Sekali waktu muncul pertanyaan di pikiran kita perihal kewajiban ibadah untuk manusia. Pertanyaan kenapa Allah mewajibkan sesuatu kepada manusia memang tampak konyol dan mungkin kurang ajar. Tetapi pertanyaan itu wajar saja muncul karena Allah memang menganugerahkan kita akal pikiran yang dapat bertanya.
Syekh Ibnu Athaillah mencoba menjawab kenapa Allah mewajibkan ibadah kepada manusia dalam Al-Hikam-nya berikut ini:
علم قلة نهوض العباد إلى معاملته فأوجب عليهم وجود طاعته فساقهم إليه بسلاسل الإيجاب
Artinya, “Allah memaklumi rendahnya semangat hamba-Nya untuk berinteraksi dengan-Nya, maka dari itu Dia mewajibkan adanya ketaatan untuk mereka sehingga Dia menggiring mereka kepada-Nya dengan belenggu kewajiban.”
Menerangkan hikmah ini, Syekh Syarqawi mengatakan bahwa manusia cukup berat untuk melakukan ibadah secara sukarela dan berdasarkan inisiatif sendiri karena kelemahan kemauan dan kemalasan merupakan watak pembawaan manusia.
علم قلة نهوض العباد إلى معاملته) أي الإقبال عليه بطاعته والقيام بحقوق ربوبيته طوعا منهم لما هم عليه من وجود الضعف ولما في نفوسهم من وجود الكسل
Artinya, “(Allah memaklumi rendahnya semangat hamba-Nya untuk berinteraksi dengan-Nya) maksudnya untuk menghadap-Nya melalui ibadah dan menunaikan hak ketuhanan lainnya secara sukarela karena adanya kelemahan semangat dan ada kemalasan di dalam diri mereka,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, [Indonesia, Al-Haramain: 2012 M], juz II, halaman 31).
Dari pembawaan manusia tersebut, Allah memutuskan kewajiban ibadah bagi para hamba-Nya sehingga dengan sejenis paksaan itu manusia dapat berkhidmah kepada-Nya.
فأوجب عليهم وجود طاعته) أي ألزمهم بذلك قهرا عنهم وخوفهم بدخول النار إن لم يفعلوا (فساقهم إليه) أي الإقبال عليه بطاعته (بسلاسل الإيجاب
Artinya, “(Maka dari itu Dia mewajibkan adanya ketaatan untuk mereka) Allah mewajibkan ibadah itu secara paksa untuk mereka dan Dia menakuti mereka dengan ancaman msuk neraka jika mereka tidak melaksanakan kewajiban tersebut. (sehingga Dia menggiring mereka kepada-Nya) untuk menghadap-Nya melalui ketaatan (dengan belenggu kewajiban),” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, [Indonesia, Al-Haramain: 2012 M], juz II, halaman 31).
Syekh Syarqawi mengatakan bahwa kewajiban ibadah itu seakan belenggu yang menggiring paksa tawanan untuk melakukan sesuatu yang manfaatnya di kemudian hari berpulang kepada mereka sendiri.
Hal ini serupa dengan kewajiban ibadah yang sekali lagi manfaat serta kebahagiaan kelak di kemudian hari kembali kepada makhluk-Nya. Syekh Syarqawi menyebut sikap seorang wali terhadap anak kecilnya sebagai ilustrasi kewajiban ibadah.
Menurutnya, seorang wali mendidik dan memberikan aturan bagi anak kecil yang mana itu berat dan tidak disukai oleh si kecil ketika itu. Tetapi aturan tersebut mengandung manfaat di kemudian hari bagi si kecil yang akan disadari maslahatnya kelak ketika ia telah dewasa.
Dengan kata lain, maslahat dan manfaat kewajiban ibadah itu akan disadari oleh manusia kelak di akhirat. Semua maslahat itu berpulang kepada manusia, bukan kepada Allah karena Allah tidak butuh pada ibadah hamba-Nya. Wallahu a‘lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kesuwun pun mampir