Ramai Ustadz Prematur, Santri NU Waktunya Turun Gunung
September 16, 20201
Jakarta, Dakwah NU
Dalam kurun satu dekade terakhir ini, fenomena kemunculan mubaligh dari berbagai kalangan muslim Indonesia semakin tumbuh subur. Meskipun awal mula kemunculan paham-paham yang berhaluan konvensional ini bermula pada tahun 1970-an. Namun, semakin lambat laun mereka semakin bermunculan di khalayak umum maupun jagad media sosial dan fenomena hijrah.
Fenomena Hijrah
Belakangan ini marak sekali public figure yang mengkampanyekan “Hijrah”. Mulai dari Teuku Wisnu, Shireen Sungkar, Caisar YKS dan masih banyak lagi. Fenomena ini disinyalir menjadi gerakan arus bawah kelompok Islam kanan untuk menyebarkan fahamnya.
Hijrah sendiri berarti berpindah, yakni berpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain. Hanya di Indonesia makna hijrah difahami sebagai fenomena spiritual keagamaan lanjut berkembang menjadi perubahan sikap keagamaan menjadi super religius dibanding sebelumnya.
Seseorang yang berhijrah biasanya akan merubah penampilannya menjadi lebih Islami. Seperti menumbuhkan jenggot, memakai pakaian di atas mata kaki (isbal), berjilbab panjang hingga bercadar bagi perempuan.
Namun, biasanya mereka yang hijrah cenderung menutup diri dan menganggap diri mereka suci. Seorang yang “hijrah” biasanya cenderung merasa dirinyalah yang paling paham tentang suatu permasalahan agama, padahal baru mengaji sekali duakali. Itupun kepada ustadz yang tidak jelas latar belakang dan sanad keilmuannya. Atau yang disebut ustadz prematur.
Akhirnya fenomena hijrah yang sebetulnya bagus, malah menjadi trend semata. Bagaimana tidak? Jika yang dilihat hanya dari kulit luarnya saja tapi tidak dengan substansi hijrah itu sendiri.
Sarana Medsos
Media sosial atau yang biasa disebut medsos tak dapat dipungkiri menjadi sarana komunikasi yang cepat dan efektif. Serta menjadi alat untuk menyebarkan informasi. Dengan sekejap informasi yang disebarkan dapat menjangkau belahan bumi paling ujung.
Dalam studi kasus ustadz prematur kita dapat menemukan beberapa sosmed yang menjadi subyek dakwah mereka. Medsos menjadi sarana untuk menyebarkan faham Islam konvensional, yakni islam yang keras dan tidak fleksibel.
Kita tahu banyak ustadz ustadz yang bacaan Qur’annya masih salah. Seperti yang kita ketahui dalam banyak video yang beredar, Ustadz Evie Evendi salah mengucapkan ayat Al-Qur’an dan tidak fasih dalam pelafalannya. Namun masih saja banyak pengikut dan yang setuju dengannya. Begitupun dengan Teuku Zul yang salah kaprah dalam mentashrif lafadz kaffaro.
Begitupun artis yang hijrah, dengan follower yang sudah begitu banyak, mereka dapat dengan mudah meng-influence follower mereka. Tentunya, dengan faham agama yang mereka miliki.
Santri Nu Harus Turun Gunung
Maka dari itu, atas berbagai permasalahan yang muncul seperti yang sudah dijelaskan penulis tadi. Wajib hukumnya bagi santri NU untuk turun gunung. Dalam artian mengambil alih porsi porsi dakwah yang selama ini dikuasai golongan Islam kanan.
Kiai Haji Said Aqil Siroj dalam sebuah kesempatan ceramah, beliau berpesan agar seluruh warga NU khususnya Santri NU untuk memasifkan dakwahnya, khususnya dakwah bil medos. Mengapa dengan medsos? Karena sarana yang paling cepat dan efektif adalah medsos. Apalagi setiap hari yang kita gawai yang kita pegang ketika kita membukanya juga tak jauh jauh dari medos
Mustasyar PBNU, Gus Mus pun berpesan. “Jika santri NU tidak mau mengamalkan ilmu yang sudah dipelajari. Bukan tidak mungkin akan banyak timbul permasalahan di masyarakat yang disebabkan ustadz prematur yang ngaku-ngaku sebagai ulama”.
Sebagai santri yang ta’dhim akan pesan kiai, seyogyanya kita harus mengamini dan melaksanakan dengan patuh apa yang beliau-beliau perintahkan. Karena ini bukan hanya menyangkut soal agama namun juga urusan bangsa dan Negara.
Santri NU harus kreatif, inovatif dan adaptif dalam berdakwah sehingga dapat meng-influence masyarakat umum bahwa Islam Indonesia yang sesungguhnya adalah Islam rahmatan lil’alamin. Bukan Islam kanan yang keras dan tidak fleksibel. Apalagi islamnya ustadz prematur yang ngaji saja masih gagap/plegak pleguk.
Oleh:
Muhammad Sabilul Aslam
Santri Denanyar Jombang
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
© 2020 | WordPress Theme : VMagazine Lite
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kesuwun pun mampir