan air padanya”. (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim)
3- Najis Mutawassithah (Sedang)
Najis yang sedang, yaitu najis selain najis mughaladzah (berat) dan najis mukhafafah (ringan) seperti:
Arak
Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” al-Maidah 90
Darah
Sesuai dengan hadist yang diriwayatkan Aisyah ra, Rasulallah saw bersabda “Jika datang haid, maka tinggalkanlah shalat. Jika pergi maka bersucilah dan lakukanlah shalat” (HR Bukhari Muslim)
Nanah adalah darah yang berobah menjadi busuk
Muntah adalah makanan yang berubah di dalam perut mejadi rusak dan busuk, hukumnya seperti tahi.
Kotoran (tahi) manusia atau binatang (selain binatang yang tidak mengelair darahnya).
Dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata: “Aku membawa kepada Rasulallah saw dua batu dan segumpal najis (tahi) binatang yang kering. Lalu beliau mengambil dua batu dan membuang najis tersebut. Beliau bersabda: Sesungguhnya ia najis” (HR Bukhari)
Kencing (kecuali kecing anak laki-laki yang belum berusia 2 tahun dan belum makan kecuali susu ibunya).
Rasulullah saw pernah melewati dua kuburan, maka beliau bersabda, “Mereka berdua sedang disiksa, dan keduanya tidak disiksa karena dosa besar. Adapun salah seorang dari keduanya dia tidak beristinja’ dari kencingnya (cebok), sedangkan yang lainnya dia menebarkan adu domba (namimah) ” (HR Bukhari Muslim)
Madzi dan wadi
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Jika kau melihat madzi, maka cucilah kemaluanmu, dan berwudhulah” (HR Bukhari Muslim).
Susu binatang yang tidak dimakan dagingnya hukumnya najis kecuali susu ibu (manusia) suci,
Anggota yang terputus dari binatang yang hidup hukumnya najis kecuali ikan, belalang dan manusia.
Rasulallah saw bersabda “apa yang terputus dari anggota binatang hidup, adalah bangkai” (HR Abu Daud, at-Tirmidzi).
Sedang rambut atau bulu bangkai binatang yang boleh dimakan dagingnya hukumnya suci. Allah berfirman “dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu). An-Nahl 80 ,
Cara mensucikan najis mutawasithah (sedang) yaitu dicuci dengan air sampai hilang warna, bau dan rasanya.
Najis mutawassithah terbagi atas dua bagian:
1. Najis ‘Ainiah
Najis ‘Ainiah yaitu najis yang memiliki bentuk atau wujud dan bisa dilihat oleh mata. Ia memiliki warna, rasa dan bau. Kalau terkana najis ini, cara mensucikannya dengan menghilangkan zatnya sampai hilang warna, rasa dan baunya. Semasih najis itu belum hilang salah satu dari zatnya yaitu warna, rasa dan baunya, maka hukum benda itu masih tetap najis. Jika warna dan bau belum juga hilang setelah dicuci karena mendapat kesulitan maka hukum benda itu suci.
2. Najis Hukmiah
Najis Hukmiyah yaitu najis yang tidak memiliki bentuk atau wujud dan tidak bisa dilihat oleh mata. seperti kencing yang sudah kering. Kalau terkana najis ini, cara mensucikannya cukup dengan mengalirkan air pada bekas najis tersebut.
Keterangan (Ta’liq):
Madzi ialah air seperti lendir yang keluar dari kemaluan sewaktu timbul birahi dan jika ingin shalat tidak usah mandi cukup dengan mecucinya sampai bersih dan wudhu.
Madi ialah air seperti lendir yang keluar dari kemaluan karena sakit diantaranya keputihan dan jika ingin shalat tidak usah mandi cukup dengan mencucinya sampai barsih dan wudhu.
۞ Penyucian Najis ۞
(فصل ) المغلظة : تطهر بسبع غسلات بعد إزالة عينها ،إحداهن بتراب . والمخففة : تطهر برش الماء عليها مع الغلبة وإزالة عينها .
Al-Mughollazhotu Tathhuru Bighoslihaa Sab’an Ba’da Izaalati ‘Ainihaa Ihdaahunna Bituroobin . Wal Mukhoffafatu Tathhuru Birosysyil Maa-i ‘Alaihaa Ma’al Gholabati Waizaalati ‘Ainihaa .
Najis Mughollazhoh atau berat suci ia dengan membasuhnya 7 kali sesudah menghilangkan dzatnya salah satunya dengan tanah .  Dan najis Mukhoffafah atau ringan suci ia dengan memercikkan air diatasnya  serta rata dan sudah hilang dzatnya
والمتوسطة تنقسم إلى قسمين: عينية وحكميه . العينية : التي لها لون وريح وطعم فلا بد من إزالة لونها وريحها وطعمها .
Wal Mutawassithotu Tanqosimu Ilaa Qismaini : ‘ Ainiyyatun Wa Hukmiyyatun . Al’Ainiyyatu Allatii Lahaa Launun Wa Riihun Wa Tho’mun Falaa Budda Min Izaalati Launihaa Wa Riihahaa Wa Tho’mihaa
Dan najis Mutawassithoh atau najis sedang terbagi kepada 2 bagian : ‘Ainiyyah dan Hukmiyyah . Adapun ‘ainiyyah yaitu sesuatu yg baginya ada warna dan bau dan rasa maka tidak boleh tidak dari menghilangkan warnanya dan baunya dan rasanya .
Dan najis hukmiyyah yaitu yg tidak ada warna dan tidak ada bau dan tidak ada rasa maka cukup mengalirkan air diatasnya .
Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Cara Penyucian Pada Tiga Macam Najis
1- Najis Mugholladzoh. (Berat)
Najis yang berat yaitu anjing, babi dan anak yang lahir dari keduanya.
Cara mensucikannya ialah dicuci bersih dengan air 7 kali dan salah satunya wajib dicuci dengan tanah.
Cara ini berdasarkan sabda Rasulallah saw: “Sucinya tempat (perkakas) seseorang diantara kamu apabila telah dijilat oleh anjing, adalah dengan dicuci tujuh kali. Permulaan diantara pencucian itu (harus) dicuci dengan tanah”. (HR. Muslim)
2- Najis Mukhofafah (Ringan)
Ialah najis yang ringan, seperti air kencing anak laki-laki yang usianya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-apa, selain air susu ibunya.
Cara membersihkannya, cukup dengan memercikkan air bersih pada benda yang terkena najis.
Rasulallah saw bersabda: “Barangsiapa yang terkena air kencing anak wanita, harus dicuci. Dan jika terkena air kencing anak laki-laki cukuplah dengan memercikkan air padanya”. (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim)
3- Najis Mutawassithah (Sedang)
Cara mensucikan najis mutawasithah (sedang) yaitu dicuci dengan air sampai hilang warna, bau dan rasanya.
Najis mutawassithah terbagi atas dua bagian:
1. Najis ‘Ainiah
Najis ‘Ainiah yaitu najis yang memiliki bentuk atau wujud dan bisa dilihat oleh mata. Ia memiliki warna, rasa dan bau. Kalau terkana najis ini, cara mensucikannya dengan menghilangkan zatnya sampai hilang warna, rasa dan baunya. Semasih najis itu belum hilang salah satu dari zatnya yaitu warna, rasa dan baunya, maka hukum benda itu masih tetap najis. Jika warna dan bau belum juga hilang setelah dicuci karena mendapat kesulitan maka hukum benda itu suci.
2. Najis Hukmiah
Najis Hukmiyah yaitu najis yang tidak memiliki bentuk atau wujud dan tidak bisa dilihat oleh mata. seperti kencing yang sudah kering. Kalau terkana najis ini, cara mensucikannya cukup dengan mengalirkan air pada bekas najis tersebut.
Keterangan (Ta’liq):
Madzi ialah air seperti lendir yang keluar dari kemaluan sewaktu timbul birahi dan jika ingin shalat tidak usah mandi cukup dengan mecucinya sampai bersih dan wudhu.
Madi ialah air seperti lendir yang keluar dari kemaluan karena sakit diantaranya keputihan dan jika ingin shalat tidak usah mandi cukup dengan mencucinya sampai barsih dan wudhu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kesuwun pun mampir

Cek Ongkir/pengiriman

Jam

Tanggal

cek