Qowaid alfiqh 1-10

QOWA’ID AL-FIQH 1-10


Sabda Rasulullah SAW. :


“انما الاعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى رواه البخارى


Artinya:
“Segala sesuatu tergantung pada niatnya, dan apa yang didapatkan ialah apa yang telah
diniatkan.” (HR. Bukhari).
Kaidah ke-1

الامور بمقاصدها

Segala sesuatu tergantung pada tujuannya.
Contoh kaidah:
Diwajibkannya niat dalam berwudhu, mandi, shalat dan puasa.
Penggunaan kata kiasan (kinayah) dalam talak. Seperti ucapann seorang suami kepada
istrinya: انت خالية (engkau adalah wanita yang terasing). Jika suami bertujuan
menceraikan dengan ucapannya tersebut, maka jatuhlah talak kepada istrinya, namun jika
ia tidak berniat menceraikan maka tidak jatuh talak-nya.
Kaidah ke-2

ما يشترط فيه التعين فالخطأ فيه مبطل


Sesuatu yang memerlukan penjelasan, maka kesalahan dalam memberikan penjelasan
menyebabkan batal. Contoh kaidah:
Seseorang yang melakukan shalat dhuhur dengan niat ‘ashar atau sebaliknya, maka
shalatnya tersebut tidak sah.
Kesalahan dalam menjelaskan pembayaran tebusan (kafarat) zhihar kepada kafarat qatl
(pembunuhan).
Kaidah ke-3

ما يشترط التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلا اذا
عينه واخطأ ضرَّ


Sesuatu yang memerlukan penjelasan secara global dan tidak memerlukan penjelasan
secara rinci, maka ketika kesalahan dalam penjelasan secara rinci membahayakan.
Contoh kaidah :
Seseorang yang bernama Gandung S.P. Towo niat berjamaah kepada seorang imam
bernama mbah Arief. Kemudian, ternyata bahwa yang menjadi imam bukanlah mbah Arief
tapi orang lain yang mempunyai panggilan Seger (Khoirul Mustamsikin), maka shalat
Gandung tidak sah karena ia telah berniat makmum dengan mbah Arief yang berarti telah
menafikan mengikuti Seger. Perlu diketahui, bahwa dalam shalat berjamah hanya
disyaratkan niat berjamaah tanpa adanya kewajiban menentukan siapa imamnya.
Kaidah ke-4


ما لا يشترط التعرض له جملة ولا تفصيلا اذا عينه واخطأ
لم يضر


Sesuatu yang tidak disyaratkan penjelasannya secara global maupun terperinci ketika
dita’yin dan salah maka statusnya tidaklah membahayakan.
Contoh kaidah :
Kesalahan dalam menentukan tempat shalat. Seperti kang Imam (pengelolah kantin) niat
shalat di Bejagung Semanding, padahal saat itu dia berada di Dermawu (suatu daerah yang
berada di Kecamatan Grabagan). Maka shalat kang Imam tidak batal karena sudah adanya
niat. sedangkan menentukan tempat shalat tidak ada hubungannya dengan niat baik secara
globlal atau terperinci (tafshil).
Kaidah ke-5

مقاصد اللفظ على نية اللافظ

Maksud sebuah ucapan tergantung pada niat yang mengucapkan.
Contoh kaidah :

Temon adalah seorang pria perkasa (berasal dari daerah Minongorejo Widang). Teman kita
yang satu ini konon katanya mempunyai seorang istri bernama Tholiq dan seorang budak
perempuan bernama Hurrah. Suatu saat, Temon berkata; Yaa Tholiq, atau Yaa Hurrah. Jika
dalam ucapan “Yaa Tholiq” Temon bermaksud menceraikan istrinya, maka jatuhlah talak
kepada istrinya, namun jika hanya bertujuan memanggil nama istrinya, maka tidak jatuh
talaknya. Begitu juga dengan ucapan “Yaa Hurrah” kepada budaknya jika Temon bertujuan
memerdekakan, maka budak perempuan itu menjadi perempuan merdeka. Sebaliknya jika
ia hanya bertujuan memanggil namanya, maka tidak menjadi merdeka.
Menambahkan lafal masyiah (insya Allah) dalam niat shalat dengan tujuan
menggantungkan shalatnya kepada kehendak Allah SWT. maka batal shalatnya. Namun
apabila hanya berniat tabarru’ maka tidak batal shalatnya, atau dengan menambahkan
masyiah dengan tanpa adanya tujuan apapun, maka menurut pendapat yang sahih,
shalatnya menjadi batal.
Kaidah ke-6

اليقين لا يزال بالشك

Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.
Contoh kaidah :
Seorang bernama Doel Fatah ragu, apakah baru tiga atau sudah empat rakaat shalatnya?
maka, Doel Fatah harus menetapkan yang tiga rakaat karena itulah yang diyakini.
Santri bernama Maid baru saja mengambil air wudhu di kolam depan komplek A PP. Putra
Sunan Bejagung. Kemudian timbul keraguan dalam hatinya; “batal durung yo..? kayane aku
nembe demek…” maka hukum thaharah-nya tidak hilang disebabkan keraguan yang
muncul kemudian.
seseorang meyakini telah berhadats dan kemudian ragu apakah sudah bersuci atau belum,
maka orang tersebut masih belum suci (muhdits).
Dibawah ini ialah kaidah yang esensinya senada dengan kaidah di atas:

ما ثبت بيقين لا يرتفع الا بيقين


Sesuatu yang tetap dengan keyakinan, maka tidak bisa dihilangkan kecuali dengan adanya
keyakinan yang lain.
Kaidah ke-7

الاصل بقاء ما كان على ما كان

Pada dasarnya ketetapan suatu perkara tergantung pada keberadaannya semula.
Contoh kaidah :
Seseorang yang makan sahur dipenghujung malam dan ragu akan keluarnya fajar maka
puasa orang tersebut hukumnya sah. Karena pada dasarnya masih tetap malam (al-aslu
baqa-u al-lail).
Seseorang yang makan (berbuka) pada penghujung siang tanpa berijtihad terlebih dahulu
dan kemudian ragu apakah matahari telah terbenam atau belum, maka puasanya batal.
Karena asalnya adalah tetapnya siang (al-ashl baqa-u al-nahr).
Kaidah ke-8

الاصل براة الذمة

hukum asal adalah tidak adanya tanggungan.
Contoh kaidah:
Seorang yang didakwa (mudda’a ‘alaih)melakukan suatu perbuatan bersumpah bahwa ia
tidak melakukan perbuatan tersebut. Maka ia tidak dapat dikenai hukuman, karena pada
dasarnya ia terbebas dari segala beban dan tanggung jawab. Permasalahan kemudian
dikembalikan kepada yang mendakwa (mudda’i).
Kaidah ke-9

الاصل العدم

Hukum asal adalah ketiadaan
Contoh kaidah :
Kang Khumaidi mengadakan kerjasama bagi hasil (mudharabah) dengan Bos Fahmi. Dalam
kerjasama ini Kang Khumaidi bertindak sebagai pengelola usaha (al-‘amil), sedangkan Bos
Fahmi adalah pemodal atau investornya. Pada saat akhir perjanjian, Kang Khumaidi
melaporkan kepada Bos Fahmi bahwa usahanya tidak mendapat untung. Hal ini diingkari
Bos Fahmi. Dalam kasus ini, maka yang dibenarkan adalah ucapan orang Bruna yang
bernama Kang Khumaidi, karena pada dasarnya memang tidak adanya tambahan (laba).

Tidak diperbolehkannya melarang seseorang untuk membeli sesuatu. Karena pada
dasarnya tidak adanya larangan (dalam muamalah).
Kaidah ke-10

الاصل فى كل واحد تقديره باقرب زمنه

Asal segala sesuatu diperkirakan dengan yang lebih dekat zamannya.
Contoh kaidah :
Mungkin karena kesal dengan seseorang wanita hamil yang kebetulan juga cerewet, maka
tanpa pikir panjang Ipin -cah Jiwan Wonosobo- memukul perut si wanita hamil tersebut.
Selang beberapa waktu si wanita melahirkan seorang bayi dalam keadaan sehat. Kemudian
tanpa diduga-duga, entah karena apa si jabang bayi yang imut yang baru beberapa hari
dilahirkan mendadak saja mati. Dalam kasus ini, Ipin tidak dikenai tanggungan (dhaman)
karena kematian jabang bayi tersebut adalah disebabkan faktor lain yang masanya lebih
dekat dibanding pemukulan Ipin terhadap wanita tersebut.
Seorang santri kelas II MDU bernama Soekabul alias Kabul Khan ditanya oleh teman
sekamarnya; “Kang Kabul, aku melihat sperma di bajuku, tapi aku tidak ingat kapan aku
mimpi basah. Gimana solusinya, Kang?”. Dengan PD-nya, karena baru saja menemukan
kaidah “al-aslu fi kulli wahidin taqdiruhu bi-aqrobi zamanihi” saat muthala’ah Kitab
Mabadi’ Awwaliyah, santri yang demen banget lagu-lagu Hindia ini spontan menjawab;
“Siro -red: kamu- wajib mandi besar dan mengulang shalat mulai sejak terakhir kamu
bangun tidur sampai sekarang.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kesuwun pun mampir

Cek Ongkir/pengiriman

Jam

Tanggal

cek