Maulid Nabi Muhammad saw
HILANGNYA KEBERKAHAN ILMU ANAK, KARENA PRILAKU BURUK ORANG TUA TERHADAP GURUNYA
Syekh Abdul Qadir adalah seorang ulama yang terkenal pada zamannya. Murid-muridnya berasal dari berbagai kalangan. Ada anak orang kaya, ada anak penguasa, ada juga anak pedagang dan anak-anak orang miskin. Di madrasah Syekh Abdul Qadir tidak ada dikriminasi, semua murid diperlakukan sama.
Di madrasah Syekh Abdul Qadir diperkenalkan ilmu dan lebih diutamakan adab, termasuk adab kepada guru yang dijunjung tinggi. Termasuk adab yang diajarkan adalah bagaimana murid berhikmat dan meraih keberkahan dari gurunya.
Sebuah kebiasaan bahwa ketika sang guru sedang menyantap makanan, maka murid-murid tidak ada yang ikut makan sebelum gurunya selesai, ternyata ada tradisi meraih berkah ilmu dengan memakan sisa makanan gurunya.
Syekh Abdul Qadir paham hal tersebut sehingga ia selalu menyisahkan makanannya untuk di ambil oleh murid-muridnya. Seorang tamu yang datang menjenguk anaknya melihat hal itu dan berfikir bahwa anak-anak mereka yang belajar pada Syekh Abdul Qadir diperlakukan seperti babu atau kucing. Masa mereka diberikan sisa makanan dari gurunya. Pikiran kotor inilah yang menyebabkan orang tua murid tadi memprofokasi orang tua lainnya.
Salah satu orang tua yang merupakan orang terpandang, kaya dan penguasa termakan propokasi dan datang menghadap Syekh Abdul Qadir dan mengungkapkan keberatannya atas perlakuan sang guru kepada anaknya yang dianggap melecehkan kehormatannya dan kehormatan anaknya.
Maka terjadilah dialog sebagai berikut :
“Wahai tuan syekh, saya menghantar anak saya kepada tuan syekh bukan untuk jadi pembantu atau dilakukan seperti kucing. Saya hantar kepada tuan syekh, supaya anak saya jadi alim ulama’.”
Syekh Abdul Qadir hanya jawab ringkas saja. “ Kalau begitu ambillah anakmu.”
Maka si bapak tadi mengambil anaknya untuk pulang. Ketika keluar dari rumah syekh menuju jalan pulang. Orang tua murid tadi bertanya pada anaknya beberapa hal mengenai ilmu hukum syariat, ternyata kesemua soalannya dijawab dengan tepat dan rinci. Maka bapak tadi berubah fikiran dan mengembalikan anaknya kepada tuan Syekh Abdul Qadir.
“Wahai tuan syekh terimalah anak saya untuk belajar dengan tuan kembali. Tuan didiklah anak saya. Ternyata anak saya bukan seorang pembantu dan juga diperlakukan seperti kucing. Saya melihat ilmu anak saya sangat luar biasa bila bersamamu.”
Maka jawab tuan Syekh Abdul Qadir. “Bukan aku tidak mau menerimanya kembali, tapi ALLAH sudah menutup pintu hatinya untuk menerima ILMU dariku, ALLAH sudah menutup futuhnya (Mata Hati) untuk mendapat ilmu disebabkan orang tua yang tidak beradab kepada GURU.”
Ternyata orang tua yang tidak beradab pada guru bisa menyebabkan anak-anaknya menjadi korban kehilangan keberkahan ilmu dari guru-gurunya.
Begitulah ADAB dalam menuntut ilmu. Anak, Ibu, Ayah dan siapa pun perlu menjaga adab kepada guru. Kata ulama: Satu perasangka buruk saja kepada gurumu maka Allah haramkan seluruh keberkatan yang ada pada gurumu kepadamu.
Kisah ini adalah refleksi untuk para orang tua siswa, sia-sialah kita menyekolahkan anak kita kalau pada akhirnya ilmu yang diperolehnya tidak berberkah. Karena kita sebagai orang tua yang tidak beradab kepada guru sehingga anak-anak kitapun menjadi kehilangan adab kepada gurunya.
Setiap Manusia Memiliki Nasab
Setiap manusia di muka bumi ini memiliki nasab kepada satu jiwa yaitu kepada Nabi Adam. Allah SWT telah menciptakan Adam dari tanah dan menghembuskan ruh ke dalamnya.
Allah memerintahkan malaikat untuk sujud kepada Nabi Adam dan menghormati penciptaan Nabi Adam serta memuliakannya. S emua malaikat bersujud kecuali iblis yang dilaknat Allah.
Inilah mengapa Allah menciptakan dari Adam itu jiwa yang dinamai dengan Hawa untuk tinggal dan menemaninya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih, dari Rasulullah, Allah telah menciptakan (Hawa) dari tulang rusuk Adam yang bengkok.
Mengapa pasangan Nabi Adam tersebut dinamai Hawa? Berikut ulasannya sebagaimana dilansir Mawdoo 3 pada Ahad (14/2).
Para ulama dan sejarawan berbeda pendapat tentang sebab penamaan Hawa. Sebab tidak ada hadits sahih dari Rasulullah yang dapat menjadi rujukan berkaitan dengan itu.
Di antara para ulama yang meneliti tentang makna kalimat Hawa secara bahasa mengartikan itu sebagai kata turunan dari al-hawwat, yang berarti bibir coklat. Maka disebut hawwa dan untuk laki-laki disebut ahwa. Disebut juga kecoklat-coklatan warna kulitnya karena dia berkulit kecoklatan.
Imam Nawawi meriwayatkan dalam syarah Shahih Imam Muslim dari Ibnu Abbas bahwa Hawa dinamai begitu karena Hawa adalah ibu dari setiap kehidupan. Maka semua manusia berasal dari keturunannya, dari kandungan Hawa.
Allah pun menghendaki Hawa mengandung dua pasang, masing-masing pasangan adalah laki-laki dan perempuan. Adam kemudian menikahkan anak laki-lakinya dengan anak perempuannya yang berbeda rahim atau kelahiran
Imam Qurtubi meriwayatkan dalam tafsirnya sebab lain dari pada penanaman Hawa dengan nama ini. Mengutip sebuah riwayat yang mengatakan saat Adam duduk sendiri, Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuknya tanpa disadarinya.
Dan ketika Adam memperhatikannya, Adam bertanya pada malaikat tentang Hawa. Maka berkata malaikat, dia adalah seorang wanita. Maka Adam bertanya tentang nama wanita itu. Maka malaikat menjawab dia bernama Hawa.
Nabi Adam pun bertanya tentang mengapa dinamakan itu? Maka malaikat berkata bahwa sesungguhnya dia itu perempuan (imroatun) karena dia diciptakan dari seorang (al maru), dan dia dinamai Hawa karena dia diciptakan dari kehidupan (hayyat). Dialog antara malaikat dan Adam itu terjadi untuk menguji keilmuan nabi Adam.Wallahu a’lam