Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam shalat adalah menutup aurat. Maka wajib bagi orang yang hendak shalat untuk menutup seluruh auratnya mulai awal melaksanakan shalat hingga selesai. Aurat laki-laki meliputi pusar hingga lutut. Sedangkan aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Perbedaan dalam penilaian menutup aurat antara laki-laki dan perempuan saat shalat adalah: jika orang yang melaksanakan shalat adalah laki-laki maka aurat harus tertutup dari empat penjuru, yaitu tidak terlihat dari arah samping, arah depan, arah belakang dan arah atas. Sedangkan bagi perempuan, aurat harus tertutup dari seluruh arah tersebut serta dari arah bawah. Sehingga jika paha laki-laki terlihat pada saat sujud, maka hal demikian tidak sampai membatalkan shalat, sebab paha adalah bagian yang terlihat dari arah bawah. Berbeda halnya jika hal demikian terjadi pada perempuan, maka shalatnya menjadi batal.
Hal yang sering terjadi bagi kaum perempuan saat shalat adalah seringnya sedikit bagian dari rambut mereka terlihat pada saat shalat sedang berlangsung. Padahal seperti kita pahami bersama bahwa rambut perempuan merupakan salah satu aurat yang harus ditutup pada saat melaksanakan shalat. Lalu ketika rambut perempuan sedikit terlihat pada saat shalat berlangsung, apakah hal tersebut dapat membatalkan shalatnya?
Menurut mazhab Syafi’i, bagian aurat yang terlihat pada saat shalat, baik yang terlihat adalah sedikit ataupun banyak—termasuk sedikit rambut perempuan—adalah hal yang membatalkan shalat. Sehingga ia wajib untuk mengulang kembali shalatnya, sebab shalat yang ia lakukan pada saat terbuka auratnya dianggap shalat yang tidak sah. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitabHawasyi as-Syarwani:
قول المتن: (ما سوى الوجه والكفين) أي حتى شعر رأسها وباطن قدميها ويكفي ستره بالأرض في حال الوقوف فإن ظهر منه شئ عند سجودها أو ظهر عقبها عند ركوعها أو سجودها بطلت صلاتها
“Wajib menutup seluruh tubuh saat shalat bagi perempuan kecuali wajah dan dua telapak tangan. Maksudnya, juga mencakup rambut dari perempuan dan bagian dalam telapak kaki perempuan. Menutup telapak kaki dengan tanah dianggap cukup dalam keadaan berdiri. Jika tampak sedikit dari telapak kaki perempuan saat sujud, atau tumitnya terlihat saat ruku’ atau sujud, maka shalatnya menjadi batal.” (Syekh Abdul Hamid as-Syarwani, Hawasyi as-Syarwani, juz 2, hal. 112)
Berbeda halnya menurut mazhab selain Syafi’i, seperti halnya dalam mazhab Hanbali (mazhab Ahmad ibnu Hanbal) atau mazhab Hanafi, yang membedakan antara aurat yang terlihat sedikit atau banyak. Jika aurat yang terlihat hanya sedikit, maka shalatnya tidak batal. Namun jika aurat yang terlihat cukup banyak, maka shalatnya menjadi batal. Seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah:
ـ (فصل) فان انكشف من العورة يسير لم تبطل صلاته نص عليه أحمد وبه قال أبو حنيفة وقال الشافعي تبطل لانه حكم تعلق بالعورة فاستوى قليله وكثيره كالنظرة
“Pasal. Jika sedikit aurat terbuka saat shalat, maka shalatnya tidak batal. Hukum ini dijelaskan oleh Imam Ahmad, dan Imam Abu Hanifah juga berpendapat demikian. Sedangkan Imam Syafi’i berpandangan bahwa shalatnya menjadi batal, sebab permasalahan ini berhubungan dengan aurat, maka sedikit atau banyak menempati hukum yang sama, seperti halnya dalam permasalahan memandang aurat.” (Syekh Ibnu Qudamah,Al-Mughni, juz 2, hal. 280)
Aurat yang sedikit pada referensi di atas berlaku secara umum, sehingga juga berlaku pada bagian rambut bagi perempuan, maka ketika terlihat sedikit dari bagian rambut mereka, shalatnya tetap sah alias tidak wajib diulang dalam pandangan mazhab Hanbali dan Hanafi. Seperti yang ditegaskan oleh salah satu ulama terkemuka mazhab Hanbali, Syekh Taqiyuddin bin Taimiyah:
مسألة : سئل عن المرأة إذا ظهر شيء من شعرها في الصلاة هل تبطل صلاتها أم لا ؟
أجاب : إذا انكشف شيء يسير من شعرها وبدنها لم يكن عليها الإعادة عند أكثر العلماء وهو مذهب أبي حنيفة وأحمد . وإن انكشف شيء كثير أعادت الصلاة في الوقت عند عامة العلماء الأئمة الأربعة وغيرهم والله أعلم
“Soal: Syekh Taqiyuddin ditanyai tentang perempuan yang tampak sedikit dari rambutnya saat shalat, apakah batal atau tidak?”
Beliau menjawab: “Jika sedikit dari rambut perempuan atau bagian tubuhnya terbuka saat shalat maka tidak perlu baginya untuk mengulang kembali shalatnya menurut mayoritas ulama yang meliputi mazhab Abu Hanifah dan Ahmad. Namun jika yang terbuka adalah bagian yang cukup banyak maka wajib mengulang shalat pada waktu shalat tersebut masih ada, menurut para ulama secara umum yaitu mazhab empat dan mazhab yang lain.Waalahu a’lam.” (Syekh Taqiyuddin bin Taimiyah, al-Fatawa al-Kubra, Juz 2, Hal. 56)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam menyikapi persoalan status shalat perempuan yang terlihat rambutnya, terjadi perbedaan antar-mazhab. Yaitu mazhab Syafi’i yang berpendapat batal dan mazhab ahmad serta mazhab Hanafi yang berpendapat tetap sah ketika rambut terlihat hanya sedikit.
Perbedaan tersebut sama-sama mu’tabar dan diakui secara fiqih. Namun dalam ranah pengamalan, sebaiknya kita mengikuti mazhab Syafi’i seperti yang biasa dianut oleh mayoritas masyarakat Muslim Indonesia. Sebab jika kita dalam permasalahan ini mengikuti pandangan mazhab Ahmad misalnya, yang berpandangan tidak batal, maka dalam persoalan shalat secara utuh kita juga wajib melaksanakannya berdasarkan pandangan mazhab Ahmad, agar terhindar dari talfiq (pencampuran beberapa mazhab dalam satu qadiyyah) yang dilarang oleh syara’.
Segala penjelasan di atas adalah dalam kasus terlihatnya rambut perempuan dari awal shalat dan dianggap oleh yang bersangkutan sebagai bukan hal yang bermasalah, seperti yang sering terjadi pada umumnya wanita awam.
Berbeda halnya ketika perempuan yang melaksanakan shalat sudah menutup auratnya secara keseluruhan, namun ternyata di pertengahan shalatnya tiba-tiba auratnya terbuka (dalam hal ini sebagian rambutnya terlihat) karena faktor tertiup angin. Dalam keadaan demikian wajib baginya seketika itu juga menutup aurat yang terlihat tersebut agar shalatnya tidak dihukumi batal. Jika aurat yang terlihat tidak segera ia tutup, sekiranya melebihi waktu minimal thuma’ninah dalam shalat (dengan kadar waktu mengucapkan lafadz subhanallah) maka shalatnya menjadi batal.
Jika penyebab terbukanya aurat bukan karena faktor tertiup angin, seperti karena terkena gesekan gerakan tubuhnya sendiri atau penyebab terbukanya aurat tersebut tanpa diketahui oleh dirinya atau sebab-sebab yang lain, maka dalam keadaan demikian terjadi perbedaan pendapat di antara ulama: sebagian berpendapat shalatnya langsung dihukumi batal, sedangkan ulama yang lain berpandangan bahwa hukumnya sama dengan permasalahan terbukanya aurat karena tertiup angin, sehingga harus segera ditutup auratnya dan shalatnya tetap sah. Namun pendapat yang kuat (mu’tamad) adalah pendapat yang mengatakan bahwa shalatnya wanita yang terbuka auratnya bukan karena faktor tertiup angin adalah langsung dihukumi batal, sehingga wajib baginya untuk mengulang kembali shalatnya (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib, juz 4, hal. 446). Wallahu a’lam