Tips Membedakan Agama Dan Budaya Dalam Memahami Hadits


Nabi Muhammad ﷺ adalah orang Arab yang tidak terlepas dari unsur-unsur budaya Arab pada masa beliau hidup. Hal ini tentu memengaruhi pembacaan kita atas hadits. Dalam kajian ilmu hadits, tidak semua hadits itu merupakan sunnah. Karena ada sebagian hadits yang sekadar menjelaskan budaya Arab pada saat itu.
Kiai Ali Mustafa Yaqub memberikan pandangan bahwa dalam memahami hadits diharuskan bisa memisahkan antara budaya dan sunnah Rasulullah ﷺ. Dalam karyanya yang berjudul at-Thuruq as-Shahihah fi Fahmi Sunnah an-Nabawiyah disebutkan beberapa kiat untuk membedakan antara agama dan budaya dalam sabda Rasulullah ﷺ . (Lihat: Ali Mustafa Yaqub, at-Thuruq as-Shohihah fi Fahmi Sunnah an-Nabawiyah , [Ciputat: Maktabah Darus-Sunnah, 2016], h. 103)
Pertama , ajaran agama Islam hanya dilakukan oleh kaum Muslimin. Hal ini berbeda dengan budaya yang selain kaum Muslimin pun melakukannya. Sebut saja serban. Serban merupakan budaya Arab. Hal ini bisa dibuktikan bahwa serban tidak hanya dipakai kaum Muslimin pada saat itu. Bahkan pesohor kafir Quraisy seperti Abu Jahal pun memakainya.
Kedua, ada beberapa budaya yang hadir sebelum munculnya Islam. Seperti al-jummah pada rambut kepala yang terus berlanjut hingga Islam datang. Hal ini tentu berbeda dengan agama yang muncul setelah Islam datang. Karena syariat atau agama hanya ada setelah datangnya Islam.
Ketiga , ada beberapa budaya yang muncul sebelum Islam datang. Namun setelah datang Islam, turunlah wahyu dari Allah ﷻ. Maka, walaupun hal tersebut ada sebelum Islam datang, namun keberadaanya menjadi syariat berdasarkan wahyu yang diturunkan. Sebagaimana perhitungan bulan Qamariyah dan manasik haji.
Dahulu sebelum Islam datang, keduanya adalah budaya jahiliyah dan syariat Nabi Ibrahim As. Ketika Islam datang dan menetapkan hal tersebut, maka hal itu menjadi bagian dari syariat Islam. Kaum Muslimin yang menggunakan bulan qamariyah tidak lantas mengikuti budaya jahiliyah, melainkan mengamalkan ajaran syariat Islam.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Imam Muslim (w. 256 H) yang membuat bab khusus dalam Shahih-nya dengan judul:
ﺑﺎﺏ ﻭُﺟُﻮﺏِ ﺍﻣْﺘِﺜَﺎﻝِ ﻣَﺎ ﻗَﺎﻟَﻪُ ﺷَﺮْﻋًﺎ ﺩُﻭﻥَ ﻣَﺎ ﺫَﻛَﺮَﻩُ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣِﻦْ ﻣَﻌَﺎﻳِﺶِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﺮَّﺃْﻯِ
Artinya, “Bab Kewajiban Mengikuti Sabda Nabi yang Berupa Syariat, Bukan Pernyataan Beliau tentang Kehidupan Dunia Menurut Pendapatnya. (Lihat: Abû al-Hajjâj Muslim, Saḥiḥ Muslim , [Beirut: Dâr al-Jîl, t.t], j. 7, h. 95)
Imam al-Nawawi dalam kitab al-Minhaj Syarh Sahih Muslim, sebagaimana dikutip Kiai Ali Mustafa, juga menguatkan bahwa tidak ada perbedaan pendapat dalam permasalahan ini. Sehingga hal tersebut bisa dikategorikan sebagai bagian dari konsensus ( ijma’ ) ulama.
Maka dari itu kita perlu meneliti lebih dalam ketika membaca sebuah hadits. Karena tidak semua hal yang kita temukan dalam hadits itu wajib kita ikuti. Kita wajib mengikuti jika hal tersebut merupakan bagian dari agama. Namun sebaliknya, jika tidak berkaitan dengan agama, maka kita tidak wajib mengikuti.
Wallahu a’lam.

Kenapa Allah Gunakan Kata Kami Untuk Zat-Nya?


Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Selamat siang redaksi bahtsul masail NU Online yang terhormat. Saya mau bertanya. Kenapa dalam beberapa ayat Al-Qur'an Allah menyebut diri-Nya dengan kata ganti “Kami”. Mohon penjelasannya? Terima kasih banyak. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Abang Juri).
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya kepada kita semua. Dalam Al-Quran, Allah SWT menggunakan kata ganti mufrad atau tunggal “Dia”, “Aku”, atau “Engkau”. Tetapi adakalanya Allah SWT pada beberapa ayat menggunakan kata orang pertama jamak atau plural “Kami”.
Untuk kata ganti pertama tunggal seperti “ Huwa” atau “Anta ” untuk mewakili zat-Nya, hal ini tentu sudah maklum karena semua kata ganti itu merujuk pada ketunggalan atau keesaan. Sementara kata ganti orang pertama jamak seperti “Nahnu ” merujuk pada dua atau lebih entitas sehingga tidak bisa mewakili zat-Nya yang esa. Penjelasan ini tentu merujuk pada kaidah umum bahasa Arab.
Lalu bagaimana memahami fenomena penggunaan kata ganti orang pertama jamak atau plural untuk Allah? Tentu saja semua kata ganti orang pertama jamak untuk Allah ini tidak dipahami secara literal karena bertentangan dengan hukum aqal dan nash agama itu sendiri.
Sebagai contoh penggunaan kata ganti jamak, kita dapat menemukannya antara lain pada ayat sebagai berikut. “ Innâ nahnu nazzalnadz dzikra, wa innâ lahû lahâfizhûn ” (Sungguh, Kami menurunkan Al-Quran. Kami juga penjaganya) atau “ Nahnu narzuqukum” (Kami memberimu rezeki).
Ulama menjelaskan penggunaan kata ganti jamak orang pertama untuk Allah sebagai bentuk pengagungan diri atau sebentuk pertunjukan kuasa-Nya. Hal ini bisa dilihat ketika para ulama menjelaskan Surat Al-Baqarah ayat 34 yang berbunyi “Wa idz qulnâ lil malâ’ikatisjudû li âdama” (Dan ingat ketika Kami mengatakan kepada para malaikat, “Sujudlah kepada Adam”).
ﻭﻗﺎﻝ " ﻗُﻠْﻨﺎ " ﻭﻟﻢ ﻳﻘﻞ ﻗﻠﺖ ﻻﻥ ﺍﻟﺠﺒﺎﺭ ﺍﻟﻌﻈﻴﻢ ﻳﺨﺒﺮ ﻋﻦ ﻧﻔﺴﻪ ﺑﻔﻌﻞ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﺗﻔﺨﻴﻤﺎ ﻭﺇﺷﺎﺩﺓ ﺑﺬﻛﺮﻩ
Artinya, “Kata ‘Kami katakan’, bukan ‘Aku katakan’ digunakan karena Allah membahasakan dirinya dengan kata plural atau jamak sebagai bentuk pengagungan dan penyanjungan diri,” (Lihat Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qurthubi, Al-Jami‘ li Ahkamil Qur‘an , Mu’assasatur Risalah, Beirut, Libanon, tahun 2006 M/1427 H, juz I, halaman 433).
Penjelasan Muhammad Al-Qurthubi itu disambung dengan penjelasan serupa dari Syekh Wahbah Az-Zuhayli ketika menjelaskan ayat dan surat yang sama.
ﻭَﺇِﺫْ ﻗُﻠْﻨﺎ ﻟﻠﺘﻌﻈﻴﻢ ﺑﺼﻴﻐﺔ ﺍﻟﺠﻤﻊ
Artinya, “Kata ‘Ketika Kami katakan’ digunakan dengan kata jamak atau plural sebagai bentuk takzim,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, At-Tafsirul Munir fil Aqidah was Syari‘ah wal Manhaj, Darul Fikr Al-Mu‘ashir, Damaskus, tahun 1418 H).
Penggunaan kata ganti orang pertama jamak juga bisa dimaksudkan untuk menunjukkan kuasa-Nya. Hal ini yang disinggung oleh Syekh Sulaiman Jamal bin Umar dalam syarahnya atas Tafsir Jalalain ketika menjelaskan Surat Al-Baqarah ayat 34 sebagai berikut.
ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﺧﻄﺎﺏ ﺍﻷﻛﺎﺑﺮ ﻭﺍﻟﻌﻈﻤﺎﺀ ﻓﺄﺧﺒﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻦ ﻧﻔﺴﻪ ﺑﺼﻴﻐﺔ ﺍﻟﺠﻤﻊ ﻷﻧﻪ ﻣﻠﻚ ﺍﻟﻤﻠﻮﻙ ﺍﻫـ ﻛﺮﺧﻲ .
Artinya, “Kata ‘Ketika Kami katakan’ merupakan perintah dari Allah sebagai zat Yang Maha Kuasa. Allah menggunakan kata jamak atau plural untuk diri-Nya sendiri karena Dia penguasa mutlak atas segala penguasa,” (Lihat Syekh Sulaiman Jamal bin Umar, Al-Futuhatul Ilahiyah bi Taudhihi Tafsiril Jalalain lid Daqa’iqil Khafiyyah , Darul Fikr, Beirut, Libanon, tahun 2003 M/1423 H, juz I, halaman 67).
Dari pelbagai keterangan ulama di atas, kita dengan dengan jelas memahami bahwa kata “Kami” untuk Allah tidak merujuk pada zat yang plural dengan makna hakiki. Kata ganti “Kami” untuk Allah dipahami dengan makna majazi yang dimaksudkan untuk menunjukkan kuasa atau membesarkan yang bersangkutan.
Dari sini kemudian ahli tata bahasa Arab (ahli ilmu Nahwu) memaknai kata ganti “ Nahnu ” (Kami) yang merujuk pada satu person sebagai lil mu‘azzhim nafsah (untuk mengagungkan diri sendiri) di samping makna hakiki lil mutakallim ma‘al ghair (kata ganti orang pertama jamak atau plural).
Saran kami, bacalah Al-Quran dengan cermat. Karena di dalamnya banyak terdapat rahasia-rahasia dan maksud yang belum tersingkap. Ada juga baiknya kita mengikuti pengajian yang membacakan karya-karya tafsir para ulama. Hal ini akan sangat membantu kita dalam memahami hal-hal kebahasaan di dalam Al-Quran di samping mempelajari ilmu Nahwu sebagai patokan kaidah umum.
Demikian yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum.

Rosulallah SAW Sebab Penciptaan Alam Semesta Dalam Qosidah Burdah


Qashidatul Burdah karya Muhammad Sa‘id Al-Bushiri menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai semacam sebab penciptaan alam semesta. Oleh karena itu, Al-Bushiri menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mungkin berambisi mengejar duniawi.
Dalam larik Qashidatul Burdah berikut ini, Imam Al-Bushiri menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW yang menjadi sebab penciptaan dunia takkan mungkin berhajat kepada dunia karena beliau SAW sendiri adalah penghulu dunia:
ﻭَﻛَﻴﻒَ ﺗَﺪْﻋُﻮ ﺇﻟَﻰ ﺍﻟﺪُّﻧﻴﺎ ﺿَﺮُﻭﺭَﺓُ ﻣَﻦْ ** ﻟﻮﻻﻩُ ﻟﻢ ﺗﺨﺮﺝِ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺪﻡِ
Artinya, “Bagaimana orang yang kalau bukan karena dirinya niscaya dunia ini takkan keluar dari ketiadaannya berkepentingan terhadap dunia?”
Pernyataan Imam Al-Bushiri tidak berlebihan. Pernyataan Al-Bushiri cukup beralasan karena didasarkan pada hadits qudsi riwayat Al-Hakim dan Al-Baihaqi yang menyatakan bahwa kalau bukan karena Nabi Muhammad SAW, Allah takkan menciptakan Nabi Adam AS.
ﻭﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻣﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻣﻦ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻵﺩﻡ ﻟﻤﺎ ﺳﺄﻟﻪ ﺑﺤﻖ ﻣﺤﻤﺪ ﺃﻥ ﻳﻐﻔﺮ ﻟﻪ ﻣﺎ ﺍﻗﺘﺮﻓﻪ ﻣﻦ ﺻﻮﺭﺓ ﺍﻟﺨﻄﻴﺌﺔ ﻭﻛﺎﻥ ﺭﺃﻯ ﻋﻠﻰ ﻗﻮﺍﺋﻢ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻣﻜﺘﻮﺑﺎ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺄﻟﺘﻨﻲ ﺑﺤﻘﻪ ﺃﻥ ﺃﻏﻔﺮ ﻟﻚ ﻭﻟﻮﻻﻩ ﻣﺎ ﺧﻠﻘﺘﻚ ﻓﻮﺟﻮﺩ ﺁﺩﻡ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻣﺘﻮﻗﻒ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻮﺩﻩ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
Artinya, “Dasar atas pernyataan ini adalah hadits riwayat Al-Hakim dan Al-Baihaqi perihal jawaban Allah SWT kepada Nabi Adam AS yang meminta dengan nama Nabi Muhammad SAW ampunan terkait kekeliruannya. Nabi Adam AS ketika itu melihat catatan ‘ Lâ ilâha illallâh, Muhammadur Rasûlullâh ’ pada tiang-tiang Arasy. Allah menjawab, ‘Kau meminta dengan namanya (Nabi Muhammad SAW) agar Aku mengampunimu. Sungguh, kalau bukan karenanya, Aku tidak akan menciptakanmu.’ Jadi, ujud Nabi Adam AS bergantung pada ujud Nabi Muhammad SAW,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Matnil Burdah , [Surabaya, Al-Hidayah: tanpa catatan tahun], halaman 21).
Kalau bukan karena Nabi Muhammad SAW, niscaya Allah takkan menciptakan Nabi Adam AS. Kalau Nabi Adam AS tidak diciptakan oleh Allah, niscaya anak Adam atau bani Adam takkan diciptakan. Sedangkan nyatanya, Allah menciptakan Nabi Adam AS dan anak keturunannya. Allah juga menciptakan alam semesta ini hanya untuk keperluan manusia. Jadi, hanya karena Nabi Muhammad SAW Allah menciptakan alam semesta raya ini.
Syekh Ibrahim Al-Baijuri yang pernah memimpin Universitas Al-Azhar di zamannya mencoba membangun logika ini dalam Hasyiyatul Burdah berikut ini:
ﻭﺁﺩﻡ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﺒﺸﺮ ﻭﻗﺪ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻬﻢ ﻣﺎ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﻭﺳﺨﺮ ﻟﻬﻢ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻭﺍﻟﻘﻤﺮ ﻭﺍﻟﻠﻴﻞ ﻭﺍﻟﻨﻬﺎﺭ ﻭﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﻧﺺ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻗﺎﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺧَﻠَﻖَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣَّﺎ ﻓِﻲ ﺍﻷَﺭْﺽِ ﺟَﻤِﻴﻌﺎً ﻭَﺳَﺨَّﺮَ ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲَ ﻭَﺍﻟْﻘَﻤَﺮَ ﺩَﺍﺋِﺒَﻴْﻦِ ﻭَﺳَﺨَّﺮَ ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞَ ﻭَﺍﻟﻨَّﻬَﺎﺭَ ﻭﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺇﻧﻤﺎ ﺧﻠﻘﺖ ﻷﺟﻞ ﺍﻟﺒﺸﺮ ﻭﺃﺑﻮ ﺍﻟﺒﺸﺮ ﺇﻧﻤﺎ ﺧﻠﻖ ﻷﺟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺇﻧﻤﺎ ﺧﻠﻘﺖ ﻷﺟﻠﻪ ﻓﻴﻜﻮﻥ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻫﻮ ﺍﻟﺴﺒﺐ ﻓﻲ ﻭﺟﻮﺩ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ
Artinya, “Nabi Adam AS memang bapak manusia. Allah menciptakan apa yang ada di bumi untuk anak manusia. Allah juga menundukkan matahari, bulan, malam, siang, dan lain sebagainya untuk anak manusia sebagaimana tercantum dalam Al-Quran, 'Dia menciptakan untukmu apa yang ada di bumi semuanya,’ (Surat Al-Baqarah ayat 29) dan ‘Dia menundukkan bagimu matahari dan bulan silih berganti dan Dia menundukkan bagimu malam dan siang,’ (Surat Ibrahim ayat 33). Jadi, ketika semesta alam raya itu diciptakan untuk manusia, sementara Nabi Adam AS adalah bapak manusia diciptakan karena Nabi Muhammad SAW, maka dunia ini diciptakan karena Nabi Muhammad SAW. Jadi, Nabi Muhammad SAW adalah sebab bagi segala ujud,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Matnil Burdah , [Surabaya, Al-Hidayah: tanpa catatan tahun], halaman 21-22).
Syekh Khalid bin Abdullah Al-Azhari dalam Syarah Burdah menyatakan bahwa karena Rasulullah SAW sendiri adalah sebab atas penciptaan alam semesta, maka beliau SAW tidak berhajat dan berhasrat pada kesenangan duniawi yang fana:
ﻭﻣﻌﻨﻰ ﺍﻟﺒﻴﺘﻴﻦ ﺃﻧﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻻ ﺗﺪﻋﻮﻩ ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﺍﻟﻰ ﺣﻄﺎﻡ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺍﻟﻔﺎﻧﻴﺔ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻣﺎ ﺃﺧﺮﺟﺖ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺪﻡ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻮﺟﻮﺩ ﺇﻻ ﻷﺟﻠﻪ ﻭﻛﻴﻒ ﻳﻜﻮﻥ ﻛﺬﻟﻚ ﻭﻫﻮ ﺳﻴﺪ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﺍﻵﺧﺮﺓ ﻭﺳﻴﺪ ﺍﻻﻧﺲ ﻭﺍﻟﺠﻦ ﻭﺳﻴﺪ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻭﺍﻟﻌﺠﻢ
Artinya, “Makna bait ini adalah bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berkepentingan untuk mengumpulkan harta benda duniawi yang fana karena dunia tidak diciptakan dari ketiadaan menjadi ada kecuali karena dirinya. Lalu bagaimana bisa demikian (haus harta duniawi) dengan Rasulullah SAW, sedangkan beliau adalah penghulu (pangkal atau permulaan) penduduk dunia dan akhirat, penghulu manusia dan jin, dan penghulu bangsa Arab dan bangsa ajam,” (Lihat Syekh Khalid bin Abdullah Al-Azhari, Syarah Khalid Al-Azhari ala Matnil Burdah , [Surabaya, Al-Hidayah: tanpa catatan tahun], halaman 22).
Logika yang dibangun oleh Imam Al-Bushiri, Syekh Ibrahim Al-Baijuri, dan Syekh Khalid Al-Azhari merupakan refleksi dari Surat Al-Baqarah ayat 29, Surat Ibrahim ayat 33, dan hadits berikut ini:
ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻧﺎ ﺳﻴﺪ ﻭﻟﺪ ﺁﺩﻡ ﻭﻻ ﻓﺨﺮ
Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku penghulu anak Adam, dan tidak sombong,’” (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).
Dari pelbagai keterangan ini, tidak berlebihan ketika Sayyid Bakri Syatha dalam mukaddimah I‘anatut Thalibin menganjurkan kita untuk bersyukur kepada Rasulullah SAW karena jasanya yang mengajarkan kita mengenal dan bersyukur kepada Allah.
Sayyid Bakri Syatha menyebut Rasulullah SAW tidak lain adalah asal penciptaan bagi semua makhluk Allah. Sayyid Bakri menganjurkan kita untuk membaca banyak shalawat. Hanya saja "asal" dan kata "sebab" penciptaan di sini mesti dipahami sebagai asal atau sebab secara majazi karena pada hakikatnya perbuatan Allah tidak tergantung pada illat atau sebab.
Meskipun demikian, shalawat terhadap Nabi Muhammad SAW merupakan bentuk terima kasih atau syukur kita umat manusia terhadap Rasulullah SAW sebagai penghulu segenap manusia sebagaimana sabdanya yang mulia. Allahumma shalli wa sallim 'ala Sayyidina Muhammad wa alihi wa shabihi ajma'in .
Wallahu a‘lam

Pengertian Syair Muhammad Saidul Qauni dalam Qosidah Burdah


Muadzin di mushalla dan masjid di desa dan di kota kerap menyenandungkan sebelum azan atau iqamah shalawat kutipan Qashidah Burdah karya Imam Al-Bushiri yang berbunyi, “ Muhammadun sayyidul kaunaini was tsaqalai/ni wal fariqaini min urbin wa min ajami/
nabiyyunal amirun nahi fa la ahadun/abarra fi qauli la minhu wa la na'ami .”
Banyak orang tua juga masih menyenandungkan kutipan larik ini di hadapan anak-anaknya yang masih di bawah 10 tahun. Kutipan ini juga menjadi pembuka forum keagamaan seperti majelis taklim.
ﻣﺤﻤﺪٌ ﺳﻴﺪُ ﺍﻟﻜﻮﻧﻴﻦِ ﻭﺍﻟﺜَّﻘَﻠَﻲْ ** ﻳﻦِ ﻭﺍﻟﻔﺮﻳﻘﻴﻦِ ﻣﻦ ﻋُﺮﺏٍ ﻭﻣﻦ ﻋﺠﻢِ
Artinya, “Muhammad penghulu dua semesta, dua makhluk mulia, dan dua kelompok besar dari Arab dan ajam.”
Syekh Ibrahim Al-Baijuri memberikan arti kata larik ini secara harfiah. Dalam Hasyiyatul Baijuri ala Matnil Burdah , Syekh Ibrahim Al-Baijuri menyebut bangsa manusia dan jin sebagai kelompok ciptaan yang paling banyak memberatkan dunia baik karena populasi maupun karena dosa mereka.
ﻭﻗﻮﻟﻪ ﺳﻴﺪ ﺍﻟﻜﻮﻧﻴﻦ ﺃﻱ ﺃﺷﺮﻑ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻜﻮﻧﻴﻦ ... ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﺎﻟﻜﻮﻧﻴﻦ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﺍﻵﺧﺮﺓ ﻭﻗﻮﻟﻪ ﻭﺍﻟﺜﻘﻠﻴﻦ ﺃﻱ ﺍﻹﻧﺲ ﻭﺍﻟﺠﻦ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺳﻤﻴﺎ ﺛﻘﻠﻴﻦ ﻻﺛﻘﺎﻟﻬﻤﺎ ﺍﻹﺭﺽ ﺃﻭ ﻟﺜﻘﻠﻬﻤﺎ ﺑﺎﻟﺬﻧﻮﺏ
Artinya, “Kata ‘ Sayyidul kaunain ’ adalah penduduk termulia di kaunain . ‘ Kaunain ’ sendiri adalah dunia dan akhirat. Kata ‘ tsaqalain ’ bermakna manusia dan jin. Kedua jenis makhluk itu disebut demikian karena keduanya membebani bumi atau bobot keduanya luar biasa karena dosa,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri,
Hasyiyatul Baijuri ala Matnil Burdah , [Surabaya, Al-Hidayah: tanpa catatan tahun], halaman 22).
Syekh Khalid bin Abdullah Al-Azhari menyebut bangsa manusia dan jin sebagai makhluk paling mulia di atas muka bumi. Sementara Nabi Muhammad SAW sebagai penghulu dunia dan akhirat, kata Syekh Khalid, adalah makhluk yang agung dan mulia karena kalau bukan karena dirinya dunia ini takkan diciptakan oleh Allah.
ﺍﻟﻌﺪﻡ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻪ ﻫﻨﺎ ﺍﻟﺘﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻤﻜﻨﺎﺕ ﻗﺒﻞ ﻭﺟﻮﺩﻫﺎ ﻭﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﺠﻠﻴﻞ ﺍﻟﻌﻈﻴﻢ ﻭﺍﻟﻜﻮﻧﺎﻥ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﺍﻵﺧﺮﺓ ﻭﺍﻟﺜﻘﻼﻥ ﺍﻹﻧﺲ ﻭﺍﻟﺠﻦ ﻭﺍﻟﺜﻘﻞ ﺑﺎﻟﻔﺘﺢ ﺍﻟﻨﻔﻴﺲ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﻭﺃﻧﻔﺲ ﻣﺎ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﺍﻷﺭﺽ ﺍﻹﻧﺲ ﻭﺍﻟﺠﻦ ﻓﻠﺬﻟﻚ ﺳﻤﻴﺎ ﺛﻘﻠﻴﻦ ﻭﺍﻟﻔﺮﻳﻘﺎﻥ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻭﺍﻟﻌﺠﻢ ﻭﺍﻟﻔﺮﻳﻖ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﺍﻟﻜﺜﻴﺮﺓ ﻭﺍﻟﻌﺮﺑﻲ ﻣﺎ ﻓﺼﺢ ﺑﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻭﺍﻟﻌﺠﻢ ﺑﺨﻼﻓﻪ
Artinya, “Maksud kata ‘ketiadaan’ di sini adalah keberadaan yang lebih dahulu dibandingkan alam semesta. Kata ‘ sayyid ’ bermakna orang mulia dan agung. Kata ‘ al-kaunain ’ bermakna dunia dan akhirat. Kata ‘ tsaqalain ’ adalah bangsa manusia dan jin. Kata ‘ tsaqal ’ yang ditulis dengan fathah bermakna yang berharga dari suatu barang. Sedangkan yang paling berharga di atas muka bumi adalah bangsa manusia dan jin. Oleh karena itu, kedua jenis makhluk ini dinamai tsaqalain . Yang dimaksud oleh kata ‘ al-fariqain’ di sini adalah bangsa Arab dan ajam. Kata ‘ al-fariq ’ secara harfiah bermakna jamaah yang berisi banyak orang. Kata ‘ Arab’ adalah orang yang fasih melafalkan bahasa Arab. Sedangkan ajam adalah bangsa yang sebaliknya, tidak fasih melafalkan bahasa Arab,” (Lihat Syekh Khalid bin Abdullah Al-Azhari,
Syarah Khalid Al-Azhari ala Matnil Burdah , [Surabaya, Al-Hidayah: tanpa catatan tahun], halaman 22).
Karena dunia ini takkan diciptakan kalau bukan karena dirinya, maka Rasulullah SAW diciptakan terlebih dahulu sebelum alam semesta. Ini menunjukkan kedudukannya yang mulia sebagai sayyid atau penghulu dunia dan akhirat sebagai disebutkan dalam
Barzanji Natsar berikut ini:
ﻭﺃﺻﻠّﻲ ﻭﺃﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﻮﺭ ﺍﻟﻤﻮﺻﻮﻑ ﺑﺎﻟﺘﻘﺪﻡ ﻭﺍﻷﻭّﻟﻴّﺔ
Artinya, “Aku mengucap shalawat dan salam untuk cahaya yang disifatkan dahulu dan awal.”
Dalam larik Qashidatul Burdah berikut ini, Imam Al-Bushiri menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW yang menjadi “sebab” atau “asal” penciptaan dunia takkan mungkin berhajat kepada dunia karena beliau SAW sendiri adalah penghulu dunia:
ﻭَﻛَﻴﻒَ ﺗَﺪْﻋُﻮ ﺇﻟَﻰ ﺍﻟﺪُّﻧﻴﺎ ﺿَﺮُﻭﺭَﺓُ ﻣَﻦْ ** ﻟﻮﻻﻩُ ﻟﻢ ﺗﺨﺮﺝِ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺪﻡِ
ﻣﺤﻤﺪٌ ﺳﻴﺪُ ﺍﻟﻜﻮﻧﻴﻦِ ﻭﺍﻟﺜَّﻘَﻠَﻲْ ** ﻳﻦِ ﻭﺍﻟﻔﺮﻳﻘﻴﻦِ ﻣﻦ ﻋُﺮﺏٍ ﻭﻣﻦ ﻋﺠﻢِ
Artinya, “Bagaimana orang yang kalau bukan karena dirinya niscaya dunia ini takkan keluar dari ketiadaannya berkepentingan terhadap dunia/Muhammad penghulu dua semesta, dua makhluk mulia, dan dua kelompok besar dari Arab dan ajam.”
Allahumma shalli wa sallim 'ala Sayyidina Muhammad wa alihi wa shabihi ajma'in . Wallahu a‘lam

Pengertian Al-Habib Dalam Qosidah Burdah


Kata ‘ al-habib ’ dalam Qashidatul Burdah dapat ditemukan pada larik “ Hual habîbulladzî turjâ syafâ’atuhû/li kulli haulin minal ahwâli muqtahimi .” Sebagian orang membacanya muqatahami . Sebelum melihat varian arti kata ‘ al-habib ’, ada baiknya dikutip larik tersebut dan terjemahannya.
ﻫُﻮَ ﺍﻟﺤَﺒﻴﺐُ ﺍﻟﺬﻱ ﺗُﺮْﺟَﻰ ﺷَﻔﺎﻋَﺘُﻪُ ** ﻟِﻜُﻞِّ ﻫَﻮْﻝ ﻣﻦ ﺍﻷﻫﻮﺍﻝ ﻣُﻘْﺘَﺤِﻢِ
Artinya, “Dialah al-habib , sang kekasih yang diharapkan syafaatnya/bagi setiap huru-hara yang menyergap tiba-tiba.”
Kata ‘ al-habib ’ pada larik di sini merujuk pada kata ‘ Muhammadun' pada 'Muhammadun sayyidu kaunaini was tsaqalain ’ atau ‘ Nabiyyuna ' pada 'Nabiyunal amirun nahi ’ yang terdapat pada larik sebelumnya. Ke mana pun rujukan tekstualnya, kata ‘ al-habib ’ di sini merujuk pada sosok pribadi Nabi Muhammad SAW.
Syekh Ibrahim Al-Baijuri menyebutkan sejumlah varian arti kata ‘ al-habib ’, sang kekasih, sebagai berikut ini:
ﺍﻟﻀﻤﻴﺮ ﺭﺍﺟﻊ ﻟﻤﺤﻤﺪ ﺃﻭ ﻟﻨﺒﻴﻨﺎ ﻭﺍﻟﺤﺒﻴﺐ ﺇﻣﺎ ﺑﻤﻌﻨﻰ ﻣﺤﺐّ ﻓﻴﻜﻮﻥ ﺍﺳﻢ ﻓﺎﻋﻞ ﺃﻭ ﺑﻤﻌﻨﻰ ﻣﺤﺒﻮﺏ ﻓﻴﻜﻮﻥ ﺍﺳﻢ ﻣﻔﻌﻮﻝ . ﻭﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻓﺎﻟﻤﺮﺍﺩ ﻫﻮ ﺍﻟﺤﺒﻴﺐ ﻟﻠﻪ ﺃﻭ ﻷﻣﺘﻪ ﻷﻧﻪ ﺃﻋﻈﻢ ﻣﺤﺐّ ﻟﻠﻪ ﻭﺃﻓﻀﻞ ﻣﺤﺒﻮﺏ ﻟﻪ ﻭﻫﻮ ﺃﻳﻀﺎ ﻣﺤﺐّ ﻷﻣﺘﻪ ﻭﻣﺤﺒﻮﺏ ﻟﻬﺎ ﺇﺫ ﻣﻦ ﺷﺮﻁ ﻛﻤﺎﻝ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺃﺣﺐّ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻭﺍﻟﻮﻟﺪ ﻭﺍﻟﻨﻔﺲ
Artinya, “Dhamir atau kata ganti ( hual habib ) merujuk pada kata ‘ Muhammadun ’ atau kata ‘ Nabiyunal amiru’. Kata ‘ al-habib ’ bisa jadi bermakna orang yang mencintai, berarti dibaca sebagai ism fa‘il, tetapi bisa jadi bermakna orang yang dicintai, berarti dibaca sebagai ism maf‘ul. Tetapi dibaca apapun, yang dimaksud dengan kata itu adalah orang yang mencintai Allah atau mencintai umatnya karena Rasulullah adalah orang yang paling mencintai Allah dan paling dicintai oleh-Nya. Rasulullah SAW juga orang yang sangat mencintai umatnya dan dicintai oleh umatnya karena syarat kesempurnaan iman umatnya adalah mencintai Rasulullah SAW melebihi harta, anak, bahkan diri mereka sendiri,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Matnil Burdah , [Surabaya, Al-Hidayah: tanpa catatan tahun], halaman 22).
Salah satu varian arti kata ‘ al-habib ’ atau sang kekasih adalah orang yang seharusnya paling dicintai di muka bumi ini dibandingkan siapapun. Rasulullah SAW harus menjadi orang pertama yang dicintai oleh umat Islam.
Bahkan cinta kepada Rasulullah SAW menjadi syarat kesempurnaan iman seorang Muslim. Hal ini tercatat dalam riwayat hadits yang sangat terkenal berikut ini:
ﻓﻘﺪ ﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻟﺮﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻷﻧﺖ ﺃﺣﺐّ ﺇﻟﻲّ ﻣﻦ ﻣﺎﻟﻲ ﻭﻭﻟﺪﻱ ﻭﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﺟﻤﻌﻴﻦ ﺩﻭﻥ ﻧﻔﺴﻲ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻻ ﻳﻜﻤﻞ ﺇﻳﻤﺎﻧﻚ ﺣﺘّﻰ ﺃﻛﻮﻥ ﺃﺣﺐّ ﺇﻟﻴﻚ ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻚ ﺍﻟﺘﻰ ﺑﻴﻦ ﺟﻨﺒﻴﻚ ﻓﻘﺎﻝ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻷﻧﺖ ﺃﺣﺐ ﺇﻟﻲّ ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻲ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻗﺪ ﻛﻤﻞ ﺇﺫﺍ ﺇﻳﻤﺎﻧﻚ ﻭﻫﺬﺍ ﺗﺮﻕ ﻟﺴﻴّﺪﻧﺎ ﻋﻤﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺎﻝ ﺑﺒﺮﻛﺘﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
Artinya, “Sayyidina Umar RA pernah berkata kepada Rasulullah, ‘Kau lebih kucintai daripada hartaku, anakku, dan seluruh manusia, kecuali diriku sendiri.’ ‘Keimananmu belum sempurna sehingga aku lebih kaucintai dibandingkan dirimu sendiri yang berada di antara sisi kanan-kirimu,’ jawab Rasulullah. Sayyidina Umar RA menjawab ‘Kau lebih kucintai melebihi diriku sendiri.’ ‘Kalau demikian, keimananmu telah sempurna,’ jawab Rasulullah SAW. Seketika derajat keimanan Sayyidina Umar RA meningkat sebab keberkahan Rasulullah SAW,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri,
Hasyiyatul Baijuri ala Matnil Burdah , [Surabaya, Al-Hidayah: tanpa catatan tahun], halaman 23).
Allahumma shalli wa sallim 'ala Sayyidina Muhammad wa alihi wa shabihi ajma'in. Wallahu a‘lam.

Inilah Jenis Ataupun Ragam Syafa'at Nabi Muhammad SAW


Potongan Qashidah Burdah berikut ini, “ Hual habîbulladzî turjâ syafâ’atuhû/li kulli haulin minal ahwâli muqtahimi ” sudah cukup terkenal. Larik ini mengungkapkan syafaat Rasulullah SAW yang diharapkan saat umatnya menemui masalah atau situasi sulit.
ﻫُﻮَ ﺍﻟﺤَﺒﻴﺐُ ﺍﻟﺬﻱ ﺗُﺮْﺟَﻰ ﺷَﻔﺎﻋَﺘُﻪُ ** ﻟِﻜُﻞِّ ﻫَﻮْﻝ ﻣﻦ ﺍﻷﻫﻮﺍﻝ ﻣُﻘْﺘَﺤِﻢِ
Artinya, “Dialah al-habib , sang kekasih yang diharapkan syafaatnya/bagi setiap huru-hara yang menyergap tiba-tiba.”
Kata “diharapkan” ini penting digarisbawahi. Padahal kita mengetahui kepastian syafaat Rasulullah SAW. Tetapi kenapa diharapkan pula? Syekh Ibrahim Al-Baijuri mencoba menerangkannya sebagai berikut:
ﻭﺍﻧﻤﺎ ﻋﺒﺮ ﺑﺎﻟﺮﺟﺎﺀ ﻣﻊ ﺃﻥ ﺷﻔﺎﻋﺘﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻘﻄﻮﻉ ﺑﻬﺎ ﺇﺷﺎﺭﺓ ﺇﻟﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﻟﻠﺸﺨﺺ ﺃﻥ ﻳﻨﻬﻤﻚ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻌﺎﺻﻰ ﻭﻳﺘﻜﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺸﻔﺎﻋﺔ ﻭﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺷﻔﺎﻋﺎﺕ
Artinya, “Syekh Muhammad bin Sa‘id al-Bushiri mengungkapkan syair ini dengan kata ‘diharapkan’. Sementara syafaat Rasulullah SAW sudah jelas. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang tidak seyogianya tenggelam dalam maksiat lalu mengandalkan syafaat Rasulullah SAW tersebut. Rasulullah SAW sendiri memiliki sejumlah syafaat,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Matnil Burdah , [Surabaya, Al-Hidayah: tanpa catatan tahun], halaman 22).
Syafaat Rasulullah SAW mencakup:
1. Syafaat Rasulullah SAW pada hari pengadilan manusia yang sangat mencekam di mana manusia ingin berlari dari Mahsyar. Masuk ke dalam api, mereka mau demi keluar dari hari yang menentukan. Ini yang disebut sebagai “Syafaatul uzma.” Ini maqam terpuji di mana manusia sejak pertama hingga terakhir memuji Rasulullah SAW. Syafaat ini khusus untuknya.
2. Syafaat Rasulullah SAW untuk memasukkan sekelompok orang ke dalam surga tanpa hisab. Rasulullah SAW mengantar sejak bangun dari kubur mereka hingga ke surga. Syafaat ini khusus untuknya.
3. Syafaat Rasulullah SAW untuk memasukkan sekelompok orang yang seharusnya masuk neraka ke dalam surga. Syafaat ini juga khusus untuk Rasulullah SAW.
4. Syafaat Rasulullah SAW untuk mengeluarkan sekelompok orang dari neraka. Syafaat ini tidak khusus untuk Rasulullah SAW. Syafaat ini juga juga dimiliki oleh para ulama dan auliya.
5. Syafaat Rasulullah SAW untuk mengangkat derajat sekelompok orang di dalam surga. Tidak ada dalil Al-Quran dan hadits yang menerangkan kekhususan syafaat ini untuk Rasulullah SAW. Tetapi Imam An-Nawawi menganggap hal itu mungkin.
6. Syafaat Rasulullah SAW untuk meringankan siksa sejumlah orang kafir.
Syekh Al-Baijuri menjelaskan syafaat Rasulullah SAW untuk meringankan siksa sejumlah orang kafir. Menurutnya, syafaat Rasulullah SAW ini dimaksudkan antara lain untuk pamannya, Abu Thalib:
ﻭﻣﻨﻬﺎ ﺷﻔﺎﻋﺘﻪ ﻓﻲ ﺗﺨﻔﻴﻒ ﺍﻟﻌﺬﺍﺏ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮﻳﻦ ﻛﻌﻤﻪ ﺃﺑﻲ ﻃﺎﻟﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺑﺄﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻢ ﻳﺤﻴﻪ ﻓﺂﻣﻦ ﺑﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭ ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻳﺤﺐ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﻳﻘﻮﻝ ﺑﺄﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﺣﻴﺎﻩ ﻭﺁﻣﻦ ﺑﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻗﺎﺩﺭ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ
Artinya, “Di antaranya adalah syafaat Rasulullah SAW dalam meringankan siksa dari sejumlah orang kafir seperti pamannya, Abu Thalib, yang menurut satu pendapat ulama, Allah tidak menghidupkannya kembali agar ia beriman. Ini pendapat masyhur. Sementara para pecinta ahlul bait berpendapat Allah menghidupkan kembali Abu Thalib, lalu ia beriman kepada Rasulullah. Allah kuasa atas segala sesuatu,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Matnil Burdah , [Surabaya, Al-Hidayah: tanpa catatan tahun], halaman 23).
Lalu bagaimana dengan Surat Ali Imran ayat 88 yang menyatakan bahwa siksa orang kafir tidak akan diringankan? Syekh Ibrahim Al-Baijuri menjelaskan bahwa ayat ini tidak menafikan syafaat Rasulullah SAW sebagai berikut ini:
ﻭﻻ ﻳﻨﺎﻓﻲ ﺷﻔﺎﻋﺘﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺗﺨﻔﻴﻒ ﺍﻟﻌﺬﺍﺏ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮﻳﻦ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﻻ ﻳُﺨَﻔَّﻒُ ﻷﻥ ﺍﻟﻤﻨﻔﻲ ﺍﻧﻤﺎ ﻫﻮ ﺗﺨﻔﻴﻒ ﻋﺬﺍﺏ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻓﻼ ﻳﻨﺎﻓﻲ ﺃﻧﻪ ﻳﺨﻔﻒ ﻋﻨﻬﻢ ﻋﺬﺍﺏ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻋﻠﻰ ﺃﺣﺪ ﺍﻷﺟﻮﺑﺔ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ
Artinya, “Firman Allah pada Surat Ali Imran ayat 88, ‘Tidak diringankan siksa mereka’ tidak menafikan syafaat Rasulullah SAW dalam meringankan siksa sejumlah orang kafir karena yang dinafikan ayat itu adalah siksa kekufuran sehingga ayat ini tidak menafikan peringanan siksa atas dosa selain kekufuran, dalam salah satu jawaban perihal ini,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Matnil Burdah , [Surabaya, Al-Hidayah: tanpa catatan tahun], halaman 23).
Semoga Allah memelihara kita, keluarga, dan masyarakat lingkungan kita dari segala larangan-Nya. Kita juga berharap agar Allah memasukkan nama kita dan nama keluarga kita sebagai penerima syafaat Rasulullah SAW. Allahumma shalli wa sallim 'ala Sayyidina Muhammad wa alihi wa shabihi ajma'in. Wallahu a‘lam

Enam Tanda Seseorang Yang Benar Benar Mencintai Muhammad SAW


Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Anas disebutkan, ada tiga hal yang menjadikan seorang Muslim bisa menemukan manisnya iman. Salah satunya adalah mencintai Allah dan rasul-Nya lebih dari siapapun.
Tidak ada seorang Muslim pun yang tidak mencintai Nabi Muhammad saw. Ketika ditanya, pasti semua umat Islam di seluruh dunia mengaku mencintai Nabi Muhammad saw, meski mereka hidup ratusan bahkan ribuan tahun setelahnya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah mereka betul-betul mencintai Nabi Muhammad saw? Atau hanya sekedarnya saja? Atau ikut-ikutan saja?
Merujuk buku Hadratussyekh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, ada enam tanda seseorang betul-betul telah mencintai Nabi Muhammad saw. menurut Hadratussyekh. Pertama, mengamalkan sunnah Nabi Muhammad saw. Simpelnya, sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad, baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad. Orang yang benar-benar mencintai Nabi Muhammad saw. adalah orang yang melakukan apa-apa yang diperintah nabi dan menjauhi apa-apa yang dilarangnya. Orang-orang seperti inilah yang cintanya sampai ke dalam hati, bukan hanya di bibir saja.
Kedua, banyak mengingat Nabi Muhammad saw. Ada banyak cara untuk mengingat Nabi Muhammad saw. diantaranya: membaca shalawat (allahumma shalli ala Muhammad), berzanjian, marhabanan, mengkaji riwayatnya, dan lainnya. Bukankah ada sebuah ungkapan bahwa barang siapa yang mencintai sesuatu, maka ia akan banyak menyebutnya (man ahabba syai’an fakatsuro dzikruhu). Di samping itu, orang yang benar-benar mencintai Nabi Muhammad saw. juga akan selalu berdoa untuk dipertemukan dengannya setelah wafat nanti.
Ketiga, mencintai orang yang dicintai Nabi Muhammad saw. Mulai dari keluarga, sahabat –baik Muhajirin atau pun Anshar, dan umatnya. Cinta dan kasih sayang Nabi Muhammad kepada mereka begitu besar, maka sudah sewajarnya orang yang benar-benar mencintai nabi adalah mereka yang mencintai siapa-siapa yang dicintai nabi.
Keempat, menjauhi dan meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah seperti berzina, membunuh, menyakiti makhluk Allah, dan berbuat maksiat lainnya. Kelima, gemar membaca, memahami, dan mengamalkan Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah pedoman utama umat Islam agar selamat dunia akhirat. Pun, Nabi Muhammad saw. menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber etika.
Keenam, mencintai sesama umat manusia, terutama umat Islam. Sesama umat manusia adalah saudara, maka sudah sepantasnya manusia satu dengan yang lainnya saling mengasihi dan mencintai, bukan saling membenci karena perbedaan-perbedaan yang ada. Nabi Muhammad saw. mengekspresikan cinta dan sayangnya kepada sesama dengan mewujudkan kemaslahatan dan menghilangkan bahaya.
Itulah beberapa indikasi seseorang benar-benar mencintai Nabi Muhammad yang digariskan oleh Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Jika ada seseorang yang mengaku cinta Nabi Muhammad, tapi tidak melaksanakan enam hal di atas maka cintanya perlu dipertanyakan.

Delapan Kiat Mudah Bangun Malam Menurut Imam Ghozali


   Bangun malam dan melakukan shalat malam merupakan salah satu cara seorang hamba untuk lebih dekat ( taqarrub ) dengan Penciptanya. Suasana malam yang sangat sepi tanpa kebisingan menjadikan beribadah ( qiyamul lail ) semakin bertambah khusyuk nan khidmah.
Malam juga disebut waktu yang paling utama untuk mendekatkan diri dan bersimpuh kepada Sang Pencipta, karena di saat semua hamba sedang menikmati waktu istirahat dari segala aktivitas dan hanya sedikit orang yang mampu menanggalkan rasa kantuknya untuk bangun, mengambil air wudhu dan bersimpuh di hadapan Allah SWT.
Sayangnya, terkadang bagi beberapa orang bangun malam untuk melakukan beberapa ibadah adalah suatu hal yang sangat berat untuk dikerjakan. Meskipun telah memasang alarm dan pengingat yang berlapis agar bisa terbangun, terkadang hal itu pun masih terasa berat bahkan masih terlewatkan begitu saja.
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menulis satu bab khusus yang menjelaskan kiat-kiat agar bisa bangun dan beribadah di malam hari ( qiyamul lail) dengan ringan dan mudah tanpa diliputi kepayahan saat bangun tidur.
Menurut al-Ghazali ada delapan hal yang selayaknya harus dilakukan seseorang agar bisa bangun di malam hari untuk melaksanakan shalat malam dan ibadah lainnya. Delapan hal tersebut dibagi menjadi dua kategori, yakni empat hal yang bersifat lahiriah atau
dhahiriyah dan empat hal yang bersifat bathiniyah .
Empat hal lahiriah yang harus dilaksanakan agar mudah bangun malam adalah:
Pertama , menghindari konsumsi makanan yang berlebih. Menurut al-Ghazali, orang yang banyak makan akan banyak pula minumnyasertaakanbanyak pula tidurnya. Hal inilah yang akanmenjadikankitasusahbangun di malamhari. Bahkanbagi guru tasawwuf, menghindari konsumsi makanan berlebih adalah anjuran yang selalu ditekankan kepada para muridnya agar bisa bangun malam dan tidak menyesal ketika telah meninggalnanti.
Kedua, mengurangi aktivitas di siang hari yang dapat menimbulkan kecapaian dan lelahnya tubuh serta urat syaraf. Ketika tubuh terasa lelah dan capek, maka akan dapat menambah waktu tidur.
Ketiga , tidak pernah meninggalkan qailulah (tidur sebentar) di siang hari. Karena selain sunnah, qailulah juga bisa membantu kita agar lebih mudah bangun untuk qiyamul lail sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Majjah dari Ibnu Abbas Ra.
Keempat, mengurangi perbuatan yang dapat menimbulkan dosa di siang hari. Menurut al-Ghazali yang mengutip pernyataan Hasan Bashri, bahwa dosa-dosa yang kita lakukan di siang hari sebenarnya mengikat jiwa kita agar tidak terbangun di malam hari. Selain itu, perbuatan dosa yang dilakukan pada siang hari menjadikan hati kita keras bagai batu dan membangun sekat antara diri kita dan rahmat Allah SWT.
Selain empat kita lahiriah di atas, al-Ghazali juga memberikan kiat bathiniyah sebagai berikut:
Pertama , menjauhkan diri dari sifat iri, dengki dan hasud atas orang muslim yang lain, perbuatan jelek dari hati yang lain serta mengurangi rasa suka yang berlebihan terhadap kebendaan dan keduniawian. Sifat-sifat tersebut menjadikan kita susah dan berat untuk bangun malam. Jika kita mampu bangun malam, maka fikiran tentang dunia akan terus menggelayuti hati kita bahkan ketika bangun malam dan mengerjakan shalat malam.
Kedua, menambah rasa takut ( khauf) atas azab dan siksaan Allah dalam diri kita. Hal ini merupakan salah satu kiat ampuh agar kita selalu mawas diri dan meminta ampun kepada Allah khususnya di waktu malam.
Sebagaimana diungkapkan Thawus:
ﺇِﻥْ ﺫَﻛَﺮَ ﺟَﻬَﻨَّﻢَ ﻃَﺎﺭَ ﻧَﻮْﻡُ ﺍﻟْﻌَﺎﺑِﺪِﻳﻦَ
Artinya: “Ketika seseorang mengingat (siksa) neraka jahannam, maka hilanglah rasa kantuk orang-orang yang beribadah.”
Seorang budak bernama Suhaib pernah dimarahi tuannya karena tidak pernah tidur di malam hari. Tuannya takut jika hal tersebut mengganggu pekerjaannya di siang harinya. Ternyata si Suhaib tidak bisa tidur karena teringat siksa neraka. Bahkan seorang budak lain ketika ia mengingat surga, bertambahlah kerinduannya untuk beribadah kepada Allah.
Ketiga , menambah pengetahuan kita tentang keutaman-keutamaan qiyamul lail yang terdapat dalam Al-Qur’an, hadits, ataupun atsar, sehingga bertambahlah harapan dan keinginan untuk meraih pahala dan ridha dari Allah.
Keempat, memperkuat keimanan dan kecintaan kita kepada Allah. Ketika rasa cinta kepada Allah telah tertanam dalam hati kita, maka kerinduan dan harapan untuk selalu bertemu dengan Allah serta mengharap ridhonya adalah suatu hal yang selalu dirindukan dan dilakukan.
Al-Ghazali sebagai seorang sufi pastilah telah memiliki berbagai pengalaman dalam menjalankan segala aktivitasnya sebagai seorang sufi. Sedangkan qiyamul lail adalah salah satu komponen yang tak bisa terpisahkan dari kehidupan seorang sufi. Hamba biasa yang jauh dari sifat dan amalan Imam al-Ghazali hanya bisa berusaha untuk selalu bisa mencontoh amalan-amalannya melalui karya-karya yang beliau tuliskan. Wallahu A’lam.

Inilah sembilan kesunahan khutbah Jum'at


Khutbah Jumat merupakan salah satu bagian terpenting dalam pelaksanaan Jumat. Khutbah Jumat tidak sama dengan ceramah-ceramah biasa. Ada beberapa anjuran yang perlu diperhatikan. Berikut ini Sembilan hal yang disunnahkan dalam pelaksanaan khutbah Jumat.
Pertama , khutbah di atas mimbar.
Anjuran ini karena mengikuti sunnah Nabi sebagaimana hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim. Demikian pula disunnahkan posisi mimbar berada di sebelah kanan mihrab (pengimaman). Bila tidak ditemukan mimbar, maka cukup digantikan dengan tempat yang tinggi, tujuannya karena lebih sempurna dalam memperdengarkan khutbah kepada Jamaah.
Kedua, menghadap para jamaah.
Khutbah dianjurkan dilakukan dalam posisi menghadap para jamaah, bukan membelakangi mereka. Bagi para jamaah disunnahkan pula menghadapkan wajahnya kepada khatib. Dalam titik ini, terdapat beberapa hadits Nabi yang menjelaskan hal tersebut. Di antaranya haditsnya ‘Adi bin Tsabit dari ayahnya bahwa beliau mengatakan:
ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺇِﺫَﺍ ﻗَﺎﻡَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤِﻨْﺒَﺮِ ﺍﺳْﺘَﻘْﺒَﻠَﻪُ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑُﻪُ ﺑِﻮُﺟُﻮﻫِﻬِﻢْ
“Nabi Saw saat berdiri di atas mimbar, para sahabatnya menghadapkan wajahnya kepada beliau.” (HR. Ibnu Majah)
Ketiga , azan sebelum khutbah.
Pada masa Rasulullah Saw, Abu Bakr dan Umar bin Khattab, azan sebelum khutbah hanya dilakukan sekali, yaitu saat khatib datang dan mengambil posisi duduk di atas mimbar. Baru di masa pemerintahan Utsman bin Affan ditambahkan satu azan lagi. Sahabat Utsman menganggap sangat perlu menambahkan satu azan untuk lebih mengumpulkan kaum muslim agar segera bersiap mendengarkan bacaan khutbah, melihat jumlah kuantitas umat islam yang bertambah banyak.
Dalam kitab al-Umm karya imam al-Syafi’i ditegaskan:
ﺃﺧﺒﺮﻧﺎ ﺍﻟﺮَّﺑِﻴﻊُ ﻗﺎﻝ ﺃﺧﺒﺮﻧﺎ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲُّ ﻗﺎﻝ ﺃﺧﺒﺮﻧﻲ ﺍﻟﺜِّﻘَﺔُ ﻋﻦ ﺍﻟﺰُّﻫْﺮِﻱِّ ﻋﻦ ﺍﻟﺴَّﺎﺋِﺐِ ﺑﻦ ﻳَﺰِﻳﺪَ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﺄَﺫَﺍﻥَ ﻛﺎﻥ ﺃَﻭَّﻟُﻪُ ﻟِﻠْﺠُﻤُﻌَﺔِ ﺣﻴﻦ ﻳَﺠْﻠِﺲُ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡُ ﻋﻠﻰ ﺍﻟْﻤِﻨْﺒَﺮِ ﻋﻠﻰ ﻋَﻬْﺪِ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺃﺑﻰ ﺑَﻜْﺮٍ ﻭَﻋُﻤَﺮَ ﻓﻠﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﺧﻼﻓﻪ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥَ ﻭَﻛَﺜُﺮَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃَﻣَﺮَ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥَ ﺑِﺄَﺫَﺍﻥٍ ﺛَﺎﻥٍ ﻓَﺄُﺫِّﻥَ ﺑِﻪِ ﻓَﺜَﺒَﺖَ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮُ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ
“Dari al-Rabi’, dari al-Syafi’i, dari seseorang yang terpercaya, dari al-Zuhri, dari al-Saib bin Yazid, bahwa mula-mula azan Jumat dikumandangkan saat imam duduk di atas mimbar di zaman Rasulullah, Abu Bakr dan Umar. Kemudian saat pemerintahan Utsman bin Affan dan semakin banyaknya umat islam, khalifah Utsman memerintahkan azan yang ke dua, kemudian dikumandangkan azan sesuai perintahnya. Kemudian azan jumat berlaku tetap seperti petunjuk shabat Utsman.” (al-Imam al-Syafi’i, al-Umm , juz 1, hal.195).
Keempat, membaca khutbah dengan lantang.
Khutbah hendaknya dibaca dengan lantang dan keras. Hal ini agar dapat lebih menggugah antusiasme jamaah. Anjuran ini juga berdasarkan sunnah fi’liyyah (perilaku) Nabi saat beliau menyampaikan khutbah. Ditegaskan dalam hadits riwayat sahabat Jabir bin Abdillah:
ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺇِﺫَﺍ ﺧَﻄَﺐَ ﺍﺣْﻤَﺮَّﺕْ ﻋَﻴْﻨَﺎﻩُ ﻭَﻋَﻠَﺎ ﺻَﻮْﺗُﻪُ ﻭَﺍﺷْﺘَﺪَّ ﻏَﻀَﺒُﻪُ ﺣَﺘَّﻰ ﻛَﺄَﻧَّﻪُ ﻣُﻨْﺬِﺭُ ﺟَﻴْﺶٍ
“Rasulullah Saw saat beliau berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya lantang dan tampak sangat marah seakan-akan beliau memperingatkan tentara perang.” (HR. Muslim).
Kelima, mengucapkan salam sebelum berkhutbah.
Saat khatib maju ke depan dan telah sampai di depan mimbar, hendaknya ia menghadap para jamaah dan mengucapkan salam kepada mereka, setelah itu dianjurkan duduk sejenak sampai muazzin selesai mengumandangkan azan di hadapannya. Demikian itu sebagaimana dilakukan oleh para Nabi dan para sahabatnya.
Keenam , durasi khutbah tidak terlampau pendek dan panjang.
Khutbah hendaknya disampaikan dalam durasi yang standar, tidak terlampau pendek, tidak pula terlalu panjang. Dalam sebuah hadits ditegaskan:
ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺻَﻠَﺎﺓُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺼْﺪًﺍ ﻭَﺧُﻄْﺒَﺘُﻪُ ﻗَﺼْﺪًﺍ
“Bahwa durasi shalat dan khutbahnya Nabi sesuai dengan standar umum.” (HR. Muslim)
Tidak ada batasan pasti berapa lama durasi waktu khutbah yang ideal menurut syari’at. Hanya saja, al-Imam al-Mawardi menggaris bawahi bahwa prinsipnya adalah tidak terlampau lama sehingga dapat membosankan dan tidak terlampau pendek sehingga pesan khutbah tidak dapat dicerna dengan baik oleh jamaah. Dalam titik ini, disesuaikan dengan kondisi kebiasaan masing-masing di setiap tempatnya.
Al-Imam al-Mawardi sebagaimana dikutip oleh Syekh Ahmad bin Hamzah al-Ramli mengatakan:
ﻭَﺣَﺴُﻦَ ﻗَﻮْﻝُ ﺍﻟْﻤَﺎﻭَﺭْﺩِﻱِّ ﻭَﻳَﻘْﺼِﺪُ ﺇﻳﺮَﺍﺩَ ﺍﻟْﻤَﻌْﻨَﻰ ﺍﻟﺼَّﺤِﻴﺢِ ﻭَﺍﺧْﺘِﻴَﺎﺭَ ﺍﻟﻠَّﻔْﻆِ ﺍﻟْﻔَﺼِﻴﺢِ ﻭَﻟَﺎ ﻳُﻄِﻴﻞُ ﺇﻃَﺎﻟَﺔً ﺗُﻤِﻞُّ ﻭَﻟَﺎ ﻳُﻘَﺼِّﺮُ ﺗَﻘْﺼِﻴﺮًﺍ ﻳُﺨِﻞُّ
“Dan bagus statemen al-Mawardi, hendaknya khatib menyengaja makna yang benar dan memilih redaksi yang fasih, hendaknya ia tidak memanjangkan khutbah yang dapat membosankan dan tidak memendekan khutbah yang dapat merusak pesan khutbah.” (Syekh Ahmad bin Hamzah al-Ramli, Hasyiyah ‘ala Asna al-Mathalib, juz 3, hal.484).
Yang sering disalahpahami, khutbah dengan durasi yang sangat panjang merupakan sebuah prestasi dan dianggap positif. Padahal, hal tersebut tidak sesuai dengan petunjuk Nabi.
Sebagaimana ditegaskan dalam beberapa hadits, bahwa Nabi memendekan khutbah dan memanjangkan shalat Jumat. Bacaan khutbah yang terlampau panjang, di samping bertentangan dengan ajaran Nabi, juga dapat mengakibatkan jamaah resah, karena beberapa di antara mereka terdapat orang tua, anak kecil dan orang-orang yang segera melanjutkan aktivitas kerjanya.
Ketujuh , memegang tongkat dengan tangan kirinya.
Saat ia berkhutbah, tangan kiri khatib dianjurkan memegang tongkat, pedang, busur panah atau benda-benda sejenis. Hal ini berdasarkan hadits Nabi:
ﺃَﻧَّﻪُ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎﻡَ ﻓِﻲ ﺧُﻄْﺒَﺔِ ﺍﻟْﺠُﻤُﻌَﺔِ ﻣُﺘَﻮَﻛِّﺌًﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﻮْﺱٍ ﺃَﻭْ ﻋَﺼًﺎ
“Bahwa Nabi berdiri dalam khutbah Jumat seraya berpegangan atas busur tanah atau tongkat.” (HR. Abu Daud).
Kedelapan , mudah dipaham jamaah.
Sebaiknya materi khutbah berupa konten yang ringan, mudah dicerna oleh para jamaah. Tidak menyampaikan materi yang berat, sebab hal tersebut tidak dapat diambil manfaatnya. Contoh materi yang sederhana misalkan yang berkaitan dengan keutamaan berjamaah, keutamaan membaca al-quran, kemuliaan bulan-bulan tertentu, bahaya riba, efek negatif zina dan lain sebagainya. Sahabat Ali mengatakan:
ﺣَﺪِّﺛُﻮﺍ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﺑِﻤَﺎ ﻳَﻌْﺮِﻓُﻮﻥَ ﺃَﺗُﺤِﺒُّﻮﻥَ ﺃَﻥْ ﻳُﻜَﺬَّﺏَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟُﻪُ
“Bicaralah kepada manusia dengan perkara yang mereka ketahui. Apakah kalian suka Allah dan rasulNya didustakan?.” (HR. al-Bukhari).
Kesembilan , duduk di antara dua khutbah dalam durasi bacaan surat al-Ikhlash.
Lama durasi duduk di antara dua khutbah hendaknya sekira cukup membaca surat al-Ikhlash. Dalam posisi tersebut, khatib disunnahkan membaca satu dua ayat dari al-Qur’an sebagiamana hadits riwayat Ibnu Hibban. Sebagian ulama menganjurkan yang dibaca adalah surat al-Ikhlash.
Demikianlah Sembilan hal yang disunnahkan dalam khutbah. Semoga bermanfaat.

Menempelkan Kaki dengan Kaki Orang Lain dalam Merapatkan Shaf




Menyempurnakan barisan shaf shalat merupakan salah satu hal yang menjadikan shalat jama’ah menjadi lebih utama. Jika barisan shaf shalat tidak teratur, maka akan berpengaruh terhadap fadhilah jama’ah bagi para makmum yang mengikuti jamaah, sebab barisan shaf yang tidak teratur merupakan salah satu kemakruhan dalam shalat jama’ah yang menyebabkan fadhilah jamaah menjadi hilang menurut Imam Ibnu Hajar (Lihat Syekh Husein Abdullah, Itsmidul ‘Ainain , halaman 33).
Dalam praktiknya, sebagian masyarakat ada yang berpandangan bahwa menyempurnakan shaf ini adalah dengan cara menempelkan kaki kita pada kaki orang lain yang ada di sebelah kita, hal yang sama juga berlaku bagi makmum-makmum yang lain.
Selain kaki, bahu dan lutut juga harus ditempelkan dengan bahu dan lutut orang yang ada di samping kita. Jika ketentuan demikian tidak dipenuhi, maka dianggap menyalahi perintah Rasulullah dalam hal pengaturan shaf. Sebenarnya, benarkah pandangan demikian?
Memang dalam salah satu hadits dijelaskan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat agar merapatkan shaf, lalu para sahabat saling merapatkan barisan shafnya dengan cara menempelkan telapak kaki dan bahu mereka dengan bahu dan telapak kaki orang lain yang ada di sampingnya. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam hadits riwayat Sahabat Anas bin Malik:
ﻋَﻦْ ﺃَﻧَﺲٍ ﻋَﻦْ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻗِﻴﻤُﻮﺍ ﺻُﻔُﻮﻓَﻜُﻢْ ﻓَﺈِﻧِّﻲ ﺃَﺭَﺍﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﻭَﺭَﺍﺀِ ﻇَﻬْﺮِﻱ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺃَﺣَﺪُﻧَﺎ ﻳُﻠْﺰِﻕُ ﻣَﻨْﻜِﺒَﻪُ ﺑِﻤَﻨْﻜِﺐِ ﺻَﺎﺣِﺒِﻪِ ﻭَﻗَﺪَﻣَﻪُ ﺑِﻘَﺪَﻣِﻪِ
Artinya, “Diriwayatkan dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad SAW, ia bersabda, ‘Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku,’ (Sahabat Anas berkata) ‘Ada di antara kami orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan menempelkan telapak kakinya dengan telapak kaki temannya,’” (HR Bukhari).
Hadits di atas tidak dapat dipahami secara literal sehingga menyimpulkan bahwa menempelkan kaki dan bahu adalah suatu kewajiban dalam shalat. Pemahaman demikian tidak dibenarkan, sebab hal tersebut sebenarnya hanya dilaksanakan oleh sebagian sahabat nabi saja, tidak secara keseluruhan.
Dengan berdasarkan redaksi “Ada di antara kami” (Wa kana ahaduna) yang terdapat dalam teks matan hadits di atas. Sedangkan segala hal tentang sahabat, hanya dapat dijadikan hujjah ketika memang dilakukan oleh sahabat secara keseluruhan, bukan sebagian. Hal demikian seperti yang dijelaskan dalam Kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam :
ﻭﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻻﻛﺜﺮﻳﻦ ﺃﻥ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﻲ ﺃﻧﻪ ﺇﻧﻤﺎ ﺃﻭﺭﺩ ﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﻣﻌﺮﺽ ﺍﻻﺣﺘﺠﺎﺝ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﺫﻟﻚ ﺣﺠﺔ ﺇﻥ ﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻣﺎ ﻧﻘﻠﻪ ﻣﺴﺘﻨﺪﺍ ﺇﻟﻰ ﻓﻌﻞ ﺍﻟﺠﻤﻴﻊ، ﻻﻥ ﻓﻌﻞ ﺍﻟﺒﻌﺾ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺣﺠﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺒﻌﺾ ﺍﻵﺧﺮ، ﻭﻻ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮﻫﻢ
Artinya, “Menurut pendapat mayoritas madzhab bahwa hal yang tampak dari para sahabat memang disampaikan dalam kasus penyampaian hujjah, namun dari hal tersebut yang dapat dijadikan hujjah hanya ketika memang apa yang mereka nukil disandarkan pada perbuatan seluruh sahabat. Sebab perbuatan sebagian sahabat tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atas sebagian sahabat yang lain dan juga tidak menjadi hujjah bagi selain sahabat,” (Lihat Saifuddin Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam , juz II, halaman 110).
Dengan demikian kewajiban menempelkan telapak kaki dan bahu satu sama lain, dengan berdasarkan hadits di atas tidak bisa dibenarkan, sebab konteks hadits di atas hanya menjelaskan tentang keutamaan merapatkan shaf dengan cara seperti yang dilakukan para sahabat di atas, bukan tata cara yang diwajibkan bagi para makmum yang hendak melaksanakan shalat jamaah.
Lebih jauh lagi, dalam Aunul Ma’bud dijelaskan bahwa merapatkan shaf dengan cara seperti di hadits adalah hal yang sangat dianjurkan, namun jika praktek tersebut dilaksanakan pada masa kini, maka orang-orang akan lari, karena praktik pemerataan shaf dengan cara tersebut sudah jarang dilakukan sehingga ketika hal tersebut dilakukan, maka orang-orang akan lari karena dianggap melakukan sesuatu yang aneh. Berikut redaksi tersebut:
ﻓﻬﺬﻩ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﻓﻴﻬﺎ ﺩﻻﻟﺔ ﻭﺍﺿﺤﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻫﺘﻤﺎﻡ ﺗﺴﻮﻳﺔ ﺍﻟﺼﻔﻮﻑ ﻭﺃﻧﻬﺎ ﻣﻦ ﺇﺗﻤﺎﻡ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺘﺄﺧﺮ ﺑﻌﺾ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾ ﻭﻻ ﻳﺘﻘﺪﻡ ﺑﻌﻀﻪ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾ ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻳﻠﺰﻕ ﻣﻨﻜﺒﻪ ﺑﻤﻨﻜﺐ ﺻﺎﺣﺒﻪ ﻭﻗﺪﻣﻪ ﺑﻘﺪﻣﻪ ﻭﺭﻛﺒﺘﻪ ﺑﺮﻛﺒﺘﻪ ﻟﻜﻦ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺗﺮﻛﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﻟﻮ ﻓﻌﻠﺖ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻟﻨﻔﺮ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻛﺎﻟﺤﻤﺮ ﺍﻟﻮﺣﺸﻴﺔ
Artinya, “Hadits-Hadits ini menunjukkan secara jelas tentang pentingnya meratakan shaf yang merupakan sebagian hal yang menyempurnakan shalat. Tidak diperkenankan untuk mundur satu sama lain dan maju satu sama lain serta menempelkan pundak, telapak kaki dan lutut satu sama lain. Tetapi kesunnahan seperti ini sudah ditinggalkan pada masa ini, jika ketentuan demikian dilakukan hari ini maka manusia akan lari seperti halnya keledai liar,” (Muhammad Syamsul Haq, Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud , juz II, halaman 256).
Ma’mar, salah satu rawi dari hadits diatas menjelaskan hal yang sama bahwa jika praktik merapatkan shaf seperti di atas dilakukan di masa kini, maka orang-orang akan lari:
ﻭﺯﺍﺩ ﻣﻌﻤﺮ ﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺘﻪ ﻭﻟﻮ ﻓﻌﻠﺖ ﺫﻟﻚ ﺑﺄﺣﺪﻫﻢ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻟﻨﻔﺮ ﻛﺄﻧﻪ ﺑﻐﻞ ﺷﻤﻮﺹ
Artinya, “Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya ‘Jika aku melakukan hal tersebut dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana keledai yang lepas,’” (Lihat Badruddin Al-‘Aini, Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari , juz VI, halaman 478).
Dari berbagai kritik di atas dapat dipahami bahwa dalam mengamalkan suatu kesunnahan, perlu menyelaraskan antara perintah syara’ dan keadaan masyarakat sekitar. Sebab jika hal tersebut tidak dilakukan, akan banyak masyarakat yang salah paham karena cara tersebut masih belum umum diamalkan oleh masyarakat sekitar. Padahal syara’ menganjurkan untuk beradaptasi dengan masyarakat selama bukan dalam hal yang menyalahi aturan syariat (Muwafaqatun nas ma lam yukhalif syar’an).
Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa menempelkan kaki ke orang lain dalam shalat jamaah bukanlah suatu kewajiban, namun sebatas anjuran dalam hal menyempurnakan barisan shaf.
Sebaliknya, jika melaksanakan hal ini justru akan membuat para jamaah yang lain enggan mendekatinya, karena dianggap terlalu fanatik dalam beragama misalnya, maka baiknya merapatkan shaf dilakukan dengan cara yang lain sekiranya dapat diterima oleh masyarakat sekitar dan barisan shaf tetap dipandang rapi dan baik, dengan begitu ia dapat menjalankan anjuran syara’ sekaligus bersikap husnul khuluq pada masyarakat. Wallahu a’lam .

Cara Memulihkan Gairah Seksual


Di Hari Raya Idul Adha ini daging kambing menjadi perhatian masyarakat. Selain membatasi porsi konsumsi karena takut darah tinggi, sebagian dari masyarakat juga kerap menjadikan daging kambing sebagai penambah gairah seksual dalam guyonan mereka.
Sebagaimana diketahui, banyak obat dan tips yang ditawarkan untuk meningkatkan gairah seksual. Sebagian obat dan tips itu cocok untuk sebagian orang. Tetapi sebagian lagi tidak cocok.
Mereka sering menyebutnya sebagai “obat kuat”. Ada obat kuat dikonsumsi, tetapi ada juga yang dioles. Hanya saja pada beberapa kasus obat kuat itu membahayakan terutama tanpa arahan dokter.
Lazimnya orang yang sudah memenuhi hajat seksual tidak lagi berhajat dalam tempo singkat. Hal ini biasanya terjadi pada perkawinan suami-istri lebih dari 20 tahun atau mereka yang lanjut usia. Mereka membutuhkan stimulus. Lain soal pengantin baru apalagi pengantin muda yang tengah bersemangat karena merasa mempunyai “mainan” baru. Pengantin baru ini biasanya tidak perlu stimulus untuk melakukan hubungan seksual bahkan untuk kedua kalinya dalam jeda yang singkat.
Untuk pasangan suami-istri yang perlu memulihkan gairah seksual setelah berhubungan badan dan belum sempat mandi atau pasangan muda sekalipun yang tidak perlu rangsangan, Syekh Wahbah Az-Zuhayli menganjurkan mereka untuk berwudhu.
ﻭﻣﻦ ﺃﺭﺍﺩ ﺃﻥ ﻳﺠﺎﻣﻊ ﻣﺮﺓ ﺛﺎﻧﻴﺔ، ﻓﻠﻴﻐﺴﻞ ﻓﺮﺟﻪ، ﻭﻳﺘﻮﺿﺄ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﻳﺰﻳﺪ ﻧﺸﺎﻃﺎً ﻭﻧﻈﺎﻓﺔ
Artinya, “Siapa saja yang ingin berhubungan seksual untuk kedua kalinya dengan istri, hendaknya ia membasuh kemaluannya, kemudian ia berwudhu. Pasalnya, wudhu dapat menambah semangat dan kesucian,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh , cetakan kedua, 1985 M/1305, Beirut, Darul Fikr, juz 3 halaman 556).
Kesegaran badan itu sendiri menambah gairah atau meningkatkan mood . Wudhu diharapkan dapat membantu menghadirkan itu di samping wudhu itu sendiri merupakan ibadah penyucian. Wallahu a‘lam

Do'a Minta anak laki laki


Anak ialah salah satu rezeki istimewa untuk pasangan suami-istri yang sudah sah menikah. Anak merupakan penerus keturunan bagi para orang tua. Anak tak hanya menambah kebahagiaan berumah tanga, tapi juga akan menjadi investasi bagi kedua orang tua baik di dunia dan di akhirat. Hal tersebut dikarenakan anak sudah diwajibkan untuk selalu berbakti, menghormati dan merawat kedua orang tua. Doa anak yang saleh dan salehah akan menjadi salah satu pahala yang tidak akan pernah terputus bagi para orang tua yang didoakan.
Tanpa bermaksud membeda-bedakan, umumnya beberapa orang tua menginginkan memiliki anak lelaki. Ada banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut, misalkan karena sudah punya anak perempuan maka sekarang menginginkan anak lelaki, atau karena ingin memiliki anak yang kelak bisa melindungi keluarga, sementara sifat melindungi itu potensinya lebih besar dimiliki oleh anak lelaki.
Bagi orang tua yang memiliki keinginan tersebut, Syekh Sulaiman al -Bujairami dalam kitab a l-Bujairimi ‘ala al-Khathib (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz III, hal. 245 meriwayatkan sebuah doa yang bisa diamalkan agar bisa memiliki anak lelaki. Cara melafalkan doa ini ialah dengan meletakkan tangan pada perut ibu hamil di saat awal-awal kehamilan, sambil membaca doa:
ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢِ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇﻧِّﻲ ﺃُﺳَﻤِّﻲ ﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺑَﻄْﻨِﻬَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﻓَﺎﺟْﻌَﻠْﻪُ ﻟِﻲ ﺫَﻛَﺮًﺍ
Bismillâhirrahmânirrahîm. Allâhumma innî usammî mâ fî bathnihâ Muhammadan, faj’alhu lî dzakaran
“Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ya Allah, sesungguhnya aku (akan) menamai anak yang terkandung dalam perut ibunya ini dengan nama Muhammad, maka jadikanlah ia sebagai lelaki bagiku.”
Demikian, selamat diamalkan dan semoga diijabah oleh Allah. Amin. Wallahu a’lam bi shawab.

Ilmu tauhid menurut ahlussunnah waljamaah


Kategori Ilmu

Imam Al-Ghazali dalam Ar-Risalah Al-Laduniyyah menyatakan bahwa ilmu itu terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu  ilmu syar’iy (ilmu keagamaan) dan ilmu ‘aqliy (ilmu rasionalitas). 

Ilmu syar’iy (keagamaan) kemudian terbagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu al-ushul (ilmu pokok-pokok keagamaan), dan ilmu al-furu’ (ilmu cabang-cabang keagamaan).

Yang masuk kategori dalam ilmu al-ushul sebagai bagian dari ilmu syar’iy adalah ilmu tauhid, ilmu tafsir (ilmu yang mengkaji tentang Al-Quran dan penafsirannya), dan ilmu al-akhbar (ilmu yang mengkaji tentang hadits Rasulullah dan pemahamannya). Ilmu al-ushulterkategori sebagai ilmu teoritis (ilmiyyan).

Ilmu al-furu’ (ilmu cabang-cabang keagamaan) sebagai bagian dari ilmu syar’iy itu terkategori ilmu aplikatif (‘amaliyy). Ilmu ini mencakup tiga hak. Pertama, hak Allah yang meliputi  rukun-rukun ibadah semisal thaharah, shalat, zakat, haji, jihad, dzikir, dan lain-lain perkara yang wajib dan sunnah. Kedua, hak sebagai hamba Allah, yang mencakup interaksi bisnis, relasi sosial, dan transaksi antarmanusia. Jenis pertama dan kedua ini disebut sebagai ilmu fiqih. Ilmu ini mulia karena manusia tidak akan bisa terlepas darinya. Ketiga, hak diri, yang disebut juga sebagai ilmu akhlak. Akhlak itu ada yang tercela, dan manusia harus menghilangkannya; dan ada yang terpuji, yang mesti menjadi hiasan jiwa manusia.

Ilmu ‘aqliyy (ilmu rasionalitas) termasuk ilmu yang rumit. Ilmu ini terbagi menjadi tiga tahapan.  Pertama adalah ilmu ar-riyadhy (matematika, atau ilmu hitungan) dan ilmu mantiqiy (logika). Kedua adalah ilmu at-tabiiyy (ilmu alam atau biologi). Ketiga adalah ilmu nadhar fil mawjud (ilmu penelitian tentang segala hal yang ada).

Objek Ilmu Tauhid dan Sumbernya 

Sebagai ilmu syar’iy, ilmu tauhid mengaji tentang zat dan sifat Allah, perihal kenabian, kematian, dan kehidupan, kiamat dan segala hal yang terjadi di hari kiamat. Kajian utama ilmu tauhid adalah tentang Allah Yang Qadim (terdahulu, tanpa ada pemulaan). Syekh Al-Khatib al-Baghdady meriwayatkan bahwa Imam Junaid al-Baghdady berkata:

التَّوْحِيد إفْرَادُ القَدِيْمِ مِن المحدث 

“Tauhid adalah pengesaan Allah Yang Qadim dari menyerupai makhluk-Nya.”

Ilmu tauhid adalah ilmu yang paling utama, karena yang dikaji adalah Allah, Sang Pencipta, Yang Maha Esa. Ilmu ini wajib dipelajari oleh setiap yang berakal. Ulama ilmu ini adalah ulama yang paling utama.

(Baca: Perihal Kewajiban Mempelajari Ilmu Tauhid)
Pembahasan ilmu tauhid menurut Ahlussunnah wal Jama'ah harus dilandasi dalil dan argumentasi yang definitif (qath'i) dari al-Qur'an, hadits, ijma' ulama, dan argumentasi akal yang sehat. Imam al-Ghazali dalam Ar-Risalah al-Laduniyyah mengatakan:

وَأَهْلُ النَّظَرِ فِيْ هَذَا الْعِلْمِ يَتَمَسَّكُوْنَ أَوَّلاً بِآيَاتِ اللهِ تَعَالَى مِنَ اْلقُرْآنِ، ثُمَّ بِأَخْبَارِ الرَّسُوْلِ، ثُمَّ بِالدَّلاَئِلِ الْعَقْلِيَّةِ وَالْبَرَاهِيْنِ الْقِيَاسِيَّةِ.

Ahli nadhar (nalar) dalam ilmu akidah ini pertama kali berpegangan pada ayat-ayat Al-Qur'an, kemudian dengan hadits-hadits Rasul, dan terakhir pada dalil-dalil rasional dan argumentasi-argumentasi analogis.

Berikut adalah rincian dalil-dalil tersebut secara hirarkis:

1. Al-Qur'an

Al-Qur'an al-Karim adalah pokok dari semua argumentasi dan dalil. Al-Qur'an adalah dalil yang membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad dan dalil yang membuktikan benar dan tidaknya suatu ajaran. Al-Qur'an juga merupakan kitab Allah terakhir yang menegaskan pesan-pesan kitab-kitab samawi sebelumnya. Allah memerintahkan dalam al-Qur'an agar kaum Muslimin senantiasa mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ

Artinya: “Kemudian jika kalian  berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya).” (QS. al-Nisa' : 59).

Mengembalikan persoalan kepada Allah, berarti mengembalikannya kepada Al-Qur'an. Sedangkan mengembalikan persoalan kepada Rasul, berarti mengembalikannya kepada sunnah Rasul  yang shahih.

2. Hadits

Hadits adalah dasar kedua dalam penetapan akidah-akidah dalam Islam. Tetapi tidak semua hadits dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah. Hadits yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah adalah hadits yang perawinya disepakati, dan dapat dipercaya oleh para ulama. Sedangkan hadits yang perawinya masih diperselisihkan oleh para ulama, tidak dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah sebagaimana kesepakatan para ulama ahli hadits dan fuqaha yang mensucikan Allah dari menyerupai makhluk. Menurut mereka, dalam menetapkan akidah tidak cukup didasarkan pada hadits yang diriwayatkan melalui jalur yang dha'if, meskipun diperkuat dengan perawi yang lain.

Al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi  sebagaimana dikutip Syekh Abdullah Al-Harary dalam kitabnya Sharihul Bayan menyatakan:

لاَ تَثْبُتُ الصِّفَةُ ِللهِ بِقَوْلِ صَحَابِيٍّ اَوْ تَابِعِيٍّ إِلاَّ بِمَا صَحَّ مِنَ اْلاَحَادِيْثِ النَّبَوِيَّةِ الْمَرْفُوْعَةِ الْمُتَّفَقِ عَلَى تَوْثِيْقِ رُوَاتِهَا، فَلاَ يُحْتَجُّ بِالضَّعِيْفِ وَلاَ بِالْمُخْتَلَفِ فِيْ تَوْثِيْقِ رُوَاتِهِ حَتَّى لَوْ وَرَدَ إِسْنَادٌ فِيْهِ مُخْتَلَفٌ فِيْهِ وَجَاءَ حَدِيْثٌ آخَرُ يَعْضِدُهُ فَلاَ يُحْتَجُّ بِهِ

Artinya: Sifat Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan pendapat seorang sahabat atau tabi'in. Sifat Allah hanya dapat ditetapkan berdasarkan hadits-hadits Nabi  yang marfu', yang perawinya disepakati dapat dipercaya. Jadi hadits dha'if dan hadits yang perawinya diperselisihkan tidak dapat dijadikan hujjah dalam masalah ini, sehingga apabila ada sanad yang diperselisihkan, lalu ada hadits lain yang menguatkannya, maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah.

Al-Hafizh al-Baihaqi juga mengutip dalam kitabnya al-Asma' wa al-Shifat dari al-Hafizh Abu Sulaiman al-Khaththabi, bahwa sifat Allah itu tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan nash al-Qur'an atau hadits yang dipastikan keshahihannya.

Hadits yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah adalah hadits mutawatir, yaitu hadits yang mencapai peringkat tertinggi dalam keshahihan. Hadits mutawatir ialah hadits yang disampaikan oleh sekelompok orang yang banyak dan berdasarkan penyaksian mereka serta sampai kepada penerima hadits tersebut, baik penerima kedua maupun ketiga, melalui jalur kelompok yang banyak pula. Hadits yang semacam ini tidak memberikan peluang terjadinya kebohongan.

Di bawah hadits mutawatir, adalah hadits masyhur. Hadits masyhur dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan akidah karena dapat menghasilkan keyakinan sebagaimana halnya hadits mutawatir. Hadits masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dari generasi pertama hingga generasi selanjutnya. Al-Imam Abu Hanifah dan pengikutnya menetapkan syarat bagi hadits yang dapat dijadikan argumentasi dalam hal-hal akidah harus berupa hadits masyhur. Dalam risalah-risalah yang ditulisnya dalam hal-hal akidah, Abu Hanifah membuat hujjah dengan sekitar empat puluh hadits yang tergolong hadits masyhur. Risalah-risalah tersebut dihimpun oleh al-Imam Kamaluddin al-Bayadhi al-Hanafi dalam kitabnya, Isyarat al-Maram min 'Ibarat al-Imam. Sedangkan hadits-hadits yang peringkatnya di bawah hadits masyhur, maka tidak dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan sifat Allah.

3. Ijma' Ulama

Ijma' ulama yang mengikuti ajaran Ahlul Haqq dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan akidah. Dalam hal ini seperti dasar yang melandasi penetapan bahwa sifat-sifat Allah itu qadim (tidak ada permulaannya) adalah ijma' ulama yang qath'i. Dalam konteks ini, al-Imam al-Subki berkata dalam kitabnya Syarh 'Aqidah Ibn al-Hajib:

اِعْلَمْ أَنَّ حُكْمَ الْجَوَاهِرِ وَاْلأَعْرَاضِ كُلِّهَا الْحُدُوْثُ فَإِذًا الْعَالَمُ كُلُّهُ حَادِثٌ، وَعَلَى هَذَا إِجْمَاعُ الْمُسْلِمِيْنَ بَلْ كُلِّ الْمِلَلِ وَمَنْ خَالَفَ فِيْ هَذَا فَهُوَ كَافِرٌ لِمُخَالَفَتِهِ اْلإِجْمَاعَ الْقَطْعِيَّ اهـ

Artinya: "Ketahuilah sesungguhnya hukum jauhar dan 'aradh (Jauhar adalah benda terkecil yang tidak dapat terbagi lagi. Sedangkan 'aradh adalah sifat benda yang keberadaannya harus menempati benda lain) adalah baru. Oleh karena itu, semua unsur-unsur alam adalah baru. Hal ini telah menjadi ijma' kaum Muslimin, bahkan ijma' seluruh penganut agama-agama (di luar Islam). Barangsiapa yang menyalahi kesepakatan ini, maka dia dinyatakan kafir, karena telah menyalahi ijma' yang qath'i." 

4. Akal

Dalam ayat-ayat al-Qur'an Allah Ta’ala telah mendorong hamba-hamba-Nya agar merenungkan semua yang ada di alam jagad raya ini, agar dapat mengantar pada keyakinan tentang kemahakuasaan Allah. Dalam konteks ini Allah berfirman:

أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ 

Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi. (QS. al-A'raf : 185).

Allah juga berfirman:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ 

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur'an itu adalah benar. (QS. Fushshilat: 53).

Dalam membicarakan sifat-sifat Allah, sifat-sifat Nabi, paraMalaikat dan lain-lain, para ulama tauhid tidak hanya bersandar pada penalaran akal semata. Mereka membicarakan hal tersebut dalamkonteks membuktikan kebenaran semua yang disampaikan olehNabi dengan akal. Jadi, menurut ulama tauhid, akal difungsikan sebagai sarana yang dapat membuktikan kebenaran syara', bukan sebagai dasar dalam menetapkan akidah-akidah dalam agama. Meski demikian, hasil penalaran akal yang sehat tidak akan keluar dan tidak mungkin bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh syara'.

Demikianlah faktanya bahwa masalah tauhid yang bersumber dari Quran dan Hadits itu juga diperkuat dengan dalil-dalil aqli (rasional). Hal demikian setidak-tidaknya karena dengan dua tujuan. Pertama, agar sesiapa yang menentang masalah tauhid itu agar dapat menerima dan segera meyakininya, atau setidaknya menghentikan penentangannya tersebut. Mereka yang menentang ini adalah kelompok anti Tuhan atau kelompok di luar Ahlussunnah wal Jama’ah yang cenderung mempertanyakan dengan nada memojokkan. Kedua, agar mereka yang masih ragu-ragu dapat segera hilang keraguannya, kemudian tumbuh dalam dirinya suatu keyakinan yang mantap.     

Terkait dengan metode Ahlussunnah wal Jama'ah yang menggabungkan antara naql dengan akal tersebut, para ulama memberikan perumpamaan berikut ini. Akal diumpamakan dengan mata yang dapat melihat. Sedangkan dalil-dalil syara' atau naql diumpamakan dengan Matahari yang dapat menerangi. Orang yang hanya menggunakan akal tanpa menggunakan dalil-dalil syara' seperti halnya orang yang keluar pada waktu malam hari yang gelap gulita. Ia membuka matanya untuk melihat apa yang ada di sekelilingnya, antara benda yang berwarna putih, hitam, hijau dan lain-lain. Ia berusaha untuk melihat semuanya. Tetapi selamanya ia tidak akan dapat melihatnya, tanpa ada Matahari yang dapat meneranginya, meskipun ia memiliki mata yang mampu melihat. Sedangkan orang yang menggunakan dalil-dalil syara' tanpa menggunakan akal, seperti halnya orang yang keluar di siang hari dengan suasana terang benderang, tetapi dia tuna netra, atau memejamkan matanya. Tentu saja ia tidak akan dapat melihat mana benda yang berwarna putih, hijau, merah dan lain-lainnya. Ahlussunnah Wal-Jama'ah laksana orang yang dapat melihat dan keluar di siang hari yang terang benderang, sehingga semuanya tampak kelihatan dengan nyata, dan akan selamat dalam berjalan mencapai tujuan.

KEUTAMAAN BERDZIKIR KEPADA ALLAH TA‘ALA


Allah berfirman:
ﻓَﺎﺫْﻛُﺮُﻭْﻧِﻲْ ﺃَﺫْﻛُﺮْﻛُﻢْ ﻭَ ﺍﺷْﻜُﺮُﻭْﺍ ﻟِﻲْ ﻭَ ﻟَﺎ ﺗَﻜْﻔُﺮُﻭْﻥِ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada Aku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (al-Baqarah [2]: 152).
Ulama berselisih mengenai tafsir ayat tersebut. Ada banyak penafsiran dari mereka:
Ibnu ‘Abbas berkata: “Ingatlah kepada-Ku dengan taat kepada-Ku, maka Aku ingat kalian dengan pertolongan-Ku.”
Sa‘id bin Jubair muridnya berkata: “Ingatlah Aku dengan taat kepada-Ku, maka Aku ingat kalian dengan ampunan-Ku.”
Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Ingatlah Aku dengan taat kepada-Ku, maka Aku ingat kalian dengan pahala-Ku.”
Ibnu Kisan berkata: “Ingatlah Aku dengan syukur, maka Aku ingat kalian dengan memberi tambahan.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan tauhid dan iman, maka Aku ingat kalian dengan derajat dan surga.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku di atas bumi, maka Aku ingat kalian di dalamnya ketika penghuninya lupa kepada kalian.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku di dunia, maka Aku ingat kalian di akhirat.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku ketika sendirian bersama orang lain, maka Aku ingat kalian demikian juga.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dalam nikmat dan enak, maka Aku ingat kalian dalam kesulitan dan musibah.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan pasrah dan tunduk, maka Aku ingat kalian dengan pilihan terbaik.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan rindu dan cinta, maka Aku ingat kalian dengan dekat dan pertemuan.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan keagungan dan sanjungan, maka Aku ingat kalian dengan anugrah dan balasan.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan taubat, maka Aku ingat kalian dengan ampunan kesalahan.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan doa, maka Aku ingat kalian dengan pemberian.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan meminta (kepada-Ku), maka Aku ingat kalian dengan karunia.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku tanpa lupa, maka Aku ingat kalian tanpa henti.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan menyesal (atas dosa-dosa kalian), maka Aku ingat kalian dengan derma.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan alasan, maka Aku ingat kalian dengan ampunan.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan kehendak, maka Aku ingat kalian dengan dengan faedah.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan ikhlas, maka Aku ingat kalian dengan keselamatan.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku di hati, maka Aku ingat kalian dengan menghapuskan kesedihan.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku tanpa lupa, maka Aku ingat kalian dengan iman.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan kemiskinan, maka Aku ingat kalian dengan kekuasaan.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan alaan dan minta maaf, maka Aku ingat kalian dengan rahmat dan ampunan.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan iman, maka Aku ingat kalian dengan surga.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan Islam, maka Aku ingat kalian dengan memberikan kemuliaan.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan hati, maka Aku ingat kalian dengan menghapus tabir.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan ingat yang fana’, maka Aku ingat kalian dengan ingat yang abadi.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan merendahkan diri, maka Aku ingat kalian dengan memberi anugrah.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku rasa rendah, maka Aku ingat kalian dengan mengampuni kesalahan.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan pengakuan, maka Aku ingat kalian dengan menghapus perbuatan.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan batin jernih, maka Aku ingat kalian dengan kebaktian murni.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan benar, maka Aku ingat kalian dengan rahmat.
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan bersih, maka Aku ingat kalian dengan ampunan.
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan mengagungkan, maka Aku ingat kalian dengan memberikan kemuliaan.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan memuliakan, maka Aku ingat kalian dengan selamat dari neraka Sa‘ir.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan tidak keras kepala, maka Aku ingat kalian dengan memenuhi janji.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan tidak bersalah, maka Aku ingat kalian dengan macam-macam karunia.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dengan sungguh-sungguh dalam ibadah, maka Aku ingat kalian dengan menyempurnakan nikmat.”
Penpadat lain: “Ingatlah Aku dari segi kalian, maka Aku ingat kalian dari segi Aku.”
Dan sungguh ingat Allah itu lebih besar. Demikian penjelasan Syaikh ‘Abd-ul-Qadir.
Nabi s.a.w. bersabda:
ﺫِﻛْﺮُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﻠَﻢُ ﺍﻟْﺈِﻳْﻤَﺎﻥِ ﻭَ ﺑَﺮَﺍﺋَﺔٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﻔَﺎﻕِ ﻭَ ﺣِﺼْﻦٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ ﻭَ ﺣِﺮْﺯٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﻴْﺮَﺍﻥِ
“ Dzikir kepada Allah itu bendera iman, kebebasan dari kemunafikan, lindungan dari setan dan penjaga dari neraka. ”
Bebas dari kemunafikan, sebab orang yang berdzikir itu berarti dia beriman kepada Allah dan membenarkan-Nya. Konon jika dzikir sudah meresap dalam hati, maka setan yang mendekat jatuh pingsan. Seperti orang pingsan ketika didekati setan. Orang-orang bertanya: “Ada apa dengan dia?” Mereka menjawab: “Dia terkena setan.” Demikian penjelasan Syaikh ‘Abd-ul-Qadir.
Nabi s.a.w. bersabda:
ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮِ : ﺍﻟﺬِّﻛْﺮُ ﺍﻟْﺨَﻔِﻲُّ
“ Dzikir paling utama itu dzikir yang samar. ”
Syaikh ‘Abd-ul-Qadir mengatakan bahwa dzikir samar itu tidak dilaporkan oleh malaikat, sebab mereka tidak mengetahuinya. Karena itu dzikir samar itu antara hamba dan Tuhannya.
Dalam riwayat Baihaqi dari ‘A’isyah r.a. disebutkan:
“ Dzikir yang tidak didengar oleh malaikat penjaga amal itu melebihi dzikir yang didengar mereka dengan tujuh puluh kali lipat. ”
Munawi mengatakan: “Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksudkan Nabi dengan dzikir tersebut adalah berpikir mengenai ciptaan Allah dan nikmat-Nya. Namun hal yang tersirat dengan cepat adalah dzikir hati.”
Alqami mengatakan: “Barangkali yang dikehendaki oleh Nabi adalah berpikir dan merenung mengenai makhluk ciptaan Allah, mengambil hukum agama dan menggambarkan masalah ilmu fikih yang bergolak dalam hati. Karena itu Nabi bersabda: “Yang tidak didengar oleh malaikat penjaga amal.” Yakni malaikat yang diserahi untuk menulis amal perbuatan. Dan Nabi tidak bersabda: “Dzikir yang tidak dapat dilihat (diketahui) malaikat Ḥafazhah. Adapun dzikir khafi itu mempunyai nilai tambah, karena dalam segala permasalahannya diperhitungkan lebih memberikan manfa‘at dan dapat menambah keimanan serta memurnikan ke-Esa-an Allah.
Nabi s.a.w. bersabda:
ﺃَﺷَﺪَّ ﺍﻟْﺄَﻋْﻤَﺎﻝِ ﺛَﻠَﺎﺙٌ : ﺫِﻛْﺮُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺣَﺎﻝٍ ﻭَ ﻣُﻮَﺍﺳَﺎﺓُ ﺍﻟْﺄَﺥِ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﻟِﻚٍ . ﻭَ ﺇِﻧْﺼَﺎﻑُ ﺍﻟْﻔَﻘِﻴْﺮِ ﺍﻟْﺒَﺎﺋِﺲِ ﻣِﻦْ ﻧَﻔْﺴِﻚَ
“ Amal yang paling berat itu tiga: dzikir kepada Allah ta‘ala atas setiap keadaan, menolong saudara dari hartamu dan memenuhi hak orang muslim yang memerlukan secara penuh. ”
Maksudnya dzikir kepada Allah pada setiap ruang dan waktu. Memenuhi hak orang miskin artinya menjadikan dirimu sebagai pelayan orang miskin yang baru tertimpa kesulitan.
Nabi s.a.w. bersabda:
ﻋَﻠَﺎﻣَﺔُ ﺣُﺐِّ ﺍﻟﻠﻪِ ﺣُﺐُّ ﺫِﻛْﺮِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَ ﻋَﻠَﺎﻣَﺔُ ﺑُﻌْﺾِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺑُﻌْﺾُ ﺫِﻛْﺮِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﺰَّ ﻭَ ﺟَﻞَّ
“ Tanda cinta Allah adalah cinta dzikir kepada Allah. Tanda murka Allah adalah benci dzikir kepada Allah ‘azza wa jalla. ” (H.R. Baihaqi dari Anas bin Malik).
Munawi berkata: “Tanda mencintai Allah adalah suka kepada dzikir Allah. Sebab jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia mengingatnya. Jika Dia mengingatnya, maka Dia membuat dia suka dzikir kepada-Nya. Dan sebaliknya.”
Nabi bersabda meriwayatkan dari Allah ta‘ala:
ﺃَﻧَﺎ ﻣَﻊَ ﻋَﺒْﺪِﻱْ ﺇِﺫَﺍ ﺫَﻛَﺮَﻧِﻲْ ﻭَ ﺗَﺤَﺮَّﻛَﺖْ ﺑِﻲْ ﺷَﻔَﺘَﺎﻩُ
“ Aku beserta hamba-Ku jika dia ingat Aku dan kedua bibirnya bergerak dengan Aku. ”
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata dalam Bulūgh-ul-Marām: “Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan di-shaḥīḥ-kan oleh Ibnu Hibban. Bukhari menyebutkannya sebagai hadits mu‘allaq.” Yaitu hadits yang dibuang sebagian dari awal sanadnya.
Hakim berkata: “Hadits di atas dan hadits yang serupa itu berbicara mengenai dzikir yang dilakukan dengan kesadaran dan sungguh-sungguh, bukan dzikir disertai lupa. Hakekat dzikir adalah hal itu. Pada waktu dzikir tak ada yang diingat, selain Allah. Tidak ingat diri sendiri, apalagi orang lain. Itulah dzikir yang murni, dzikir hati. Jika seseorang sibuk oleh sesuatu, maka dia lupa akan lainnya. Hal ini bisa terjadi pada manusia. Jika seorang lelaki menghadap seorang raja dalam hidupnya, maka karena takutnya saat itu dia tidak ingat selain raja. Lalu bagaimana dengan Sang Maha Raja?”
Nabi s.a.w. bersabda:
ﺫِﻛْﺮُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺑِﺎﻟْﻐَﺪَﺍﺓِ ﻭَ ﺍﻟْﻌَﺸِﻲِّ ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﻣِﻦْ ﺿَﺮْﺏِ ﺍﻟﺴُّﻴُﻮْﻑِ ﻓِﻲْ ﺳَﺒِﻴْﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ
“ Dzikir kepada Allah ta‘ala pada pagi hari dan sore itu lebih utama daripada pukulan pedang-pedang di jalan Allah. ”
Dalam ‘Ihya’ disebutkan bahwa Nabi bersabda:
“Sungguh dzikir kepada Allah
‘azza wa jalla di pagi dan sore hari itu lebih utama daripada menghancurkan pedang di jalan Allah dan daripada memberikan harta benda karena derma.”
Nabi s.a.w. bersabda:
ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮِ : ﻟَﺎ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠﻪُ
“ Dzikir paling utama adalah: Lā ilāha ilallallāh. ”
Dalam riwayat Dailami dari Anas dituturkan:
“Dzikir kepada Allah itu menjadi obat hati.”
Yakni obat luka hati, obat bagi penyakit yang ada di hati karena kegelapan dosa dan lupa.
Nabi s.a.w. bersabda:
ﺍُﺫْﻛُﺮُﻭﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﺫِﻛْﺮًﺍ ﺧَﺎﻣِﻠًﺎ، ﻗِﻴْﻞَ ﻭَ ﻣَﺎ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮُ ﺍﻟْﺨَﺎﻣِﻞُ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺍﻟﺬِّﻛْﺮُ ﺍﻟْﺨَﻔِﻲُّ
“Dzikirlah kalian kepada Allah dengan dzikir yang rendah (suaranya).” Nabi ditanya: “Apakah dzikir rendah (suaranya) itu?” Nabi menjawab: “Dzikir rahasia.” ”
(H.R. ‘Abdullah bin Mubarak dari Dhamrah bin Habib).
Yakni dzikir rahasia itu lebih baik daripada dzikir dengan terang-terangan, sebab dzikir rahasia itu aman dari riya’ dan sejenisnya. Ini menurut sekelompok ahli tasawwuf untuk selain pemula. Kalau bagi pemula, dzikir keras itu lebih berguna. Nabi memerintahkan setiap orang dengan sesuatu yang lebih berguna dan maslahat baginya.
Nabi s.a.w. bersabda:
ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩِ ﺩَﺭَﺟَﺔً ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﺍﻟﺬَﺍﻛِﺮُﻭْﻥَ ﺍﻟﻠﻪَ ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ
“Hamba paling utama derajatnya di sisi Allah di hari Qiamat adalah mereka yang yang banyak dzikir kepada Allah dengan banyak. ” (H.R. Ahmad dan Tirmidzi dari Abu Sa‘id al-Khudri).
Ulama berbeda pendapat tentang orang-orang yang banyak berdzikir (mengingat dan menyebut) Allah. Abu Husain al-Wahidi menyebutkan bahwa Ibnu ‘Abbas berkata: “Yang dimaksudkan dzikir kepada Allah dengan banyak itu dzikir kepada Allah setelah shalat baik pagi maupun sore, ketika di tempat tidur, setiap kali bangun tidur, akan berangkat pagi dan sore hari dari rumah.” Mujahid berkata: Seseorang tidak akan termasuk orang-orang yang dzikir Allah dengan banyak, sampai dia dzikir Allah ketika berdiri, duduk dan berbaring.”
‘Atha’ berkata: “Barang siapa shalat lima waktu dengan sesungguhnya, maka dia termasuk dalam firman Allah: “Dan orang-orang yang dzikir Allah dengan banyak.” Lalu ‘Atha’ berkata: “Jika dia selalu membaca dzikir yang resmi ketika pagi, sore, waktu yang berbeda malam dan siang, maka dia termasuk mereka yang dizkir Allah dengan banyak.” Dzikir-dzikir tersebut dalam kitab ‘Amal-ul-Yaumi wal-Lailah. Demikian penjelasan ‘Azizi dalam as-Sirāj-ul-Munīr.
Nabi s.a.w. bersabda:
ﺧَﻴْﺮُ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮِ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮُ ﺍﻟْﺨَﻔِﻲُّ ﻭَ ﺧَﻴْﺮُ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺓِ ﺃَﺧَﻔُّﻬَﺎ ﻭَ ﺧَﻴْﺮُ ﺍﻟﺮِّﺯْﻕِ ﻣَﺎ ﻳَﻜْﻔِﻲْ
“ Dzikir terbaik itu dzikir rahasia. Dan ibadah terbaik itu ibadah paling ringan. Rezeki terbaik itu apa yang mencukupi. ” (H.R. Ahmad, Ibnu Hibban dan Baihaqi dari Sa‘d bin Malik dan Ibnu Abu Waqqash).
Dalam sebagian riwayat disebutkan: “Dzikir yang dirahasiakan.” Yakni dzikir yang tidak ditampakkan kepada orang lain. Ini lebih utama daripada dzikir keras. Dalam beberapa hadits lain disebutkan bahwa keras itu lebih utama. Maka keduanya dikompromikan, bahwa merahasiakan itu lebih utama dari segi aman dari riya’ atau mengganggu orang shalat misalnya. Sedangkan dzikir keras itu lebih utama jika tidak khawatir riya’. Rezeki yang mencukupi artinya rezeki secukupnya. Sanad hadits di atas shaḥīḥ.

BAB MURTAD

BAB MURTAD
(Fasal) menjelaskan hukum-hukum murtad. ‏( ﻓَﺼْﻞٌ ‏) ﻓِﻲْ ﺃَﺣْﻜَﺎﻡِ ‏( ﺍﻟﺮِّﺩَﺓِ ‏)
Murtad adalah bentuk kekafiran yang paling jelek. ﻭَﻫِﻲَ ﺃَﻓْﺤَﺶُ ﺃَﻧْﻮَﺍﻉِ ﺍﻟْﻜُﻔْﺮِ
Makna murtad secara bahasa adalah kembali dari sesuatu pada sesuatu yang lain. ﻭَﻣَﻌْﻨَﺎﻫَﺎ ﻟُﻐَﺔً ﺍﻟﺮُّﺟُﻮْﻉُ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺸَّﻴْﺊِ ﺇِﻟَﻰ ﻏَﻴْﺮِﻩِ
Dan secara syara’ adalah memutus islam dengan niat, ucapan atau perbuatan kufur seperti sujud kepada berhala. ﻭَﺷَﺮْﻋًﺎ ﻗَﻄْﻊُ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ ﺑِﻨِﻴَّﺔِ ﻛُﻔْﺮٍ ﺃَﻭْ ﻗَﻮْﻝِ ﻛُﻔْﺮٍ ﺃَﻭْ ﻓِﻌْﻞِ ﻛُﻔْﺮٍ ﻛَﺴُﺠُﻮْﺩٍ ﻟِﺼَﻨَﻢٍ
Semua itu baik atas dasar meremehkan, menentang atau menyaqini seperti orang yang menyaqini baru datangnya Sang Pencipta. ﺳَﻮَﺍﺀٌ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺟِﻬَﺔِ ﺍﻟْﺎِﺳْﺘِﻬْﺰَﺍﺀِ ﺃَﻭِ ﺍﻟْﻌِﻨَﺎﺩِ ﺃَﻭِ ﺍﻟْﺎِﻋْﺘِﻘَﺎﺩِ ﻛَﻤَﻦِ ﺍﻋْﺘَﻘَﺪَ ﺣُﺪُﻭْﺙَ ﺍﻟﺼَّﺎﻧِﻊِ
Barang siapa yang murtad dari agama islam, laki-laki atau perempuan seperti orang yang mengingkari wujudnya Allah, mendustakan satu rasul dari rasul-rasulnya Allah, menghalalkan perkara yang diharamkan secara ijma’ seperti zina dan minum khamr, atau mengharamkan perkara yang halal secara ijma’ seperti nikah dan jual beli, maka ia wajib disuruh taubat seketika menurut qaul al ashah dalam dua perkara tersebut (wajib disuruh taubat dan seketika). ‏( ﻭَﻣَﻦِ ﺍﺭْﺗَﺪَّ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ ‏) ﻣِﻦْ ﺭَﺟُﻞٍ ﺃَﻭِ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٍ ﻛَﻤَﻦْ ﺃَﻧْﻜَﺮَ ﻭُﺟُﻮْﺩَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺃَﻭْ ﻛَﺬَّﺏَ ﺭَﺳُﻮْﻟًﺎ ﻣِﻦْ ﺭُﺳُﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺃَﻭْ ﺣَﻠَّﻞَ ﻣُﺤَﺮَّﻣًﺎ ﺏِﺍﻟْﺈِﺟْﻤَﺎﻉِ ﻛَﺎﻟﺰِّﻧَﺎ ﻭَﺷُﺮْﺏِ ﺍﻟْﺨَﻤْﺮِ ﺃَﻭْ ﺣَﺮَّﻡَ ﺣَﻠَﺎﻟًﺎ ﺑِﺎﻟْﺈِﺟْﻤَﺎﻉ ِﻛَﺎﻟﻨِّﻜَﺎﺡِ ﻭَﺍﻟْﺒَﻴْﻊِ ‏( ﺍُﺳْﺘُﺘِﻴْﺐَ ‏) ﻭُﺟُﻮْﺑًﺎ ﻓَﻲْ ﺍﻟْﺤَﺎﻝِ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﺄَﺻَﺢِّ ﻓِﻴْﻬِﻤَﺎ
Sedangkan muqabil al ashah (pendapat pembanding al ashah) dalam permasalahan yang pertama adalah sesungguhnya orang tersebut sunnah disuruh taubat. Dan dalam permasalahan kedua adalah sesungguhnya orang tersebut diberi tenggang waktu tiga, maksudnya hingga tiga hari. ﻭَﻣُﻘَﺎﺑِﻞُ ﺍﻟْﺄَﺻَﺢِّ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﺄُﻭْﻟَﻰ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳُﺴَﻦُّ ﺍﻟْﺎِﺳْﺘِﺘَﺎﺑَﺔُ ﻭَﻓِﻲْ ﺍﻟﺜَّﺎﻧِﻴَﺔِ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳُﻤْﻬَﻞُ ‏( ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ ‏) ﺃَﻱْ ﺇِﻟَﻰ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔِ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ .
Jika orang tersebut mau bertaubat dengan kembali ke islam dengan cara mengikrarkan diri dengan mengucapkan dua kalimat syahadah secara tertib dengan mengucapkan iman kepada Allah pertama kali kemudian kepada rasul-Nya. ‏( ﻓَﺈِﻥْ ﺗَﺎﺏَ ‏) ﺑِﻌَﻮْﺩِﻩِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ ﺑِﺄَﻥْ ﻳُﻘِﺮَّ ﺑِﺎﻟﺸَّﻬَﺎﺩَﺗَﻴْﻦِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺘَّﺮْﺗِﻴْﺐِ ﺑِﺄَﻥْ ﻳُﺆْﻣِﻦَ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﺃَﻭَّﻟًﺎ ﺛُﻢَّ ﺑَﺮَﺳُﻮْﻟِﻪِ
Sehingga, jika ia membalik, maka tidak syah sebagaimana yang diungkapkan imam an Nawawi di dalam kitab Syarh al Muhadzdzab di dalam pembahasan niat wudlu’. ﻓَﺈِﻥْ ﻋَﻜَﺲَ ﻟَﻢْ ﻳَﺼِﺢَّ ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻟَﻪُ ﺍﻟﻨَّﻮَﻭِﻱُّ ﻓِﻲْ ﺷَﺮْﺡِ ﺍﻟْﻤُﻬَﺬَّﺏِ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﻜَﻠَﺎﻡِ ﻋَﻠَﻰ ﻧِﻴَّﺔِ ﺍﻟْﻮُﺿْﻮْﺀِ
Jika tidak, maksudnya jika orang murtad tersebut tidak mau taubat, maka ia berhak dibunuh, maksudnya imam membunuhnya jika ia adalah orang merdeka dengan memenggal lehernya tidak dengan membakarnya dan sesamanya. ‏( ﻭَﺇِﻟَّﺎ ‏) ﺃَﻱْ ﻭَﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺘُﺐِ ﺍﻟْﻤُﺮْﺗَﺪُّ ‏( ﻗُﺘِﻞَ ‏) ﺃَﻱْ ﻗَﺘَﻠَﻪُ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡُ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﺣُﺮًّﺍ ﺑِﻀَﺮْﺏِ ﻋُﻨُﻘِﻪِ ﻟَﺎ ﺑِﺈِﺣْﺮَﺍﻕٍ ﻭَﻧَﺤْﻮِﻩِ
Sehingga, jika selain imam membunuh orang murtad tersebut, maka orang tersebut berhak dita’zir. ﻓَﺈِﻥْ ﻗَﺘَﻠَﻪُ ﻏَﻴْﺮُ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡِ ﻋُﺰِّﺭَ
Dan jika orang murtad tersebut adalah budak, maka bagi majikannya diperkenankan membunuhnya menurut pendapat al ashah. ﻭَﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟْﻤُﺮْﺗَﺪُّ ﺭَﻗِﻴْﻘًﺎ ﺟَﺎﺯَ ﻟِﻠﺴَّﻴِّﺪِ ﻗَﺘْﻠُﻪُ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﺄَﺻَﺢِّ
Kemudian mushannif menyebutkan hukum memandikan orang murtad dan yang lainnya di dalam perkataan beliau, ﺛُﻢَّ ﺫَﻛَﺮَ ﺍﻟْﻤُﺼَﻨِّﻒُ ﺣُﻜْﻢَ ﺍﻟْﻐُﺴْﻞِ ﻭَﻏَﻴْﺮَﻩُ ﻓِﻲْ ﻗَﻮْﻟِﻪِ
Dan orang murtad tersebut tidak wajib dimandikan, tidak boleh dishalati dan tidak boleh dimakamkan di pemakaman kaum muslimin. ‏( ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﻐْﺴَﻞْ ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﺼَﻞَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﺪْﻓَﻦْ ﻓِﻲْ ﻣَﻘَﺎﺑِﺮِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ
(Sumber : Kitab Fathul Qorib)

BAB ORANG YANG MENINGGALKAN SHOLAT


BAB ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT
Selain mushannif menyebutkan hukum
tarikus shalat (orang yang meninggalkan sholat) di dalam permasalahan ubudiyah (ibadah). Sedangkan mushannif menyebutkannya di sini, beliau berkata. ﻭَﺫَﻛَﺮَ ﻏَﻴْﺮُ ﺍﻟْﻤُﺼَﻨِّﻒِ ﺣُﻜْﻢَ ﺗَﺎﺭِﻙِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻓِﻲْ ﺭُﺑُﻊِ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺍﺕِ ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟْﻤُﺼَﻨِّﻒُ ﻓَﺬَﻛَﺮَﻩُ ﻫُﻨَّﺎ ﻓَﻘَﺎﻝَ .
(Fasal) orang yang meninggalkan sholat yang telah diketahui ada dua macam, dan bisa diarahkan terhadap meninggalkan salah satu dari sholat lima waktu saja. ‏( ﻓَﺼْﻞٌ ‏) ﻭَﺗَﺎﺭِﻙُ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﺍﻟْﻤَﻌْﻬُﻮْﺩَﺓِ ﺍﻟﺼَّﺎﺩِﻗَﺔِ ﺑِﺈِﺣْﺪَﻯ ﺍﻟْﺨَﻤْﺲِ ‏( ﻋَﻠَﻰ ﺿَﺮْﺑَﻴْﻦِ
Salah satunya, seseorang meninggalkan sholat dan ia adalah orang mukallaf dan tidak meyaqini terhadap kewajiban shalat tersebut, maka hukumnya, maksudnya orang yang meninggalkan shalat tersebut adalah hukumnya orang murtad, dan baru saja dijelaskan hukumnya. ﺃَﺣَﺪُﻫُﻤَﺎ ﺃَﻥْ ﻳَﺘْﺮُﻛَﻬَﺎ ‏) ﻭَﻫُﻮَ ﻣُﻜَﻠَّﻒٌ ‏( ﻏَﻴْﺮُ ﻣُﻌْﺘَﻘِﺪٍ ﻟِﻮُﺟُﻮْﺑِﻬَﺎ ﻓَﺤُﻜْﻤُﻪُ ‏) ﺃَﻱِ ﺍﻟﺘَّﺎﺭِﻙِ ﻟَﻬَﺎ ‏( ﺣُﻜْﻢُ ﺍﻟْﻤُﺮْﺗَﺪِّ ‏) ﻭَﺳَﺒَﻖَ ﻗَﺮِﻳْﺒًﺎ ﺑَﻴَﺎﻥُ ﺣُﻜْﻤِﻪِ
Yang kedua adalah ia meninggalkan sholat karena malas hingga waktu shalat tersebut keluar, namun ia tetap menyaqini kewajibannya, maka orang seperti ini disuruh bertaubat. ‏( ﻭَﺍﻟﺜَّﺎﻧِﻲْ ﺃَﻥْ ﻳَﺘْﺮُﻛَﻬَﺎ ﻛَﺴْﻠًﺎ ‏) ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺨْﺮُﺝَ ﻭَﻗْﺘُﻬَﺎ ﺣَﺎﻝَ ﻛَﻮْﻧِﻪِ ‏( ﻣُﻌْﺘَﻘِﺪًﺍ ﻟِﻮُﺟُﻮْﺑِﻬَﺎ ﻓَﻴُﺴْﺘَﺘَﺎﺏُ
Sehingga, jika ia mau bertaubat da melaksanakan sholat, -maka hukumnya jelas-. Dan ini adalah penjelasan cara taubat. ﻓَﺈِﻥْ ﺗَﺎﺏَ ﻭَﺻَﻠَّﻰ ‏) ﻭَﻫُﻮَ ﺗَﻔْﺴِﻴْﺮٌ ﻟِﻠﺘَّﻮْﺑَﺔِ
Jika tidak, maksudnya jika ia tidak mau bertaubat, maka berhak dibunuh sebagai hukuman bukan karena kufur. ‏( ﻭَﺇِﻟَّﺎ ‏) ﺃَﻱْ ﻭَﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺘُﺐْ ‏( ﻗُﺘِﻞَ ﺣَﺪًّﺍ ‏) ﻟَﺎ ﻛُﻔْﺮًﺍ
Dan orang ini hukumnya adalah orang islam di dalam masalah dimakamkan di pemakaman muslimin dan makamnya tidak boleh dihilangkan. ‏( ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺣُﻜْﻤُﻪُ ﺣُﻜْﻢَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ‏) ﻓِﻲْ ﺍﻟﺪَّﻓْﻦِ ﻓِﻲْ ﻣَﻘَﺎﺑِﺮِﻫِﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﻳُﻄْﻤَﺲُ ﻗَﺒْﺮُﻩُ
ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ


(Sumber : Kitab Fathul Qorib)

Terjemah kitab Fathul qorib BAB Qurban

BAB QURBAN
(Fasal) menjelaskan hukum-hukum kurban. ‏( ﻓَﺼْﻞٌ ‏) ﻓِﻲْ ﺃَﺣْﻜَﺎﻡِ ‏( ﺍﻟْﺄُﺿْﺤِﻴَّﺔِ ‏)
Al udhiyah, dengan membaca dlammah huruf hamzahnya menurut pendapat yang paling masyhur, yaitu nama binatang ternak yang disembelih pada hari Raya Kurban dan hari
At Tasyriq karena untuk mendekatkan diri pada Allah Swt. ﺑِﻀَﻢِّ ﺍﻟْﻬَﻤْﺰَﺓِ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﺄَﺷْﻬَﺮِ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﺳْﻢٌ ﻟِﻤَﺎ ﻳُﺬْﺑَﺢُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﻌَﻢِ ﻳَﻮْﻡَ ﻋِﻴْﺪِ ﺍﻟﻨَّﺤْﺮِ ﻭَﺃَﻳَّﺎﻡَ ﺍﻟﺘَّﺸْﺮِﻳْﻖِ ﺗَﻘَﺮُّﺑًﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ
Hukum Kurban
Al udhiyah hukumnya adalah sunnah kifayah
mu’akadah . ‏( ﻭَﺍﻟْﺄُﺿْﺤِﻴِّﺔُ ﺳُﻨَّﺔٌ ﻣُﺆَﻛَّﺪَﺓٌ ‏) ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻜِﻔَﺎﻳَﺔِ
Sehingga, ketika salah satu dari penghuni suatu rumah telah adalah yang melaksanakannya, maka sudah mencukupi dari semuanya. ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺃَﺗَﻰ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﺍﺣِﺪٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﺒَﻴْﺖِ ﻛَﻔَﻰ ﻋَﻦْ ﺟَﻤِﻴْﻌِﻬِﻢْ
Al udhiyah tidak bisa wajib kecuali dengan
nadzar . ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺠِﺐُ ﺍﻟْﺄُﺿْﺤِﻴَّﺔُ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﻨَﺬْﺭٍ
Binatang Kurban
Yang bisa mencukupi di dalam Al udhiyah
adalah kambing domba yang berusia satu tahun dan menginjak dua tahun. ‏( ﻭَﻳُﺠْﺰِﺉُ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﺍﻟْﺠَﺬْﻉُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻀَّﺄْﻥِ ‏) ﻭَﻫُﻮَ ﻣَﺎ ﻟَﻪُ ﺳَﻨَﺔٌ ﻭَﻃَﻌَﻦَ ﻓِﻲْ ﺍﻟﺜَّﺎﻧِﻴَﺔِ
Dan kambing kacang yang berusia dua tahun dan menginjak tiga tahun. ‏( ﻭَﺍﻟﺜَّﻨِﻲُّ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﻌْﺰِ ‏) ﻭَﻫُﻮَ ﻣَﺎ ﻟَﻪُ ﺳَﻨَﺘَﺎﻥِ ﻭَﻃَﻌَﻦَ ﻓِﻲْ ﺍﻟﺜَّﺎﻟِﺜَﺔِ
Dan onta ats tsaniyah yang berusia lima tahun dan memasuki usia enam tahun. ‏( ﻭَﺍﻟﺜَّﻨِﻲُّ ﻣَﻦَ ﺍﻟْﺈِﺑِﻞِ ‏) ﻣَﺎ ﻟَﻪُ ﺧَﻤْﺲُ ﺳِﻨِﻴْﻦَ ﻭَﻃَﻌَﻦَ ﻓِﻲْ ﺍﻟﺴَّﺎﺩِﺳَﺔِ
Dan sapi ats tsaniyah yang berusia dua tahun dan memasuki usia tiga tahun. ‏( ﻭَﺍﻟﺜَّﻨِﻲُّ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺒَﻘَﺮَﺓِ ‏) ﻣَﺎﻟَﻪُ ﺳَﻨَﺘَﺎﻥِ ﻭَﻃَﻌَﻦَ ﻓِﻲْ ﺍﻟﺜَّﺎﻟِﺜَﺔِ
Untuk Siapa Kurban ???
Satu ekor onta cukup digunakan kurban untuk tujuh orang yang bersama-sama melakukan kurban dengan satu onta. ‏( ﻭَﺗُﺠْﺰِﺉُ ﺍﻟْﺒَﺪَﻧَﺔُ ﻋَﻦْ ﺳَﺒْﻌَﺔٍ ‏) ﺍﺷْﺘَﺮَﻛُﻮْﺍ ﻓِﻲْ ﺍﻟﺘَّﻀْﺤِﻴَّﺔِ ﺑِﻬَﺎ
Begitu juga satu ekor sapi cukup digunakan kurban untuk tujuh orang. ‏( ﻭَ ‏) ﺗُﺠْﺰِﺉُ ‏( ﺍﻟْﺒَﻘَﺮَﺓُ ﻋَﻦْ ﺳَﺒْﻌَﺔٍ ‏) ﻛَﺬَﻟِﻚَ
Satu ekor kambing hanya cukup digunakan kurban untuk satu orang. Dan satu ekor kambing lebih afdlal daripada bersama-sama dengan orang lain melakukan kurban dengan onta. ‏( ﻭَ ‏) ﺗُﺠْﺰِﺉُ ‏( ﺍﻟﺸَّﺎﺓُ ﻋَﻦْ ‏) ﺷَﺨْﺺٍ ‏( ﻭَﺍﺣِﺪٍ ‏) ﻭَﻫِﻲَ ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﻣِﻦْ ﻣُﺸَﺎﺭَﻛَﺘِﻪِ ﻓِﻲْ ﺑَﻌِﻴْﺮٍ
Kurban yang paling utama adalah onta, kemudian sapi lalu kambing. ﻭَﺃَﻓْﻀَﻞُ ﺃَﻧْﻮَﺍﻉِ ﺍﻟْﺄُﺿْﺤِﻴَّﺔِ ﺇِﺑِﻞٌ ﺛُﻢَّ ﺑَﻘَﺮٌ ﺛُﻢَّ ﻏَﻨَﻢٌ .
Binatang Yang Tidak Sah
Ada empat binatang, dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa, “arba’atun” yang tidak mencukupi untuk dijadikan kurban. ‏( ﻭَﺃَﺭْﺑَﻊٌ ‏) ﻭَﻓِﻲْ ﺑَﻌْﺾِ ﺍﻟﻨُّﺴَﺦِ ﻭَﺃَﺭْﺑَﻌَﺔٌ ‏( ﻟَﺎ ﺗُﺠْﺰِﺉُ ﻓِﻲْ ﺍﻟﻀَّﺤَﺎﻳَﺎ )
Salah satunya adalah binatang yang buta satu matanya yang nampak jelas, walaupun bulatan matanya masih utuh menurut pendapat al ashah. ﺃَﺣَﺪُﻫَﺎ ‏( ﺍﻟْﻌَﻮْﺭَﺍﺀُ ﺍﻟْﺒَﻴِّﻦُ ‏) ﺃَﻱْ ﻇَﺎﻫِﺮٌ ‏( ﻋِﻮَﺭُﻫَﺎ ‏) ﻭَﺇِﻥْ ﺑَﻘِﻴَﺖِ ﺍﻟْﺤَﺪَﻗَﺔُ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﺄَﺻَﺢِّ
Yang kedua adalah binatang pincang yang nampak jelas pincangnya, walaupun pincang tersebut terjadi saat menidurkan miring binatang itu karena untuk disembelih saat prosesi kurban sebab gerakan binatang tersebut. ‏( ﻭَ ‏) ﺍﻟﺜَّﺎﻧِﻲْ ‏( ﺍﻟْﻌَﺮْﺟَﺎﺀُ ﺍﻟْﺒَﻴِّﻦُ ﻋَﺮَﺟُﻬَﺎ ‏) ﻭَﻟَﻮْ
ﻛَﺎﻥَ ﺣُﺼُﻮْﻝُ ﺍﻟْﻌَﺮَﺝِ ﻟَﻬَﺎ ﻋِﻨْﺪَ ﺇِﺿْﺠَﺎﻋِﻬَﺎ ﻟِﻠﺘَّﻀْﺤِﻴَّﺔِ ﺑِﻬَﺎ ﺑِﺴَﺒَﺐِ ﺍﺿْﻄِﺮَﺍﺑِﻬَﺎ
Yang ketiga adalah binatang sakit yang nampak jelas sakitnya. ‏( ﻭَ ‏) ﺍﻟﺜَّﺎﻟِﺚُ ‏( ﺍﻟْﻤَﺮِﻳْﻀَﺔُ ﺍﻟْﺒَﻴِّﻦُ ﻣَﺮَﺿُﻬَﺎ ‏)
Dan tidak masalah jika hal-hal ini hanya sedikit saja. ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻀُﺮُّ ﻳَﺴِﻴْﺮُ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟْﺄُﻣُﻮْﺭِ
Yang ke empat adalah binatang al ‘ajfa’ , yaitu binatang yang hilang bagian otaknya sebab terlalu kurus. ‏( ﻭَ ‏) ﺍﻟﺮَّﺍﺑِﻊُ ‏( ﺍﻟْﻌَﺠْﻔَﺎﺀُ ‏) ﻭَﻫِﻲَ ‏( ﺍﻟَّﺘِﻲْ ﺫَﻫَﺐَ ﻣُﺨُّﻬَﺎ ‏) ﺃَﻱْ ﺫَﻫَﺐَ ﺩِﻣَﺎﻏُﻬَﺎ ‏( ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻬُﺰَﺍﻝِ ‏) ﺍﻟْﺤَﺎﺻِﻞِ ﻟَﻬَﺎ .
Sudah dianggap cukup berkurban dengan binatang yang dikebiri, maksudnya binatang yang dipotong dua pelirnya, dan binatang yang pecah tanduknya jika memang tidak berpengaruh apa-apa pada dagingnya. ‏( ﻭَﻳُﺠْﺰِﺉُ ﺍﻟْﺨَﺼِﻲُّ ‏) ﺃَﻱِ ﺍﻟْﻤَﻘْﻄُﻮْﻉُ ﺍﻟْﺨَﺼِﻴَّﺘَﻴْﻦِ ‏( ﻭَﺍﻟْﻤَﻜْﺴُﻮْﺭُ ﺍﻟﻘَﺮْﻥِ ‏) ﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳُﺆَﺛِّﺮْ ﻓِﻲْ ﺍﻟﻠَّﺤْﻢِ
Begitu juga mencukupi berkurban dengan binatang yang tidak memiliki tanduk, dan binatang seperti ini disebut dengan al jalja’. ﻭَﻳُﺠْﺰِﺉُ ﺃَﻳْﻀًﺎ ﻓَﺎﻗِﺪَﺓُ ﺍﻟْﻘُﺮُﻭْﻥِ ﻭَﻫِﻲَ ﺍﻟْﻤُﺴَﻤَّﺔُ ﺑِﺎﻟْﺠَﻠْﺠَﺎﺀِ
Tidak mencukupi berkurban dengan binatang yang terpotong seluruh telinganya, sebagiannya atau terlahir tanpa telinga. ‏( ﻭَﻟَﺎ ﺗُﺠْﺰِﺉُ ﺍﻟْﻤَﻘْﻄُﻮْﻋَﺔُ ‏) ﻛُﻞُّ ‏( ﺍﻟْﺄُﺫُﻥِ ‏) ﻭَﻟَﺎ ﺑَﻌْﻀُﻬَﺎ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟْﻤَﺨْﻠُﻮْﻗَﺔُ ﺑِﻠَﺎ ﺃُﺫُﻥٍ
Dan tidak mencukupi binatang yang terpotong seluruh atau sebagian ekornya. ‏( ﻭَ ‏) ﻟَﺎ ﺍﻟْﻤَﻘْﻄُﻮْﻋَﺔُ ‏( ﺍﻟﺬَّﻧْﺐِ ‏) ﻭَﻟَﺎ ﺑَﻌْﻀِﻪِ
Waktu Pelaksanaan Kurban
Waktu penyembelihan kurban dimulai dari waktunya sholat Hari Raya, maksudnya Hari Raya Kurban. ‏( ﻭَ ‏) ﻳَﺪْﺧُﻞُ ‏( ﻭَﻗْﺖُ ﺍﻟﺬَﺑْﺢِ ‏) ﻟِﻠْﺄُﺿْﺤِﻴَّﺔِ ‏( ﻣِﻦْ ﻭَﻗْﺖِ ﺻَﻠَﺎﺓِ ﺍﻟْﻌِﻴْﺪِ ‏) ﺃَﻱْ ﻋِﻴْﺪِ ﺍﻟﻨَّﺤْﺮِ
Ungkapan kitab ar Raudlah dan kitab asalnya, “waktu pelaksanaan kurban masuk ketika terbitnya matahari Hari Raya Kurban dan telah melewati kira-kira waktu yang cukup untuk melaksanakan sholat dua rakaat dan dua khutbah yang dilakukan agak cepat.” Ungkapan kitab ar Raudlah dan kitab asalnya telah selesai. ﻭَﻋِﺒَﺎﺭَﺓُ ﺍﻟﺮَّﻭْﺽَﺓِ ﻭَﺃَﺻْﻠِﻬَﺎ ﻳَﺪْﺧُﻞُ ﻭَﻗْﺖُ ﺍﻟﺘَّﻀْﺤِﻴَّﺔِ ﺇِﺫَﺍ ﻃَﻠَﻌَﺖِ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟﻨَّﺤْﺮِ ﻭَﻣَﻀَﻰ ﻗَﺪْﺭُ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻭَﺧُﻄْﺒَﺘَﻴْﻦِ ﺧَﻔِﻴْﻔَﺘَﻴْﻦِ ﺍﻧْﺘَﻬَﻰ
Waktu penyembelihan binatang kurban tetap ada hingga terbenamnya matahari di akhir hari
at Tasyriq . Hari at Tasyriq adalah tiga hari yang bersambung setelahnya tanggal sepuluh Dzil Hijjah. ﻭَﻳَﺴْﺘَﻤِﺮُّ ﻭَﻗْﺖُ ﺍﻟﺬَّﺑْﺢِ ‏( ﺇِﻟَﻰ ﻏُﺮُﻭْﺏِ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲِ ﻣِﻦْ ﺁﺧِﺮِ ﺃَﻳَّﺎﻡِ ﺍﻟﺘَّﺸْﺮِﻳْﻖِ ‏) ﻭَﻫِﻲَ ﺍﻟﺜَّﻠَﺎﺛَﺔُ ﺍﻟْﻤُﺘَّﺼِﻠَﺔُ ﺑِﻌَﺎﺷِﺮِ ﺍﻟْﺤِﺠَّﺔِ
Kesunnahan Kurban
Disunnahkan melakukan lima perkara saat pelaksanaan kurban, ‏( ﻭَﻳُﺴْﺘَﺤَﺐُّ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﺬَّﺑْﺢِ ﺧَﻤْﺴَﺔُ ﺃَﺷْﻴَﺎﺀَ ‏)
Salah satunya adalah membaca basmalah. Maka orang yang menyembelih sunnah mengucapkan,
“bismillah” . Dan yang paling sempurna adalah,
“bismillahirahmanirrahim.” ﺃَﺣَﺪُﻫَﺎ ‏( ﺍﻟﺘَّﺴْﻤِﻴَّﺔُ ‏)
ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ ﺍﻟﺬَّﺍﺑِﺢُ " ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ " ﻭَﺍﻟْﺄَﻛْﻤَﻞُ " ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴْﻢِ "
Dan seandainya orang yang menyembelih tidak mengucapkan basmalah, maka binatang kurban yang disembelih hukumnya halal. ﻭَﻟَﻮْ ﻟَﻢْ ﻳُﺴَﻢِّ ﺣَﻞَّ ﺍﻟْﻤَﺬْﺑُﻮْﺡُ
Yang kedua adalah membaca shalawat kepada baginda Nabi Saw. ‏( ﻭَ ‏) ﺍﻟﺜَّﺎﻧِﻲْ ‏( ﺍﻟﺼَّﻠَّﺎﺓُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ‏)
Dimakruhkan mengumpulkan diantara nama Allah dan nama Rasul-Nya. ﻭَﻳُﻜْﺮَﻩُ ﺃَﻥْ ﻳَﺠْﻤَﻊَ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﺳْﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﺳْﻢِ ﺭَﺳُﻮْﻟِﻪِ
Yang ketiga adalah menghadapkan binatang kurbannya ke arah kiblat. ‏( ﻭَ ‏) ﺍﻟﺜَّﺎﻟِﺚُ ‏( ﺍﺳْﺘِﻘْﺒَﺎﻝُ ﺍﻟْﻘِﺒْﻠَﺔِ ‏) ﺑِﺎﻟﺬَّﺑِﻴْﺤَﺔِ
Maksudnya, orang yang menyembelih menghadapkan leher binatang yang disembelih kearah kiblat. Dan ia sendiri juga menghadap kiblat. ﺃَﻱْ ﻳُﻮَﺟِّﻪُ ﺍﻟﺬَّﺍﺑِﺢُ ﻣَﺬْﺑَﺤَﻬَﺎ ﻟِﻠْﻘِﺒْﻠَﺔِ ﻭَﻳَﺘَﻮَﺟَﻪُ ﻫُﻮَ ﺃَﻳْﻀًﺎ .
Ke empat adalah membaca takbir tiga kali, maksudnya sebelum atau setelah membaca basmalah, sebagaimana yang dijelaskan oleh imam al Mawardi. ‏( ﻭَ ‏) ﺍﻟﺮَّﺍﺑِﻊُ ‏( ﺍﻟﺘَّﻜْﺒِﻴْﺮُ ‏) ﺃَﻱْ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟﺘَّﺴْﻤِﻴَّﺔِ ﺃَﻭْ ﺑَﻌْﺪَﻫَﺎ ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻤَﺎﻭَﺭْﺩِﻱُّ
Yang ke lima adalah berdoa semoga diterima oleh Allah Swt. ‏( ﻭَ ‏) ﺍﻟْﺨَﺎﻣِﺲُ ‏( ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀُ ﺑِﺎﻟْﻘَﺒُﻮْﻝِ ‏)
Maka orang yang menyembelih berkata, “ya Allah, ini adalah dari Engkau dan untuk Engkau, maka sudilah Engkau menerimanya.”
Maksudnya , “binatang kurban ini adalah nikmat dari-Mu untukku, dan aku mendekatkan diri pada-Mu dengan binatang kurban ini, maka terimalah binatang kurban ini dariku.” ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ ﺍﻟﺬَّﺍﺑِﺢُ " ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻫَﺬِﻩِ ﻣِﻨْﻚَ ﻭَﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻓَﺘَﻘَﺒَّﻞْ " ﺃَﻱْ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟْﺄُﺿْﺤِﻴَّﺔُ ﻧِﻌْﻤَﺔٌ ﻣِﻨْﻚَ ﻋَﻠَﻲَّ ﻭَﺗَﻘَﺮَّﺑْﺖُ ﺑِﻬَﺎ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻓَﺘَﻘَﺒَّﻠْﻬَﺎ ﻣِﻨِّﻲْ
Memakan Daging Kurban
Orang yang melaksanakan kurban tidak diperkenankan memakan apapun dari kurban yang dinadzari. ‏( ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺄْﻛُﻞُ ﺍﻟْﻤُﻀَّﺤِﻲْ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺄُﺿْﺤِﻴَّﺔِ ﺍﻟْﻤَﻨْﺬُﻭْﺭَﺓِ ‏)
Bahkan bagi dia wajib mensedekahkan semua dagingnya. ﺑَﻞْ ﺗَﺠِﺐُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺘَّﺼَﺪُّﻕُ ﺑِﺠَﻤِﻴْﻊِ ﻟَﺤْﻤِﻬَﺎ
Kemudian, seandainya ia menunda untuk mensedekahkannya hingga rusak, maka wajib baginya untuk mengganti. ﻓَﻠَﻮْ ﺃَﺧَّﺮَﻫَﺎ ﻓَﺘَﻠِﻔَﺖْ ﻟَﺰِﻣَﻪُ ﺿَﻤَﺎﻧُﻪُ
Ia diperkenankan memakan sepertiga dari binatang kurban yang sunnah menurut pendapat al Jadid. ‏( ﻭَﻳَﺄْﻛُﻞُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺄُﺿْﺤِﻴَّﺔِ ﺍﻟْﻤُﺘَﻄَﻮِّﻋَﺔِ ﺑِﻬَﺎ ‏) ﺛُﻠُﺜًﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺠَﺪِﻳْﺪِ
Sedangkan untuk dua sepertiganya, maka ada yang mengatakan harus disedekahkan, dan ini diunggulkan oleh imam an Nawawi di dalam kitab Tashhih at Tanbih. ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟﺜُّﻠُﺜَﺎﻥِ ﻓَﻘِﻴْﻞَ ﻳُﺘَﺼَﺪَّﻕُ ﺑِﻬِﻤَﺎ ﻭَﺭَﺟَّﺤَﻪُ ﺍﻟﻨَّﻮَﻭِﻱُّ ﻓِﻲْ ﺗَﺼْﺤِﻴْﺢِ ﺍﻟﺘَّﻨْﺒِﻴْﻪِ
Dan ada yang mengatakan, bahwa ia menghadiahkan sepertiga dari dagingnya kepada kaum muslimin yang kaya dan mensedekahkan sepertiganya kepada kaum faqir. ﻭَﻗِﻴْﻞَ ﻳُﻬْﺪِﻱْ ﺛُﻠُﺜًﺎ ﻟِﻠْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﺍﻟْﺄَﻏْﻨِﻴَﺎﺀَ ﻭَﻳَﺘَﺼَﺪَّﻕُ ﺑِﺜُﻠُﺚٍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻔُﻘَﺮَﺍﺀِ ﻣِﻦْ ﻟَﺤْﻤِﻬَﺎ
Di dalam kitab ar Raudlah dan kitab asalnya, imam an Nawawi tidak mengunggulkan salah satu dari dua pendapat ini. ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﺮَﺟِّﺢِ ﺍﻟﻨَّﻮَﻭِﻱُّ ﻓِﻲْ ﺍﻟﺮَّﻭْﺿَﺔِ ﻭَﺃَﺻْﻠِﻬَﺎ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻣِﻦْ ﻫَﺬَﻳْﻦِ ﺍﻟْﻮَﺟْﻬَﻴْﻦِ
Menjual Daging Kurban
Tidak boleh menjual, maksudnya bagi orang yang melaksanakan kurban diharamkan untuk menjual bagian dari binatang kurbannya, maksudnya dari daging, bulu atau kulitnya. ‏( ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺒِﻴْﻊُ ‏) ﺃَﻱْ ﻳَﺤْﺮُﻡُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﻀَّﺤِﻲْ ﺑَﻴْﻊُ ﺷَﻴْﺊٍ ‏( ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺄُﺿْﺤِﻴَّﺔِ ‏) ﺃَﻱْ ﻣِﻦْ ﻟَﺤْﻤِﻬَﺎ ﺃَﻭْ ﺷَﻌْﺮِﻫَﺎ ﺃَﻭْ ﺟِﻠْﺪِﻫَﺎ
Begitu juga haram menjadikan bagian dari binatang kurban sebagai ongkos untuk
pejagal , walaupun berupa binatang kurban yang sunnah. ﻭَﻳَﺤْﺮُﻡُ ﺃَﻳْﻀًﺎ ﺟَﻌْﻠُﻪُ ﺃُﺟْﺮَﺓً ﻟِﻠْﺠَﺰَﺍﺭِ ﻭَﻟَﻮْ
ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟْﺄُﺿْﺤِﻴَّﺔِ ﺗَﻄَﻮُّﻋًﺎ
Wajib memberi makan bagian dari binatang kurban yang sunnah kepada kaum faqir dan kaum miskin. ‏( ﻭَﻳُﻄْﻌِﻢُ ‏) ﺣَﺘْﻤًﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺄُﺿْﺤِﻴَّﺔِ ﺍﻟْﻤُﺘَﻄَﻮِّﻋَﺔِ ﺑِﻬَﺎ ‏( ﺍﻟْﻔُﻘَﺮَﺍﺀَ ﻭَﺍﻟْﻤَﺴَﺎﻛِﻴْﻦَ ‏)
Yang paling utama adalah mensedekahkan semuanya kecuali satu atau beberapa cuil daging yang dimakan oleh orang yang melakukan kurban untuk mengharapkan berkah. Karena sesungguhnya hal itu disunnahkan baginya. ﻭَﺍﻟْﺄَﻓْﻀَﻞُ ﺍﻟﺘَّﺼَﺪُّﻕُ ﺑِﺠَﻤِﻴْﻌِﻬَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﻟُﻘْﻤَﺔً ﺃَﻭْ ﻟُﻘَﻤًﺎ ﻳَﺘَﺒَﺮَّﻙُ ﺍﻟْﻤُﻀَّﺤِﻲْ
ﺑِﺄَﻛْﻠِﻬَﺎ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻳُﺴَﻦُّ ﻟَﻪُ ﺫَﻟِﻚَ
Ketika ia memakan sebagian dan mensedekahkan yang lainnya, maka ia telah mendapatkan pahala berkurban semuanya dan pahala sedekah sebagiannya saja. ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺃَﻛَﻞَ ﺍﻟْﺒَﻌْﺾَ ﻭَﺗَﺼَﺪَّﻕَ ﺑِﺎﻟْﺒَﺎﻗِﻲْ ﺣَﺼَﻞَ ﻟَﻪُ ﺛَﻮَﺍﺏُ ﺍﻟﺘَّﻀْﺤِﻴَّﺔِ ﺑِﺎﻟْﺠَﻤِﻴْﻊِ ﻭَﺍﻟﺘَّﺼَﺪُّﻕِ ﺑِﺎﻟْﺒَﻌْﺾِ


(Sumber : Kitab Fathul Qorib)

Cek Ongkir/pengiriman

Arsip kank achonk

Jam

Tanggal

cek