Bacaan yang dibaca
Di Pimpin H.ust.Abdul Hadi
Mengenali nasab (garis keturunan) itu sangat penting sebab memungkinkan terjalinnya terus-menerus tali persaudaraan. Hal ini dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu álaihi wasallam sebagaimana beliau sabdakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari sebagai berikut:
اعرفوا أنسابكم تصلوا أرحامكم ، فإنه لا قرب لرحم إذا قطعت ، وإن كانت قريبة ، ولا بعد لها إذا وصلت وإن كانت بعيدة
Artinya, “Kenalilah nasab-nasabmu, maka tali persaudaraanmu akan terus bersambung. Sesungguhnya jika tali persaudaraan terputus, maka hubungan itu menjadi jauh meskipun sebetulnya dekat. Sebaliknya tali persaudaraan itu menjadi dekat bilamana kamu terus menyambungnya sekalipun telah jauh hubungannya.”
Sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu álaihi wasallam telah dengan jelas mengisyaratkan bahwa sungguhpun suatu hubungan genealogis telah cukup jauh, tapi bisa dekat ketika jalinan silaturahim terus berlangsung. Dalam struktur silsilah Jawa generasi pertama disebut anak, generasi kedua putu, generasi ketiga buyut, generasi keempat canggah, generasi kelima wareng, generasi keenam udeg-udeg, generasi ketujuh gantung, generasi kedelapan siwur, generasi kesembilan debok bosok, dan generasi kesepuluh galih asem.
Hubungan antarsesama generasi keenam (udeg-udeg) atau generasi ketujuh (gantung) misalnya, tentu sudah cukup jauh. Namun, hubungan itu bisa menjadi dekat apabila mereka saling mengenal garis keturunannya dan terus menerus menjalin silaturahim dengan baik. Sebaliknya sungguhpun dekat suatu hubungan genealogis, misal sesama generasi kedua (putu), hubungan mereka bisa jauh apabila sama-sama tidak saling menyadari garis keturunannya. Ketika di antara mereka yang sesama generasi kedua (putu) tersebut tidak terjalin silaturahim, maka potensi putusnya tali persaudaraan mereka cukup besar. Inilah yang sangat diwanti-wanti oleh Rasulullah agar jangan sampai terjadi pada umat beliau. Peringatan Rasulullah shallallahu álaihi wasallam tersebut penting untuk diperhatikan sebab dalam hadits yang lain beliau bersabda:
تعلموا من أنسابكم ما تصلون به أرحامكم ، فإن صلة الرحم محبة في الأهل مثراة في المال، منسأة في الأثر
Artinya, “Belajarlah dari nasab-nasabmu hal-hal yang mempererat persaudaraan, sesungguhnya mempererat persaudaraan menumbuhkan kecintaan terhadap sanak saudara, memperbanyak rejeki (harta), dan memperpanjang umur.” (HR. Tirmidzi) Jadi menjalin silaturahim dengan sanak saudara yang memiliki hubungan nasab itu penting, terlebih di saat-saat Lebaran dimana terdapat banyak kesempatan karena merupakan hari-hari libur secara nasional. Tradisi pertemuan antar bani atau ahlen dan saling berkunjung ke rumah sanak saudara adalah salah satu contoh cara bagaimana kedua hadits di atas diamalkan. Di balik itu semua, ternyata terdapat banyak hikmah sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, yakni:
Pertama, menumbuhkan cinta di dalam internal sanak saudara yang memungkinkan terjadinya gotong royong atau saling menolong. Juga tidak menutup kemungkinan terjalinnya hubungan yang lebih dekat lagi, seperti perkawinan (dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat).
Kedua, memperbanyak rezeki (harta). Semua rejeki berasal dari Allah subhanu wata’ala karena Dia-lah Sang Pemberi Rejeki. Tetapi tanpa bersosialisasi dengan sesama manusia, rejeki sulit didapat sebab seringkali rejeki dihasilkan dengan berinteraksi dan komunikasi. Silaturahim dengan sanak saudara memperluas wilayah jangkauan rejeki.
Ketiga, memperpanjang umur. Kalimat ini bisa bermakna harfiah, dan bisa pula bermakna majaz. Silaturahim dengan sanak saudara memperpanjang umur bisa berarti Allah akan memberi umur panjang seperti usia bisa mencapai lebih dari 70 tahun. Dalam makna majaz, hal ini bisa berarti seseorang mendapat banyak kesempatan berbuat kebaikan meski usianya sendiri relatif pendek sehingga amal kebaikannya setara dengan mereka yang berumur panjang. Itulah pentingnya ahlen dan saling berkunjung antar saudara di Hari Lebaran. Kedua tradisi ini hanyalah sebagian dari teknis atau cara bagaiamana kedua hadits di atas diamalkan. Persoalan adanya tuduhan bidáh dari pihak tertentu, tidak perlu kita cemaskan. Bukankah kita telah memahami bahwa kategori bidáh ada lima, yakni: haram, sunah, wajib, makruh, dan mubah sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam As-Salami, dalam kitab Al-Qawaídu Al-Kubra, Al-Mausum bi Qawaidil Ahkam fi Ishlahil Anam, hal. 337.
Mengenali nasab (garis keturunan) itu sangat penting sebab memungkinkan terjalinnya terus-menerus tali persaudaraan. Hal ini dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu álaihi wasallam sebagaimana beliau sabdakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari sebagai berikut:
اعرفوا أنسابكم تصلوا أرحامكم ، فإنه لا قرب لرحم إذا قطعت ، وإن كانت قريبة ، ولا بعد لها إذا وصلت وإن كانت بعيدة
Artinya, “Kenalilah nasab-nasabmu, maka tali persaudaraanmu akan terus bersambung. Sesungguhnya jika tali persaudaraan terputus, maka hubungan itu menjadi jauh meskipun sebetulnya dekat. Sebaliknya tali persaudaraan itu menjadi dekat bilamana kamu terus menyambungnya sekalipun telah jauh hubungannya.”
Sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu álaihi wasallam telah dengan jelas mengisyaratkan bahwa sungguhpun suatu hubungan genealogis telah cukup jauh, tapi bisa dekat ketika jalinan silaturahim terus berlangsung. Dalam struktur silsilah Jawa generasi pertama disebut anak, generasi kedua putu, generasi ketiga buyut, generasi keempat canggah, generasi kelima wareng, generasi keenam udeg-udeg, generasi ketujuh gantung, generasi kedelapan siwur, generasi kesembilan debok bosok, dan generasi kesepuluh galih asem.
Hubungan antarsesama generasi keenam (udeg-udeg) atau generasi ketujuh (gantung) misalnya, tentu sudah cukup jauh. Namun, hubungan itu bisa menjadi dekat apabila mereka saling mengenal garis keturunannya dan terus menerus menjalin silaturahim dengan baik. Sebaliknya sungguhpun dekat suatu hubungan genealogis, misal sesama generasi kedua (putu), hubungan mereka bisa jauh apabila sama-sama tidak saling menyadari garis keturunannya. Ketika di antara mereka yang sesama generasi kedua (putu) tersebut tidak terjalin silaturahim, maka potensi putusnya tali persaudaraan mereka cukup besar. Inilah yang sangat diwanti-wanti oleh Rasulullah agar jangan sampai terjadi pada umat beliau. Peringatan Rasulullah shallallahu álaihi wasallam tersebut penting untuk diperhatikan sebab dalam hadits yang lain beliau bersabda:
تعلموا من أنسابكم ما تصلون به أرحامكم ، فإن صلة الرحم محبة في الأهل مثراة في المال، منسأة في الأثر
Artinya, “Belajarlah dari nasab-nasabmu hal-hal yang mempererat persaudaraan, sesungguhnya mempererat persaudaraan menumbuhkan kecintaan terhadap sanak saudara, memperbanyak rejeki (harta), dan memperpanjang umur.” (HR. Tirmidzi) Jadi menjalin silaturahim dengan sanak saudara yang memiliki hubungan nasab itu penting, terlebih di saat-saat Lebaran dimana terdapat banyak kesempatan karena merupakan hari-hari libur secara nasional. Tradisi pertemuan antar bani atau ahlen dan saling berkunjung ke rumah sanak saudara adalah salah satu contoh cara bagaimana kedua hadits di atas diamalkan. Di balik itu semua, ternyata terdapat banyak hikmah sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, yakni:
Pertama, menumbuhkan cinta di dalam internal sanak saudara yang memungkinkan terjadinya gotong royong atau saling menolong. Juga tidak menutup kemungkinan terjalinnya hubungan yang lebih dekat lagi, seperti perkawinan (dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat).
Kedua, memperbanyak rezeki (harta). Semua rejeki berasal dari Allah subhanu wata’ala karena Dia-lah Sang Pemberi Rejeki. Tetapi tanpa bersosialisasi dengan sesama manusia, rejeki sulit didapat sebab seringkali rejeki dihasilkan dengan berinteraksi dan komunikasi. Silaturahim dengan sanak saudara memperluas wilayah jangkauan rejeki.
Ketiga, memperpanjang umur. Kalimat ini bisa bermakna harfiah, dan bisa pula bermakna majaz. Silaturahim dengan sanak saudara memperpanjang umur bisa berarti Allah akan memberi umur panjang seperti usia bisa mencapai lebih dari 70 tahun. Dalam makna majaz, hal ini bisa berarti seseorang mendapat banyak kesempatan berbuat kebaikan meski usianya sendiri relatif pendek sehingga amal kebaikannya setara dengan mereka yang berumur panjang. Itulah pentingnya ahlen dan saling berkunjung antar saudara di Hari Lebaran. Kedua tradisi ini hanyalah sebagian dari teknis atau cara bagaiamana kedua hadits di atas diamalkan. Persoalan adanya tuduhan bidáh dari pihak tertentu, tidak perlu kita cemaskan. Bukankah kita telah memahami bahwa kategori bidáh ada lima, yakni: haram, sunah, wajib, makruh, dan mubah sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam As-Salami, dalam kitab Al-Qawaídu Al-Kubra, Al-Mausum bi Qawaidil Ahkam fi Ishlahil Anam, hal. 337.